Kamis, 11 Juni 2015

ARTIKEL: METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH DASAR

ARTIKEL: METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH DASAR

Metode Role Playing dalam Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar
Nia Kurniawati
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
 Universitas Muhammadiyah Jakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah atau kendala apa saja yang sering dihadapi seorang guru (khususnya guru PKN) ketika mengajar di kelas. Metode yang digunakan dalam dan penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara, observasi dan studi pustaka. Tulisan ini bertolak dari pemberian tugas pada mata kuliah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar. Dari penugasan tersebut, diketahui bahwa ternyata terdapat beberapa masalah atau kendala yang sering dihadapi oleh sebagian besar guru PKn. Salah satunya adalah penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat. Sering ditemui guru yang cenderung menggunakan metode ceramah ketika mengajar di dalam kelas. Maka dari itu, dalam artikel ini penulis akan mencoba membahas mengenai metode role playing yang dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam pembelajaran PKn di SD pada materi lembaga pemerintahan pusat.


Kata kunci: metode pembelajaran, role playing

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang sangat dikenal dengan potensi alam yang sangat berkualitas oleh negara lain. Dikatakan demikian karena begitu banyak bangsa luar yang ingin menguasai segala sesuatu yang ada di Indonesia ini. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat Indonesia justru tidak menyadari akan kekayaan alamnya. Inilah yang menyebabkan sumber daya manusia yang ada di Indonesia tidak memiliki kualitas yang baik. Hal tersebut dapat kita lihat dari kejadian-kejadian atau bencana alam yang kini seringkali terjadi di Indonesia dan tindak criminal yang jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya sehingga meresahkan masyarakat sekitar. Bila seluruh masyarakat Indonesia dapat menjadi sumber daya manusia yang baik, maka seharusnya kejadian-kejadian yang tidak diinginkan tersebut dapat lebih diminimalisir. Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia ini ada yang memang sudah digariskan Tuhan untuk terjadi, namun ada pula akibat ulah manusia. Bencana alam yang terjadi akibat ulah manusia dan tindak criminal yang marak diberitakan di Indonesia ini dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap apa yang seharusnya dilakukan untuk menjaga dan melestarikan alam ini serta kurangnya kesadaran dalam diri mereka untuk menjaga keutuhan persaudaraan di negaranya sendiri.

Bila ditelusuri lebih jauh lagi, kejadian di atas dapat terjadi karena banyaknya pendidikan yang kurang berkualitas. Sebenarnya, pendidikan tersebut dapat diperoleh dari mana saja, dan dari siapa saja, bahkan kapan saja. Namun, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan bahwa pendidikan yang baik hanya dapat dilakukan di sekolah. Hal inilah yang membuat sebagian besar orangtua lepas tanggungjawab dalam mendidik anaknya sehingga akan sangat mudah bagi bangsa lain untuk mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang kualitas pendidikannya sangat rendah. Banyak sekali orangtua yang mempercayakan seluruh aspek pendidikan anaknya pada sekolah. Hal ini baik, namun sebaiknya setiap orangtua memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya pendidikan itu tidak hanya dapat dilakukan di sekolah, melainkan juga harus dilakukan di rumah dan utamanya adalah di lingkungan keluarga.

Lembaga pendidikan yang ada di Indonesia ini membantu anak bangsa dalam memperoleh segala informasi yang ada di negara kita sehingga nantinya anak bangsa dapat bergaul dan melangkah lebih jauh lagi untuk berinteraksi bahkan bekerjasama dengan negara lain dalam segala bidang yang dapat mengangkat derajat dan martabat Indonesia. Maka dari itu, diperlukan adanya tenaga ahli yang dapat membantu mewujudkan anak bangsa menjadi warga negara yang baik dan berkualitas bagi negara kita. Dalam hal ini, guru merupakan salah satu profesi di Indonesia yang berperan sebagai tenaga pendidik bagi anak bangsa. Seorang guru yang baik akan dapat menciptakan anak bangsa yang baik pula. Guru atau pendidik adalah seseorang yang dapat memberi pengaruh besar terhadap anak didiknya. Maka dari itu, seorang guru harus memberikan pembelajaran yang bermakna bagi peserta didiknya dan sebisa mungkin harus mampu membuat peserta didik senang dalam belajar hingga nantinya peserta didik tersebut dapat mengaplikasikan apa yang dia peroleh di sekolah dalam kehidupannya sehari-hari.

Mengenai pengaplikasian dari materi pembelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah mata pelajaran yang lebih mengedepankan aspek dari segi afektifnya atau dengan kata lain Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang banyak menuntut implementasinya dalam kehidupan nyata dari setiap materi yang dipelajari oleh siswanya. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah mata pelajaran yang sangat berat. Dikatakan demikian karena dalam pembelajaran PKn, guru memang harus menjadi figur yang benar-benar kreatif dan inovatif agar proses pembelajaran di kelas tidak membosankan dan dapat meningkatkan minat anak dalam belajar. Berbicara mengenai Pkn, maka mata pelajaran ini sangat erat kaitannya dengan negara, rasa cinta terhadap tanah air, dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa mata pelajaran PKn tidak hanya sebatas membahas tentang kenegaraan atau pun system pemerintahan di Indonesia. Bahasan yang lebih menarik dan bobotnya sangat sulit diterapkan oleh guru-guru diantaranya adalah bahasan mengenai nasionalisme dan patriotisme. Dikatakan menarik karena ternyata dua kata itu bukan hanya mengandung teori saja melainkan mengandung makna yang cukup mendalam bagi masyarakat Indonesia dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari adalah yang sangat diharapkan dari pembelajaran PKn di sekolah.

METODE
Pada penulisan artikel ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode yang penulis gunakan dalam penulisan dan penelitian ini. Penggunaan metode ini bertujuan untuk kemudian dapat mendeskripsikan secara lebih detail mengenai permasalahan yang memang sering dihadapi dalam proses pembelajaran di kelas. Pendekatan kualitatif ini selanjutnya didukung dengan teknik pengumpulan data berupa teknik wawancara, observasi, dan studi pustaka.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan teknik triangulasi di atas, diperoleh hasil penelitian berupa permasalahan yang sering menjadi kendala dalam proses pembelajaran di kelas, khususnya dalam pembelajaran PKn. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Siswa sulit memahami materi yang membahas tentang fungsi lembaga pemerintahan seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, dan lembaga pemerintahan lainnya.
  2. Banyak guru yang menuntut siswa untuk menghafal teori dalam pembelajaran PKn saja, sehingga mengakibatkan siswa tidak nyaman dan merasa terbebani dalam belajar.
  3. Guru banyak yang menggunakan metode pembelajaran yang monoton (tidak bervariasi), seperti metode ceramah dan tanya jawab.
  4. Guru hanya menggunakan ruangan kelas sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran, padahal guru dapat menggunakan lingkungan yang berada di sekitar sekolah bahkan di luar sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses belajar mengajar agar peserta didik tidak merasa jenuh.
  5. Guru tidak menggunakan media pembelajaran secara optimal, padahal di ruangan dan di dinding kelas banyak ditempel tokoh-tokoh pahlawan yang bisa dijadikan sebagai media dan sumber belajar.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang sering menjadi kendala dalam proses pembelajaran (khususnya dalam pembelajaran PKn), dalam tulisan ini penulis akan mencoba membahas mengenai metode yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas, salah satunya adalah metode role playing. Berikut akan diuraikan mengenai metode role playing.

A.      Metode Role Playing

Dalam suatu proses belajar mengajar ada beberapa komponen yang selalu terkait dan tidak bisa dipisahkan, yaitu media pengajaran, prosedur didaktif (metode), materi pelajaran dan lain-lain. “Semua komponen tersebut harus terpadu dan serasi agar tercipta suasana belajar mengajar yang menyenangkan, akhirnya terwujud suatu hal apa yang dinamakan dengan hasil belajar yang berbobot dan berkualitas (Winkel, 1991: 177).
Salah satu usaha yang tidak pernah guru tinggalkan adalah bagaimana memahami kedudukan prosedur didaktif sebagai salah satu komponen yang ikut ambil bagian dalam keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Dalam penggunaan metode atau prosedur didaktif terkadang seorang guru harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas. Jumlah anak didik mempengaruhi penggunaan metode. Bervariasinya metode juga dapat menyulitkan guru. Sebagai cara untuk tercapainya tujuan intruksional dari pembelajaran matematika maka perlu adanya pemilihan penggunaan metode yang terbaik agar siswa merasa tertarik untuk mempelajari mata pelajaran matematika sebagaimana mestinya.
Pembelajaran dengan role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan siswa dan membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah, yaitu: a) dapat menjamin poartisipasi seluruh siswa dan memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama hingga berhasil, dan b) permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa (Prasetyo, 2001:72).

Pembelajaran dengan role playing merupakan suatu aktivitas yang dramatik,biasanya ditampilkan oleh sekelompok kecil siswa, bertujuan mrngeksploitasi beberapa masalah yang ditemukan untuk melengkapi partisipasi dan pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat meningkatkan pemahaman (Prasetyo, 2001: 74).

Menurut Mulyasa (2005:43) pembelajaran dengan role playing ada tujuh tahap yaitu pemilihan masalah, pemilihan peran, menyusun tahap-tahap bermain peran, menyiapkan pengamat, tahap pemeranan, diskusi dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Pada tahap pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya. Tahap pemilihan peran memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain. Selanjutnya  menyusun tahap-tahap bermain peran. Dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa bisa menambah dialog sendiri. Tahap berikutnya adalah menyiapkan pengamat. Pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran. Setelah semuanya siap maka dilakukan kegiatan pemeranan. Pada tahap ini semua peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing sesuai yang terdapat pada skenario bermain peran.

Dalam hal ini guru menghentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan agar didiskusikan. Masalah yang muncul dari bermain peran, dibahas pada tahap diskusi dan evaluasi. Role playing disebut juga metode sosiodrama. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial (Djamarah dan Zain, 2002:56).

Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
  1. Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
  2. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
  3. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
  4. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.

B.      Proses Pelaksanaan Metode Role Playing
Agar metode role playing/ bermain peran ini dapat mencapai tujuan, maka harus disusun langkah-langkah pembelajaran agar penggunaan metode ini lebih efektif. Langkah-langkah menurut Subari, (1994: 93-94) tersebut sebagai berikut:
  1. Guru menerangkan teknik sosiodrama dengan cara yang mudah dimengerti oleh para siswa.
  2. Masalah yang akan dimainkan harus disesuaikan dengan tingkat umur dan kemampuan.
  3. Guru menceritakan masalah yang akan dimainkan itu secara sederhana tetapi jelas, untuk mengatur adegan dan memberi kesiapan mental para pemain.
  4. Jika sosiodrama itu untuk pertama kali dilakukan sebaiknya para pemerannya ditentukan oleh guru.
  5. Guru menetapkan para pendengar, yaitu para siswa yang tidak berperan.
  6. Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peranan yang harus dimainkan.
  7. Guru menyarankan kata-kata pertama yang harus diucapkan pemain untuk memulai permainan.
  8. Guru menghentikan permainan di saat situasi sedang mencapai klimaks dan kemudian membuka diskusi umum.
  9. Sebagai hasil diskusi, guru dapat meminta siswa untuk menyelesaikan masalah itu dengan cara-cara lain.
  10. Guru dan siswa menarik kesimpulan-kesimpulan dari drama yang dimainkan baik dalam teknik maupun dalam isinya.

Sedangkan Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran: (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, (2) memilih partisipan/peran, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan pengamat, (5) pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi tahap dua, (9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Kesembilan tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut.
  1.  Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternative pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.
  2. Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
  3. Menyususn tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.
  4. Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan?
  5. Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Merka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.
  6. Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
  7. Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternative pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.
  8. Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi masalah kehidupan.
  9. Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya. Mareka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

C.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Role Playing
Sebagai sebuah metode pembelajaran, metode role playing ini juga memiliki beberapa keunggulan namun tak lepas juga dari beberapa kekurangan. Role playing menurut Djamarah dan Zain (2002:67) mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:
Kelebihan metode role playing
  1. Siswa melatih dirinya memahami dan mengingat isi bahan yang akan diperankan. Sebagai pemain harus memahai, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.
  2. Siswa akan berlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain peran para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.
  3. Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah.
  4. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.
  5. Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggungjawab dengan sesamanya.
  6. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain.

Kelemahan metode role playing
  1. Sebagian anak yang tidak ikut bermainperan menjadi kurang aktif.
  2. Banyak memakan waktu.
  3. Memerlukan tempat yang cukup luas.
  4. Sering kelas lain merasa terganggu oleh suara pemain dan tepuk tangan penonton/pengamat.

Dengan menggunakan metode role playing, setidaknya peserta didik merasa senang dalam proses pembelajaran karena merasa dilibatkan bersama teman yang lainnya dan secara otomatis, peserta didik akan lebih mudah mengingat materi yang akan disampaikan oleh guru. Misalnya ketika guru PKn di SD akan menjelaskan mengenai tugas-tugas lembaga tinggi negara, maka materi ini akan sangat mudah disampaikan maksud dan tujuannya dengan menggunakan metode role playing. Atau ketika akan menceritakan sebuah peristiwa sejarah, metode ini sangat layak untuk digunakan dalam menyampaikan pembelajaran PKn di SD sehingga pembelajaran PKn akan sangat menyenangkan bagi siswa namun tidak lepas dari tujuan pembelajaran yang juga ingin dicapai.
Penggunaan metode role playing ini akan sangat membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran PKn. Dengan metode ini, guru tidak perlu lagi bersusah payah menjelaskan dengan suara yang lantang kepada siswanya.

HAMBATAN – HAMBATAN
Kurangnnya pengetahuan tentang banyaknya metode pembelajaran terhadap guru sekolah dasar menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pengembangannya. Hal ini menyebabkan baik pendidik maupun peserta didik belum terbiasa dengan metode pembelajaran yang efektif dan efisien. Dibutuhkan komitmen yang begitu kuat untuk bisa merancang dan melaksanakan metode ini dengan efektif. Selain itu sumber – sumber media pendukung pembelajaran juga harus lebih ditingkatkan, agar metode yang kita kembangkan bisa terus berlangsung.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masih banyak metode lain yang dapat digunakan dan membantu guru untuk proses pembelajaran yang efektif dan efisien, khususnya dalam pembelajaran PKn di SD, salah satunya adalah metode role playing seperti yang telah diuraikan di atas. Guru dalam menggunakan metode pembelajaran di kelas, akan sangat mempengaruhi proses belajar mengajar. Berhasil atau tidaknya proses pembelajaran ditentukan oleh rencana pelaksanaan pembelajaran yang di dalamnya termasuk juga metode pembelajaran. Penggunaan metode ini diharapkan dapat membantu guru dalam menyampaikan informasi bagi para siswa nya, agar materi yang disampaikan tidak terkesan berat dan statis.

SARAN
Proses pembelajaran di kelas sangat dipengaruhi oleh guru kelas. Bila guru kelas dapat menguasai kelas yang ditempati oleh siswanya, dalam arti bahwa guru tersebut telah mampu mengambil hati peserta didik untuk memiliki minat belajar yang baik, maka proses pembelajaran selanjutnya akan berjalan dengan baik pula. Dengan adanya penulisan artikel ini, penulis memiliki beberapa saran bagi seluruh pembaca khususnya yang nanti akan menjadi seorang guru SD sebagai berikut:

  1. Guru harus mampu menguasai kelas yang ia tempati.
  2. Seorang guru harus mampu menguasai beberapa metode pembelajaran agar dapat menentukan metode yang tepat untuk sebuah materi.
  3. Guru harus mampu menggunakan taktik lain bila ternyata metode yang telah direncanakan dalam RPP sebelumnya, tidak sesuai dengan harapan karena kondisi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. 
Winkel.      1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Grasindo,

http://akmalramdhan.weebly.com/model-pembelajaran-role-playing-bermain-peran-dalam-pembelajaran-partisipatif.html (diakses pada tanggal 11 Juni 2015)

Nama Dosen: Dirgantara Wicaksono
Mata Kuliah: Pengembangan Pembelajaran PKn di SD

1 komentar: