MAKALAH
Ilmu
Pendidikan Teoritis
(Teori
Pedagogi dan Andragogi, Teori Mengajar, Teori Kurikulum, dan Evaluasi
Pendidikan)
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Ilmu
Pendidikan
Dosen: Dr. Sudjarwo Singowidjojo M.Sc
Fakultas Ilmu Pendidikan
Program Studi PGSD
Disusun
oleh:
Nia Kurniawati
NIM:
2013820046
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jln. K.H. Ahmad Dahlan,
Cireundeu-Ciputat
Tahun Akademik 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji penulis sampaikan kepada Dzat
Allah Yang Maha Suci, syukur pun tak lupa penulis sampaikan kepada Dzat Allah
Yang Maha Ghafur. Karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Ilmu Pendidikan Teoritis (Teori
Pedagogi dan Andragogi, Teori Mengajar, Teori Kurikulum, dan Evaluasi
Pendidikan)”. Makalah ini penulis susun untuk memenuhui salah satu tugas
mata kuliah Ilmu Pendidikan.
Penulis menyusun
makalah ini bertujuan untuk mengetahui teori-teori yang digunakan dalam ilmu
pendidikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan
makalah ini belum mampu mendekati kata sempurna. Hal ini dikarenakan
keterbatasan penulis dalam menguasai dan memahami bidang sastra. Tetapi,
keterbatasan ini tidak mematahkan
semangat penulis untuk terus menyusun dan menyelesaikan karya tulis ini dengan
dibantu oleh berbagai pihak, baik bantuan moril ataupun materil. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan penulis, penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
- Bpk. Dr. Sudjarwo Singowidjojo M.Sc sebagai dosen sekaligus pembimbing dalam bidang Ilmu Pendidikan.
- Ibu dan Ayah tercinta yang telah memberikan motivasi dalam berbagai bidang serta yang telah memberikan do’a yang tiada henti untuk kelancaran hidup penulis.
- Teman-temanku seperjuangan yang ikut serta merasakan kelelahan dalam pembuatan makalah ini.
Semoga pembuatan makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khusunya bagi penulis. Semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua. Amiin.
Ciputat,
23 Oktober 2013
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Dunia
ini diciptakan bagi seluruh makhluk. Namun, baik buruknya dunia ini tergantung
atas manusia yang ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. Kadang kala
manusia tidak mampu bersyukur atas dirinya yang telah ditetapkan sebagai
khalifah. Untuk mampu mengelola dunia dengan baik, maka manusia perlu belajar
agar memperoleh ilmu pengetahuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah.
Ilmu pengetahuan saja tidak cukup bagi manusia untuk mengelola bumi ini, maka
dari itu manusia juga perlu memiliki pendidikan. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan
sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu
diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Ini berarti, melalui pendidikan
seharusnya terjadi proses belajar untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan
dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri sesuai dengan
potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk hidup bermasyarakat.
Perkembangan
pemikiran manusia dalam memberikan batasan tentang makna dan pengertian
pendidikan, setiap saat selalu menunjukkan adanya perubahan. Perubahan itu
didasarkan atas berbagai temuan dan perubahan di lapangan yang berkaitan dengan
semakin bertambahnya komponen system pendidikan yang ada. Berkembangnya pola
pikir para ahli pendidikan, pengelola pendidikan, dan pengamat pendidikan yang
membuahkan teori-teori baru.
Pada masa sekarang, ilmu pendidikan
mengalami perluasan menjadi ilmu pendidikan praktis dan ilmu pendidikan
teoritis. Dalam ilmu pendidikan teoritis, focus pengkajian utama adalah pada
filsafat teori, dan konsep-konsep dasar yang terkait dengan pendidikan dan
dengan teori-teori berbagai cabang ilmu lain yang digunakan dalam pendidikan.
Ada pun ilmu pendidikan praktis lebih menekankan pada pelaksanaan atau praktik
ilmu pendidikan itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya,
khususnya di Indonesia, perkembangan ilmu pendidikan praktis cenderung lebih
menonjol dan perkembangannya lebih pesat. Hal ini terjadi karena ilmu
pendidikan praktis dianggap lebih mudah menerapkan pendidikan yang didapat
dibandingkan dengan ilmu pendidikan teoritis. Kejadian seperti ini tentu ada
sisi positif dan pasti ada juga sisi negatifnya. Salah satu sisi negatifnya
yaitu berdampak pada makin berkurangnya pakar terkait dengan ilmu pendidikan
teoritis.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis akan menyusun makalah mengenai ilmu pendidikan teoritis
yang difokuskan pada pembahasan teori pedagogi dan andragogi, teori mengajar,
kurikulum dan evaluasi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Teori Padegogi dan Andragogi
2.1.1.
Teori Pedagogi
Pedagogik
berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki, dan “agogos”
artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogic secara harfiah berari pembantu
anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak
majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan pedagogik adalah seorang ahli,
yang membimbing anak kearah tujuan hidup tertentu. Menurut Prof. Dr. J.
Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing
anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara mandiri
menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic adalah ilmu pendidikan anak.
Langeveld (1980), membedakan istilah
“pedagogic” dengan istilah “pedagogi”. Pedagogic diartikan dengan ilmu
pendidikan, lebih menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang
pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak.
Sedangkan istilah pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan pada
praktek, menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak.
Pedagogic merupakan suatu teori yang
secara teliti, krisis dan objektif, mengembangkan konsep-konsepnya mengenai
hakekat manusia, hakekat anak, hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses
pendidikan. Walaupun demikian, masih banyak daerah yang gelap sebagai
“terraincegnita” (daerah tak dikenal) dalam lapangan pendidikan, karena masalah
hakekat hidup dan hakekat manusia masih banyak diliputi oleh kabut misteri.
2.1.2.
Teori Andragogi
Andragogi
(Andragogy) berasal dari kata Yunani ”andr” atau ”aner” yang berarti orang dewasa,
dan agogi (agogy) yang juga berasal dari kata Yunani ”agogus” berarti
”memimpin/membimbing”. Agogi berarti ”aktivitas memimpin/membimbing” atau ”seni
dan ilmu mempengaruhi orang lain”.
Malcolm
S. Knowles semula mendefinisikan andaragogi sebagai ”seni dan ilmu membantu
orang dewasa belajar”. Namun dalam perkembangan berikutnya, setelah Knowles
melihat banyak guru yang menerapkan konsep andragogi pada pendidikan anak-anak
muda dan menemukan bahwa dalam situasi tertentu memberikan hasil lebih baik,
kemudia Knowles menyatakan bahwa andragogi sebenarnya merupakan model asumsi
lain mengenai pelajar yang dapat digunakan disamping model asumsi paedagogi. Ia
juga menyatakan bahwa model-model itu (paedagogi dan andragogi) mungkin paling
berguna apabila tidak dilihat sebagai dikotomi, tapi sebagai dua ujung dari
suatu spektrum, atau terletak pada suatu garis (kontinum), dimana suatu situasi
berbeda di antara dua ujung tersebut.
Untuk memahami
perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah
dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :
1.
Citra
Diri
Citra diri
seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat
anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat
keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada
orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat
kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah
mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak.
Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri
sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan
seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses
belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal
hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat
timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih
ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.
2.
Pengalaman
Orang dewasa
dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada
anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang
mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam
pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai
sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman
itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses
belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara
komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan
sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat
diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti
itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber
belajar.
3.
Kesiapan
Belajar
Perbedaan ketiga
antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran.
terhadap proses pemilihannya, serta
kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta
didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya
sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4.
Nirwana
Waktu dan Arah Belajar
Pendidikan
seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan.
Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan
masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu,
andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa
kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu
tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman
kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada
saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana
kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka
belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari
ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan
proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu
waktu kelak.
2.2. Teori Mengajar
Dalam arti luas, teori adalah suatu penafsiran sistematik
dari suatu bidang ilmu pengetahuan. Ada ahli yang berpendapat bahwa teori
itu dalam praktek adalah dua hal yang berbeda. Teori beranekakan ilmu
pengetahuan, penelitian dan rekayasa ilmu pengetahuan . Ciri-cirinya abstrak
dan berpihak pada landasan yang berpikir logis. Teori mengemukakan pertimbangan
dan prinsip-prinsip berpikir logis. Teori mengemukakan pertimbangan dan
prinsip-prinsip untuk menjelaskan masaalah yang dipersoalkan, sifatnya
deskriptif. Praktek berarenakan pelaksanaan aktivitas manusia dalam mengerjakan
sesuatu. Praktek– praktek memberikan petunjuk teknis, pedoman pelaksanaan
aktivitas manusia dalam mengerjakan sesuatu. Praktek-praktek memberikan
petunjuk teknis, pedoman pelaksanaan, merupakan dua profesi sifatnya
preskriptif.
Untuk memperkuat kedudukan mengajar sebagai ilmu pengetahuan diperlukan teori yang membahas
masalah mengajar. Orang yang
tidak mengembangkan konsep mengajar
secara sistematis mungkin percaya bahwa mengajar
itu adalah suatu yang dikerjakan dan bukan suatu yang dipikirkan atau
dipelajari. Pada dasarnya hal yang sangat dibutuhkan dalam profesi mengajar untuk mengorganisasi
pengetahuan kita tentang mengajar
dalam rangka pemantapan konsep mengajar,
teori mengajar seharusnya
menjawab tiga pertanyaan:
1. Bagaimana guru itu berbuat ?
2. Mengapa mereka berbuat demikian?
3. Apa pengaruh hasil perilaku mereka ?
Namun pada dasarnya, konsep mengajar
merupakan telaah penting dalam memetakan secara lengkap tentang perkembangan
teori mengajar. Konsep-konsep yang diterapkan dalam dan praktik mengajar, akan
mewarnai perkembangan dan karakteristik teori itu sendiri yang padagilirannya
merupakan bagian rumusan dari teori mengajar yang dibangun. Ada beberapa konsep
mengajar dan praktik mengajar yang menjadi pijakan dalam teori mengajar.
Ramsden (1992:111-120) mengemukakan
minimal ada tiga konsep teori mengajar dan praktik mengajar yang cenderung
menjadi kajian para ilmuwan ataupun praktisi pendidikan.
Teori 1: “teaching as telling or transmission”. Mengajar
adalah proses menyampaikan atau mentransmisikan sesuatu. Konsep teori mengajar
ini menekankan bahwa penyampaian (transmission) bahan ataupun teaching delivery
merupakan hal yang dominan dalam mewarnai berbagai konsep dan praktik mengajar.
Dalam teori mengajar seperti ini focus kegiatannya adalah apa yang akan
dilakukan guru terhadap siswa.
Teori 2: “teaching as organizing students activity”. Teori
mangajar ini menyatakan bahwa mengajar pada dasarnya mengorganisasikan kegiatan
siswa, dengan demikian focus kegiatannya adalah bagaimana mengorganisasikan
agar siswa melakukan serangkaian aktifitas yang melahirkan pengalaman belajar.
Mengajar dipandang sebagai proses supervisi dengan sejumlah teknik tertentu
sehingga siswa dapat belajar.
Teori 3: “teaching as
making learning possible”. Teori ini memandang bahwa belajar dan
mengajar merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bila teori
pertama lebih cenderung memfokuskan pada kegiatan guru (teachers oriented), dan
teori kedua memfokuskan pada kegiatan siswa (students oriented) maka teori tiga
ini memadukan antara dua komponen tersebut. Teori ini lebih merupakan gabungan
berbagai aspek pembelajaran, yaitu antara lain siapa yang melakukan kegiatan
mengajar, apa yang akan diajarkan, kepada siapa, dengan cara apa, dan bagaimana
mengetahui pengajaran itu berhasil atau tidak.
Pada dimensi yang lebih luas, konsep
mengajar dapat dipandang dari tiga dimensi. Ketiga dimensi konsep belajar
tersebut adalah: 1) konsep mengajar sebagai mitos (teaching as mythos); 2)
konsep mengajar sebagai system/subsistem (teaching as system/subsystem); 3)
konsep mengajar sebagai substansi keilmuan (teaching as science).
2.2.1. Perkembangan Teori Mengajar
Tidak ada suatu teori atau rumpun ilmu
mana pun yang statis, steril, dan tanpa ada perubahan. Teori akan berkembang
seiring dengan sejarah perkembangan konsep yang dibangunnya, atau oleh sejarah perkembangan
teori lsin yang secara sistemik, mempengaruhinya. Demikian juga perkembangan
teori mengajar, senantiasa mengalami perubahan, dinamis, berkembang seirama
dengan perkembangan teori lainnya antara teori mengajar dengan praktik
mengajar.
Teori mengajar secara nyata dibangun
oleh adanya perkembangan dalam teori pendidikan. Adanya dinamika teori
pendidikan, secara langsung juga akan merefleksikan adanya dinamika dan
keragaman dalam memahami teori mengajar.
Secara umum, ada empat aliran pendidikan
(Sukmadinata, 1997). Keempat aliran pendidikan tersebut bagaimana pun juga akan
mewarnai teori pendidikan dan teori mengajar dan secara langsung atau pun tidak
langsung mempengaruhi konstruk teori mengajar (teaching theory). Keempat aliran
pendidikan tersebut adalah:
Ø Pendidikan
klasik (classical education);
Ø Pendidikan
pribadi (personalized education);
Ø Teknologi
pendidikan (technology education);
Ø Pendidikan
interaksional (interactional education).
2.2.1.1. Teori Mengajar pada
Pendidikan Klasik
Para ahli dan praktisi pendidikan sering
menyebut konsep tertua dalam pendidikan adalah pendidikan klasi, dalam konsep
pendidikan ini garapan pendidikan bertolak pada asumsi bahwa ada tatanan
warisan budaya yang sepatutnya dilestarikanoleh masyarakat generasi berikutnya.
Warisan budaya tersebut berupa pengetahuan, hasil, ide, system nilai yang telah
dikembangkan oleh masyarakat terdahulu. Pendidikan berfungsi sebagai
pemelihara, pengawet, dan penerus semua warisan budaya untuk generasi yang akan
datang. Teori pendidikan ini lebih menekankan pada peranan isi daripada proses
dan cara mengajarkannya.
Dalam pendidikan klasik ini, tugas guru
adalah memilih dan menyajikan materi ilmu tersebut sesuai perkembangan peserta
didik. Artinya dengan asumsi bahwa subject content/ bahan sudah tersusun dengan
sistemik dan tertata dengan baik, maka peran guru lebih pada posisi
“menyampaikan bahan”. Walaupun dalam banyak hal, tugas para pendidik bukan
hanya mengajarkan materi pengetahuan tetapi juga melatih keterampilan dan menanamkan nilai. Dalam konsep ini guru
adalah ahli dalam bidang ilmu tersebut dan juga berperan sebagai model nyata.
Dalam pendidikan klasik, penekanannya adalah bagaimana isi berupa system nilai
dan atau pengetahuan diajarkan pada anak didik. Isi tersebut disusun secara
logis dan sistematis dan berstruktur dengan penekanan pada segi intelektual,
dan sedikit sekali memperhatikan aspek social dan psikologis. Guru berperan
sangat dominan, ia menentukan isi, metode dan evaluasi. Sedangkan siswa
berperan secara pasif dan hanya sebagai penerima informasi atau bahan yang
sudah terancang dengan terurut dan sistemik.
2.2.1.2. Teori Mengajar pada
Pendidikan Pribadi
Konsep mengajar pada pendidikan pribadi
ini lebih banyak dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistic. Oleh sebab
itu, pendidikan pribadi sering juga disebut sebagai pendidikan humanistic.
Beberapa tokoh konsep aliran pendidikan ini antara lain: John Dewey melalui
“progressive education” ataupun JJ. Rosseau melalui konsep “romantic
education”. Asumsi dasar konsep pendidikan ini adalah anak merupakan sosok
sentral yang utama dalam program pendidikan. Oleh karena itu, anak didik
merupakan subyek pendidikan, yang harus didengar, didekati, dan diapresiasi
secara komprehensif tentang segala harapan, cita-cita, dan aspirasinya. Para
siswa adalah sosok yang memiliki potensi, kemampuan, kekuatan, oleh sebab itu
pendidikan harus dianggap sebagai persemaian yang subur untuk mengembangkan
siswa secara menyeluruh.
Dalam teori pendidikan pribadi ini,
konsep pendidikan bertolak dari anggapan bahwa peserta didik dilahirkan dan
telah memiliki sejumlah potensi yang akan berkembang dengan sendirinya. Dalam
konsep ini pendidikan ibarat persemaian yang berfungsi untuk menciptakan
lingkungan yang baik. Dalam konsep ini pendidikan bertolak berdasarkan
kebutuhan dan minat peserta didik. Pendidik bukan lagi sebagai penyampai
informasi atau sebagai model, akan tetapi ia berperan sebagai pembimbing yang
mampu memahami dan mengerti segala kebutuhan.
2.2.1.3. Teori Mengajar pada
Teknologi Pendidikan
Dalam teknologi pendidikan ini, garapan
pendidikan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Pendidikan adalah
pembentukan dan penguasaan kompetensi yang berorientasi pada masa sekarang dan
yang akan datang. Konsep pendidikan ini mengutamakan konsep segi empiris,
informasi obyektif yang didasarkan pada kaidah yang dapat diamati dan diukur
serta dihitung secara statistic. Dalam teori pendidikan ini, pendidikan adalah
ilmu dan bukan seni. Dengan demikian pengembangan desain program menjadi
prinsip utama ke arah efisiensi dan efektifitas. Dalam pengembangan desain
program dalam pendidikan ini mengembangkan kaidah teknologi pendidikan dengan
melibatkan perangkat lunak dan perangkat keras termasuk audio visual dan media
pembelajaran. Dalam teori ini guru berfungsi sebagai direktur belajar dengan
tugas-tugas melakukan pengelolaan pendidikan dan pendalaman bahan.
2.2.1.4. Teori Mengajar pada
Pendidikan Interaksional
Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan
manusia lain untuk bekerjasama, berinteraksi, dan bekerja, dan hidup satu sama
lain. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan untuk bekerja dan
interaksi. Pendidikan interaksional menekankan interaksi duap pihak atau multi
pihak, yaitu guru, siswa, dan lingkungannya sehingga terjadi hubungan dialogis
dan interaksional. Dalam proses belajarnya, model interaksional terjadi melalui
dialog. Guru berperan dalam menciptakan dialog dengan dasar saling mempercayai
dan saling membantu. Bahan ajar banyak diambil dari lingkungan. Siswa diajak
untuk menghayati nilai social budaya yang ada di masyarakat. Dalam pendidikan
interaksional menekankan pada isi dan proses pendidikan secara sekakaligus. Isi
pendidikan terdiri dari problem nyata
yang actual di masyarakat. Sedangkan proses berbentuk kegiatan belajar
berkelompok yang mengutamakan kerjasama dan interaksi siswa dengan guru dan
lingkungannya termasuk sumber belajar.
2.2.2. Dimensi Teori Model Mengajar
Teori model mengajar ini pada
dasarnya memberikan dasar bahwa mengajar
dapat dipandang sebagai suatu kerangka dan dasar pengembangan mengajar.
Keduanya baik kerangka dan dasar mengajar pada dasarnya tidak dapat dipisahkan,
misalnya mengenai kerangka dasar maksudnya bahwa dalam suatu pemahaman tentang
mengajar maka di dalamnya akan ada beberapa penerapan dari teori model-model
mengajar yang dimaksud, demikian pula dalam suatu upaya mengembangkan pemahaman
mengajar dari suatu pengalaman dan proses mengajar yang selama ini dilakukan
maka akan dihasilkan beberapa model mengajar.
Ø Teori
Mengajar Konsep
Ø Teori
Mengajar Membedakan
Ø Teori
Mengajar Induktif
Ø Teori
Mengajar Mencari dan Menemukan (Discovery Inquery)
Ø Teori
Mengajar Advance Organizer
Ø Teori
Mengajar Model Memory
Ø Teori
Mengajar Kognitif
Ø Teori
Mengajar Non Directive
Ø Teori
Mengajar Synectics
Ø Teori
Mengajar Group Investigation
2.2.3. Penerapan Teori Mengajar
dalam Berbagai Bidang Studi
Terdapat beraneka ragam rumusan pengertian
tentang mengajar. Setiap rumusan mempunyai kaitan arti dalam praktik
pelaksanaannya. Rumusan itu sendiri bergantung pada pandangan perumusnya. Ada
perumus yang mengatakan bahwa mengajar itu adaptasi dari transfer of knowledge
berarti pandangan perumus itu cenderung ke arah kelompok cognitivism, atau
aliran mengajar yang hanya mengandalkan bahwa peserta didik cukup mengandalkan
hanya diberi dan diisi pengetahuan-pengetahuan saja.
2.2.3.1. Mengajar dalam
Bidang Studi Eksakta
Untuk mengajar dalam bidang studi eksakta,
teori mengajar yang harus dikembangkan adalah teori-teori psikologi kognitif.
Dimana teori mengajar yang dikembangkan akan berhubungan dengan bagaimana guru
mampu memberikan pola-pola berpikir yang mekanistis. Antara input dan output
dari proses berpikir harus memenuhi persyaratan logika berpikir yang telah
disepakati. Teori-teori psikologis kognitif, cukup baik dalam meberikan
kejelasan mengajar seorang guru matematika, dan IPA, dimana suatu formula yang
ditanamkan pada siswanya akan dengan mudah harus digunakan ketika siswa harus
menggunakannya kembali.
2.2.3.2. Mengajar dalam
Bidang Studi Ilmu Sosial
Teori-teori psikologi psikoanalisa dan
teori daya cukup mendominasi ketika guru mengajarkan bidang studi kelompok ilmu
social. Dalam mengajarkan bidang studi kelompok social diperlukan adanya upaya
pengembangan kemampuan berpikir yang luas dan fleksibel. Siswa dituntut untuk
mampu melakukan analisis keterkaitan antara logika, perasaan, nilai, bahasa,
dan kepekaan social lainnya, sehingga bukan hanya pengetahuan yang
diketengahkan tetapi juga bagaimana norma, aturan dan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan bisa
dikembangkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
2.2.3.3. Mengajar dalam
Bidang Studi Ilmu Keterampilan
Guru yang mengajarkan bidang studi yang
sifatnya membentuk keterampilan tentunya harus memikirkan, kira-kira
keterampilan seperti apa yang mudah diserap oleh siswa. Teori-teori psikologi
yang dibutuhkan adalah teori psikologi perkembangan. Ketika mengajar guru
dituntut untuk mengingat kembali jenis-jenis tugas perkembangan apa yang
dibutuhkan siswa.Sebagaimana yang dijelaskan oleh Peaget bahwa perkembangan
anak akan berbeda berdasarkan usianya.
2.2.3.4. Mengajar dalam
Bidang Studi Bahasa dan Seni
Dalam mengajarkan seni maka terdapat
teori-teori psikologis dan komunikasi yang harus dipadukan. Teori-teori
psikologi yang harus digunakan adalah teori-teori kognitif. Agar teori mengajar
ini lebih optimal dalam membimbing siswa dalam belajar bahasa dan seni, maka
guru juga harus menerapkan teori biologi komunikasi, yaitu teori komunikasi
yang berupaya mengoptimalkan kemampuan berpikir yang dilakukan oleh otak.
2.3.
Teori Kurikulum
Teori kurikulum yaitu suatu perangkat pernyataan yang
memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena
adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan,
penggunaan dan evaluasi kurikulum.Bahan penyajian dari teori kurikulum
adalah hal-hal yang berkaitan dengan penetuan keputusan,
penggunaan,perencanaan,pengembangan,evaluasi kurikulum, dan lain-lain.
2.3.1.
Konsep Kurikulum
Ada tiga
konsep tentang kurikulum: kurikulum sebagai substansi, kurikulum sebagai
system,dan kurikukulum sebagai bidang studi.
Konsep pertama(kurikulum sebagai substansi) suatu kurikulum dipandang
orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau
sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat
menunjuk kepada dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar,
kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi.
Konsep kedua(kurikulum sebagai suatu system), yaitu suatu system
kurikulum. System kurikulum merupakan bagian dari system persekolahan, system
pendidikan, bahkan system masyarakat. Suatu system kurikulum mencakup system
personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum,melaksanakan,
mengevaluasi, dan menyempurnakannya.
Konsep ketiga (kurikulumm sebagai bidang studi) yaitu bidang studi
kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan
dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu
tentang kurikulum dan system kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum
mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum.
2.3.2.
Perkembangan Teori Kurikulum
Perkembangan
kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charless dan McMurry,
tetapi secara definitive berawal dari hasil karya Frankin Babbit tahun 1918.
Bobbit sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, ia perintis
pengembangan praktek kurikulum.
Menurut
Bobbit teori kurikulum itu sederhana,yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia
meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama terbentuk oleh sejumlah kecakapan
pekerjaan. Pendidikan berupa mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan
teliti dan sempurna. Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang
gerakan pendidikan yang berpusat pada
anak(child centered). Teori
kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada
kehidupan sebagai orang dewasa (Bobbit dan Charles) kepada kehidupan psikologis
anak pada saat inii. Anak menjadi pusat perhatian pendidikan.
Perkembangan teori kurikulum selanjutnya di
bawakan oleh Hollis Dasweel. Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang
kurikulum di beberapa negara di bagian Amerika Serikat. Ia mengembangkan
kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaan. Maka Caswell
mengembangkan kurikulumyang bersifat interaktif. Dalam pengembangan
kurikulumnya, Caswell menekankan pada
partisipasi guru-guru berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan
stuktur organisasi dari penysusun kurikulum, dalam merumuskan pengertian
kurikulum,merumuskan tujuan, memilih isi, menetukan kegiatan belajar, desain
kurikulum,menilai hasil.
Pada tahun
1947 di Univertas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang kurikulum.
Sebagai hasil diskusi tersebut dirumuskan tiga tugas utama teori kurikulum:(1)
mengidentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam pengembangan
kurikulum dan konsep-konsep yang mendasarinya,(2) menentukan hubungan antara
masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnnya,(3) mencari atau
meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan
masalah tersebut.
Ralph
W.Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian
kurikulum:
- Tujuan
pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?
- pengalaman pendidikan yang
bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?
- bagaimana mengorganisasikan
pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?
- bagaimana kita menentukan bahwa
tujuan tersebut telah tercapai?
2.3.3.
Sumber Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum pertama bertolak dari kehidupan dan pekerjaan orang dewasa, karena
sekolah mempersiapkan anak nagi kehidupan orang dewasa,kurikulum terutama isi
kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa.
Dalam
pengembangan selanjutnya, sumber ini menjadi luas meliputi semua unsure
kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang bebudaya, hidup dalam lingkungan
budaya, dan turut menciptakan budaya.
Sumber
lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan atau pengajaran, yang
belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran bukan memberikan sesuatu pada
anak, melainkan menumbuhkan potensi-potensi yang telah ada pada anak. Ada tiga
pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum, yaitu kebutuhan siswa, perkembangan
siswa, dan minat siswa.
Beberapa
pengembang kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum pada pengalaman-pengalaman
penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman pengembangan kurikulum yang lalu
menjadi sumber penyusunan kurikulum kemudian. Hal lain yang menjadi sumber
penyusunan kurikulum adalah nilai-nilai. Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat
merupakan sumber penemuan keputusan yang dinamis.
Terakhir
yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan sosial-politik. Di
Amerika Serikat pemegang kekuasaan social-politik yang menentukan kebijaksanaan
dalam kurikulum adalah board of education
local yang mewakili negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan
social-politik dalam penentuan kurikulum adalah Mentri Pendidikan dan
Kebudayaan yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan
Balitbangdikdub.
2.3.4.
Desain dan Rekayasa Kurikulum
Desain
kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta proses belajar
yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam
desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dan kurikulum, hubungan antara satu
unsure dengan unsure lainnya, prinsip-prinsip pengorganisasian, serta hal-hal
yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Dalam desain kurikulum, ada dua dimensi
penting, yaitu: (1) substansi, unsure-unsur serta organisasi dari dokumen
tertulis kurikulum; (2) model pengorganisasian dan bagian-bagian kurikulum
terutama organisasi dan proses pengajaran.
Ada dua
hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum: Pertama, ketentuan-ketentuan, tentang bagaimana penggunaan
kurikulum serta bagaimana mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan
masukan dari pengalaman, kedua,
kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun system pelaksanaannya.
Rekayasa
kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memungkinkan kurikulum disekolah,
upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikulum agar kurikulum dapat
berfungsi sebaik-baiknya. Pengelola kurikulum disekolah terdiri dari: para
pengawas/penilik dan kepala sekolah sedangkan pada tingkat pusat adalah Kepala
Pusat Pengembangan Kurikulum Balitbang Dikbud dan para Kasubdit/Kepala Bagian
Kurikulum di Direktorat.
Seluruh
system rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima hal, yaitu: (1) arena
atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa kurikulum; (2)
keterlebatan orang-orang dalam proses kurikulum; (3) tugas-tugas dan prosedur
perencanaan kurikulum; (4) tugas-tugas dan prosedur implementasi kurikulum; dan
(5) tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum.
2.4.
Evaluasi Pendidikan
2.4.1. Pengertian
Evaluasi Pendidikan
Secara harfiyah, evaluasi pendidikan
diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal
yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan. Adapun dari segi istilah,
sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) evaluasi
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Apabila definisi Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) digunakan untuk
memberi definisi tentang evaluasi pendidikan, maka evaluasi pendidikan itu
dapat diberi pengertian sebagai suatu tindakan atau kegiatan (yang dilaksanakan
dengan maksud untuk) atau suatu proses (yang berlangsung dalam rangka)
menentukan nilai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu segala
sesuatu yang berhubungan dengan, atau yang terjadi di lapangan pendidikan).
Atau singkatnya evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai
pendidikan sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya.
Menurut Guba dan Lincoln evaluasi
merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu
yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan itu bisa berupa orang,
benda, kegiatan atau keadaan tertentu. dari konsep diatas ada dua hal yang
menjadi karakteristik evaluasi. Pertama, evaluasi merupakan suatu proses.
Artinya, dalam suatu pelaksanaan evaluasi mestinya terdiri dari beberapa macam
tindakan yang harus dilakukan. Kedua, evaluasi berhubungan dengan pemberian
nilai atau arti. Artinya, evaluasi dapat menunjukan kualitas yang dinilai.
Lembaga Administrasi Negara mengemukakan
batasan mengenai evaluasi pendidikan sebagai berikut. Evaluasi pendidikan
adalah:
1)
Proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan
tujuan yang telah ditentukan;
2)
Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik bagi penyempurnaan
pendidikan.
2.4.2. Hubungan antara Penilaian
(evaluasion) dengan Pengukuran
(measurement)
Pengukuran dalam bahasa Inggris disebut
dengan measurement dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk
mengukur sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan
atau atas dasar ukuran tertentu.
Evaluasi memiliki makna yang berbeda
dengan pengukuran. Pengukuran pada umumnya berkenaan dengan masalah kuantitatif
untuk mendapatkan informasi yang diukur. Oleh sebab itu, dalam proses pengukuran
diperlukan alat bantu tertentu. Dengan demikian, antara evaluasi dan pengukuran
tidak bisa disamakan walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Evaluasi akan lebih tepat manakala didahului oleh proses pengukuran, sebaliknya
hasil pengukuran tidak akan memiliki arti apa-apa manakala tidak dikaitkan
dengan proses evaluasi. Jadi, pengukuran itu hanya bagian dari evaluasi dan tes
bagian dari pengukuran. Ini berarti sebelum dilakukan evaluasi, didahului oleh
pengukuran. Dan pengukuran adalah hasil dari suatu tes.
Dari penjelasan di atas, maka pengukuran
adalah proses pengumpulan data yang diperlukan dalam rangka memberikan
judgement yakni berupa keputusan terhadap sesuatu. Pengukuran yang bersifat
kuantitatif itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
1. Pengukuran
yang dlakukan bukan untuk menguji sesuatu. Misalnya pengukuran yang dilakukan
penjahit pakaian.
2. Pengukuran
yang dilakukan untuk menguji sesuatu. Misalnya pengukuran untuk menguji daya
tahan perbaja terhadap tekanan berat.
3. Pengukuran
untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan menguji sesuatu. Misalnya pengukuran
kemajuan belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan
dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar. Pengukuran jenis ketiga
inilah yang digunakan dalam dunia pendidikan. Penilaian berarti menilai
sesuatu. Sedangkan menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan
mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik dan buruk, sehat atau sakit,
pandai atau bodoh dan sebagainya. Jadi penilaian itu sifatnya adalah
kualitatif.
Sedangkan evaluasi adalah mencakup dua
kegiatan tadi, yaitu pengukuran dan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan atau
proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang
sedang dinilai itu dilakukanlah pengukuran, dan wujud dari pengukuran itu
adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal
dengan istilah tes.
Lebih lanjut dikatakan bahwa istilah
penilaian mempunyai arti yang lebih luas di bandingkan dengan istilah
pengukuran. Sebab pengukuran itu sebenarnya hanyalah merupakan suatu langkah
atau tindakan yang kiranya perlu diambil dalam rangka pelaksanaan evaluasi.
Dikatakan “perlu diambil” karena tidak semua penilaian itu harus senantiasa di
dahului oleh tindakan pengukuran secara lebih nyata.
Namun demikian tidak dapat disangkal
adanya kenyataan bahwa evaluasi dalam bidang pendidikan-(khususnya evaluasi
terhadap prestasi belajar peserta didik)- sebagian besar bersumber dari
hasil-hasil pengukuran. Evaluasi mengenai proses pembelajaran disekolah tidak
mungkin dapat terlaksana dengan baik apabila evaluasi itu tidak didasarkan atas
data yang bersifat kuantitatif. Inilah sebabnya mengapa dalam praktek masalah
pengukuran mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses evaluasi. Baik
buruknya evaluasi akan bergantung pada hasil- hasil pengukuran yang mendahuluinya.
Hasil pengukuran yang kurang cermat akan memberikan hasil evaluasi yang kurang
cermat pula ; sebaliknya teknik pengukuran yang tepat diharapkan dapat
memberikan landasan yang kokoh untuk mengadakan evaluasi yang tepat.
Dalam rangka mempertegas perbedaan
pengukuran dengan penilaian Wandt dan Brown mengatakan bahwa, pengukuran adalah
suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas dari sesuatu;
ia akan memberikan jawaban atas pertanyaan How much?. Adapun penilaian atau
evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu, dan
akan memberikan jawaban atas pertanyaan, What value?.
Perbedaan lainnya antara pengukuran dan
penilaian adalah bahwa penilaian lebih banyak melibatkan unsur subyektifitas
daripada pengukuran. Dalam hal ini Stanley dan Hopkins berpendapat bahwa:
“penilaian selalu melibatkan lebih banyak unsur subyektifitas daripada
pengukuran, tapi suatu pengukuran yang paling obyektif sekalipun tidak akan
terlepas dari unsur subyektifitas”. Dalam proses penilaian hasil belajar,
pengukuran mempunyai peranan yang sangat penting. Yakni, untuk mendapatkan data
dan informasi yang sesuai dengan tujuan penilaian yang bersangkutan.
2.4.3. Fungsi Evaluasi Pendidikan
Secara umum, evaluasi sebagai suatu
tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok yaitu:
1. Mengukur
kemajuan
2. Menunjang
penyusunan rencana
3. Memperbaiki
atau melakukan penyempurnaan kembali
Seperti telah di kemukakan dalam
pembicaraan terdahulu, evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan
selanjutnya menilai, sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat
dilaksanakan. Apabila tujuan yang telah dirumuskan itu direncanakan untuk
dicapai secara bertahap, maka dengan evaluasi yang berkesinambungan akan dapat
di pantau, tahapan manakah yang sudah dapat di selesaikan, tahapan manakah yang
berjalan dengan mulus, dan mana pula tahapan yang mengalami kendala dalam
pelaksanaannya. Walhasil dengan evaluasi terbuka kemungkinan bagi evaluator
untuk mengukur seberapa jauh atau seberapa besar kemajuan atau perkembangan
program yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Setidak-tidaknya ada dua macam
kemungkinan hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi, yaitu:
1) Hasil
evaluasi itu ternyata menggembirakan, sehingga dapat memberikan rasa lega bagi
evaluator, sebab tujuan yang telah ditentukan dapat di capai sesuai dengan yang
direncanakan.
2) Hasil
evaluasi ternyata tidak menggembirakan atau bahkan mengkhawatirkan, dengan
alasan bahwa adanya penyimpangan-penyimpangan, hambatan dan kendala, sehingga
mengharuskan evaluator bersikap waspada. Ia perlu memikirkan dan dan melakukan
pengkajian ulang terhadap rencana yang telah disusun atau mengubah dan
memperbaiki cara pelaksanaannya. Berdasar data hasil evaluasi itu selanjutnya
dicari metode-metode lain yang dipandang lebih tepat dan sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan. Sudah barang tentu perubahan-perubahan itu membawa dampak atau
konsekuensi berupa perencanaan ulang (re-plening). Dengan demikian dapat di
katakan bahwa evaluasi itu memiliki fungsi: menunjang penyusunan rencana.
Evaluasi yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, akan membuka peluang bagi evaluator untuk membuat perkiraan,
apakah tujuan yang telah dirumuskan akan dapat di capai pada waktu yang telah
di tentukan,ataukah tidak. Apabila berdasar data hasil evaluasi itu
diperkirakan bahwa tujuan tidak akan dapat di capai sesuai dengan rencana, maka
evaluator akan berusaha untuk mencari dan menemukan factor-faktor penyebabnya,
serta mencari dan menemukan jalan keluar atau cara-cara pemecahannya. Bukan
tidak mungkin, bahwa atas dasar data hasil evaluasi itu evaluator perlu
mengadakan perubahan-perubahan, penyempurnaan-penyempurnaan yang menyangkut
organisasi, tata kerja, atau mungkin juga perbaikan terhadap tujuan organisasi
itu sendiri. Jadi, kegiatan evaluasi pada dasarnya juga di maksudkan untuk
melakukan perbaikan atau penyempurnaan usaha.
Adapun secara khusus, fungsi evaluasi
dalam dunia pendidikan dapat ditillik dari tiga segi, yaitu:
1. Segi
psikologis
2. Segi
didaktik
3. Segi
administratif.
Secara psikologis, kegiatan evaluasi
dalam bidang pendidikan di sekolah dapat disoroti dari dua sisi. Yaitu dari
sisi peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi
pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada
mereka untuk mengena kapasitas dan status dirinya masing-masing ditengah-tengah
kelompok atau kelasnya. Dengan dilakukannya evaluasi hasil belajar siswa
misalnya, maka para siswa akan mengetahui apakah dirinya termsuk siswa yang
berkemampuan tinggi, berkemampuan rata-rata, ataukah berpengetahuan rendah.
Bagi pendidik, evaluasi pendidikan akan
memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada diri peserta tersebut. Sedah
sejauh manakah kiranya usaha yang telah dilakukannya selama ini telah membawa
hasil, sehingga ia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan batin yang
pasti guna menentukan langkah-langkah apa saja yang di pandang perlu dilakukan
selanjutnya. Misalnya dengan menggunakan metode-metode mengajar tertentu,
hasil-hasil belajar siswa telah menunjukkan adanya peningkatan daya serap
terhadap materi yang telah diberikan kepada para siswa tersebut; karena itu
atas dasar hasil evaluasi tersbut penggunaan metode mengajar tadi akan terus
dipertahankan. Begitupun sebaliknya. Bagi peserta didik, secara didaktik
evaluasi pendidikan akan dapat memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka
untuk dapat memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Bagi
pendidik, secara didaktik evaluasi pendidikan itu setidak-tidaknya memiliki
lima macam fungsi, yaitu:
1.
Memberikan landasan
untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah di capai oleh peserta didiknya.
2.
Memberikan informasi
yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masing-masing peserta didik di
tengah-tengah kelompoknya.
3.
Memberikan bahan yang
penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status peserta didik.
4.
Memberikan pedoman
untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang
memerlukannya.
5.
Memberikan petunjuk
tentang sudah sejauh manakah program pengajaran yang telah di tentukan telah
dapat dicapai.
Adapun secara administrative, evaluasi
pendidikan setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi, yaitu:
1. Memberikan
laporan
2. Memberikan
bahan-bahan keterangan (data)
3. Memberikan
gambaran
Menurut Wina Sanjaya dalam bukunya
Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran ada beberapa fungsi evaluasi, yakni
:
1.
Evaluasi merupakan
alat yang penting sebagai umpan balik bagi siswa.
2.
Evaluasi merupakan
alat untuk mengetahui bagaimana ketercapaian siswa dalam menguasai tujuan yang
telah ditentukan.
3.
Evaluasi dapat
memberikan informasi untuk mengembangkan program kurikulum.
4.
Informasi dari hasil
evaluasi dapat digunkan oleh siswa untuk mengambil keputusan secara individual
khususnya dalam menentukan masa depan sehubungan dengan pemilihan bidang
pekerjaan.
5.
Evaluasi berguna untuk
para pengembang kurikulum dalam menentukan kejelasan tujuan khusus yang ingin
dicapai.
6.
Evaluasi berfungsi
sebagai umpan balik untuk semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan di
sekolah.
2.4.4. Tujuan Evaluasi Pendidikan
2.4.4.1. Tujuan umum
Secara
umum, tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan ada dua, yaitu :
2.4.4.1.1. Untuk
menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai
taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang di alami oleh para peserta didik,
setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
dengan kata lain tujuan umum dari evaluasi dalam pendidika adalah untuk
memperoleh data pembuktian, yang akan menjadi petunjuk sampai di mana tingkat
kemampuan dan tingkat keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan-tujuan
kurikuler, setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu yang
telah ditentukan.
2.4.4.1.2. Untuk
mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pembelajaran yang telah di
pergunakan dalam prses pembelajaran.tujuan kedua dari evaluasi pendidikan
adalah untuk mengukur dan menilai sampai dimanakah efektivitas mengajar dan
metode-metode mengajar yang telah diterapkan atau dilaksanakan oleh pendidik,
serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh peserta didik.
2.4.4.2. Tujuan khusus
Tujuan
khusus dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah:
2.4.4.2.1. Untuk
merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa
adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri
peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
2.4.4.2.2. Untuk
mencari dan menemukan factor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan
peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan
ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.
2.4.5. Kegunaan Evaluasi Pendidikan
Di antara kegunaan yang dapat dipetik
dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah :
2.4.5.1.Terbukanya
kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil-hasil yang
telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pendidikan.
2.4.5.2.Terbukanya
kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang
telah dirumuskan dengan ujuan yang hendak dicapai.
2.4.5.3.Terbukanya
kemungkinan unuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan
penyempurnaan progam pendidikan yang dipandang lebih berdaya guna dan berhasil
guna, sehingga tujuan yang dicita-citakan, akan dapat dicapai dengan hasil yang
sebaik-baiknya.
2.4.6. Obyek Evaluasi Pendidikan
Obyek atau sasaran evaluasi pendidikan
ialah segala sesuatu yang betalian dengan kegiatan atau proses pendidikan, yang
dijadikan titik pusat perhatian atau pengamatan, karena pihak penilai
(evaluator) ingin memperoleh informasi tentang kegiatan atau proses pendidikan
tersebut. Salah satu cara untuk mengenal atau mengetahui obyek dari evaluasi
pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu dari segi
input, transformasi dan out put. Ditilik dari segi input ini maka obyek dari
evaluasi pendidikan meliputi tiga aspek, yaitu:
2.4.6.1.Aspek kemampuan
Untuk dapat diterima sebagai calon
peserta didik dalam rangka mengikuti program pendidikan tertentu, maka para
calon peserta didik harus memiliki kemampuan yang sesuai atau memadai, sehingga
dalam mengikuti proses pembelajaran pada program pendidikan tertentu itu
nantiya peserta didik tidak akan mengalami banyak hambatan atau kesulitan.
sehubungan dengan itu, maka bekal kemampuan yang dimiliki calon peserta didik perlu untuk dievaluasi terlebih dahulu, guna mengetahui sampai sejauh mana kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing calon peserta didik dalam mengikuti program tertentu. adapun alat yang biasa dipergunakan dalam rangka mwngevaluasi kemampuan peserta didik itu adalah tes kemampuan (aptitude test)
sehubungan dengan itu, maka bekal kemampuan yang dimiliki calon peserta didik perlu untuk dievaluasi terlebih dahulu, guna mengetahui sampai sejauh mana kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing calon peserta didik dalam mengikuti program tertentu. adapun alat yang biasa dipergunakan dalam rangka mwngevaluasi kemampuan peserta didik itu adalah tes kemampuan (aptitude test)
2.4.6.2.Aspek kepribadian
Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat
pada diri seseorang, dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Sebelum
mengikuti program pendidikan tertentu, para calon peserta didik perlu terlebih
dahulu dievaluasi kepribadiannya masing-masing, sebab baik buruknya kepribadian
mereka secara psikologis akan dapat memperngaruhi keberhasilan mereka dalam
mengikuti program pendidikan tertentu. evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui
atau mengungkapkan kepribadian seseorang adalah dengan jalan menggunakan tes
kepribadian (personality test).
2.4.6.3.Aspek sikap
Sikap pada dasarnya
adalah merupakan bagian dari tingkah laku manusia, sebagai gejala atau gambaran
kepribadian yang memancar keluar. Karena sikap ini merupakan sesuatu yang
sangat dibutuhkan dalam pergaulan, maka memperoleh informasi mengenai sikap
sseorng adalah hal yang sangat penting. Karena itu maka aspek sikap perlu
dinilai atau di evaluasi terlebih dahulu bagi calon peserta didik sebelum
mengikuti program pendidikan tertentu.
Selanjutnya apabila disoroti dari segi
transformasi maka obyek dari evaluasi pendidikan itu meliputi :
a.
Kurikulum atau materi pelajaran
b.
Metode mengajar dan teknik penilaian
c.
Sarana atau media pendidikan.
d.
System administrasi
e.
Guru dan unsur-unsur personal lainnya.
Adapun dari segi output, yang menjadi
sasaran evaluasi pendidikan adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar
yang berhasil diraih oleh masing-masing peeserta didk, setelah mereka terlibat
dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan.
2.4.7. Subyek Evaluasi Pendidikan
Subyek atau pelaku evaluasi pendidikan
ialah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi dalam bidang pendidikan.
Berbicara tentang subyek evaluasi
pendidikan di sekolah kiranya perlu dikemukakan disini bahwa mengenai siapa
yang disebut sebagai subyek evaluasi pendidikan itu akan sangat bergantung
pada, atau ditentukan oleh suatu aturan yang menetapkan pembagian tugas untuk
melakukan evaluasi tersebut. Jadi subyek evaluasi pendidikan itu dapat
berbeda-beda orangnya.
Dalam kegiatan valuasi pendidikan dimana
sasaran evalusinya adalah prestasi belajar siswa, maka subyek evaluasinya
adalah guru atau dosen yang mengasuh mata pelajaran tertentu. jika evaluasi
yang dilakukan itu sasarannya adalah sikap peserta didik, maka subyek
evaluasinya adalah guru atau petugas yang sebelum melaksanakan evaluasi tentang
sikap itu, terlebih dahulu telah memperoleh pendidikan atau latihan (training)
mengenai cara-cara menilai sikap seseorang. Adapun apabila sasaran yang di
evaluasi adalah kepribadian peserta didik, dimana pengukuran tentang
kepribadian itu dilakukan dengan menggunakan instrument berupa test yang
sifatnya baku. Maka subyek evaluasinya tidak bisa lain kecuali seorang
psikolog.
2.4.8. Ruang Lingkup Evaluasi
Pendidikan
Secara umum ruang lingkup dari evaluasi
dalam bidang pendidikan di sekolah mencakup tiga komponen utama yaitu :
2.4.8.1. Evaluasi
program pengajaran
Evaluasi
atau penilaian terhadap program pengajaran akan mencakup tiga hal, yaitu:
a.
Evaluasi terhadap tujuan pengajaran
b.
Evaluasi terhdap isi program pngajaran
c.
Evaluasi terhadap strategi belajar mengajar.
2.4.8.2. Evaluasi
proses pelaksanaan pengajaran
Evaluasi mengenai proses peaksanaan
pengajaran akan mencakup :
a. Kesesuaian
antara proses belajar mengajar yang berlangsung, dengan garis-garis besar
program pengajaran yang telah ditentukan.
b. Kesiapan
guru dalam melaksanakan program pengajaran.
c. Kesiapan
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
d. Minat
atau perhatian siswa didalam mengikuti pelajaran.
e. Keaktifan
atau partisipasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
f. Peranan
bimbingan dan penyuluhan terhadap siswa yang memerlukannya.
g. Komunikasi
dua arah antara guru dan murid selama proses pembelajaran berlangsung.
h. Pemberian
dorongan atau motivasi terhadap siswa.
i.
Pemberian tugas-tugas
kepada siswa dalam rangka penerapan teori-teori yang diperoleh didalam kelas
dan upaya menghilangkan dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah.
2.4.8.3. Evaluasi hasil
belajar
Evaluasi
terhadap hasil belajar peserta didik ini mencakup:
a. Evaluasi
mengenai tingkat penguasaan peserta didik terhadap tujuan-tujuan khusus yang
ingin dicapai dalam unit-unit program pengajaran yang bersifat terbatas.
b. Evaluasi
mengenai tingkat pencapaian peserta didik terhadap tujuan-tujuan umum pengajaran.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
3.1.1.
Teori Pedagogi dan Andragogi
Menurut
Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang mempelajari masalah
membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara
mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic adalah ilmu pendidikan
anak.
Andragogi
(Andragogy) berasal dari kata Yunani ”andr” atau ”aner” yang berarti orang
dewasa, dan agogi (agogy) yang juga berasal dari kata Yunani ”agogus” berarti
”memimpin/membimbing”. Agogi berarti ”aktivitas memimpin/membimbing” atau ”seni
dan ilmu mempengaruhi orang lain”.
3.1.2.
Teori Mengajar
Ramsden (1992:111-120) mengemukakan
minimal ada tiga konsep teori mengajar dan praktik mengajar yang cenderung
menjadi kajian para ilmuwan ataupun praktisi pendidikan.
Teori 1: “teaching as telling or transmission”.
Teori 2: “teaching as organizing students activity”.
Teori 3: “teaching as
making learning possible”.
Pada dimensi yang lebih luas, konsep
mengajar dapat dipandang dari tiga dimensi. Ketiga dimensi konsep belajar
tersebut adalah: 1) konsep mengajar sebagai mitos (teaching as mythos); 2)
konsep mengajar sebagai system/subsistem (teaching as system/subsystem); 3)
konsep mengajar sebagai substansi keilmuan (teaching as science).
3.1.3. Teori Kurikulum
Teori kurikulum yaitu suatu perangkat
pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut
terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsure-unsur kurikulum, karena
adanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum.
Ada
tiga konsep tentang kurikulum: kurikulum sebagai substansi, kurikulum sebagai
system,dan kurikukulum sebagai bidang studi.
3.1.4. Evaluasi Pendidikan
Secara harfiyah, evaluasi pendidikan
diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal
yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan. Adapun dari segi istilah,
sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) evaluasi
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Apabila definisi Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) digunakan untuk
memberi definisi tentang evaluasi pendidikan, maka evaluasi pendidikan itu
dapat diberi pengertian sebagai suatu tindakan atau kegiatan (yang dilaksanakan
dengan maksud untuk) atau suatu proses (yang berlangsung dalam rangka)
menentukan nilai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu segala
sesuatu yang berhubungan dengan, atau yang terjadi di lapangan pendidikan).
Atau singkatnya evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai
pendidikan sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya.
Daftar Pustaka
Sudijono,
Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.
Mudjijo.
1995. Tes Hasil Belajar. Jakarta:
Bumi Aksara.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 1997. Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramsden,
Paul. 1992. Learning to Teach in Higher
Education. London: Routledge Chapman and Hill Inc.
Sanjaya,
Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem
Pembelajaran. Jakarta: Prenada media Group.
Sumber dari internet:
Nama Dosen : Dirgantara WicaksonoMata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKn di SD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar