Senin, 18 Mei 2015

Ilmu Pendidikan Teoritis (Teori Pedagogi dan Andragogi, Teori Mengajar, Teori Kurikulum, dan Evaluasi Pendidikan)

MAKALAH
Ilmu Pendidikan Teoritis
(Teori Pedagogi dan Andragogi, Teori Mengajar, Teori Kurikulum, dan Evaluasi Pendidikan)
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Ilmu Pendidikan
Dosen: Dr. Sudjarwo Singowidjojo M.Sc


Fakultas Ilmu Pendidikan
Program Studi PGSD
Disusun oleh:
Nia Kurniawati
NIM: 2013820046
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jln. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu-Ciputat
Tahun Akademik 2013/2014


KATA PENGANTAR
            Puji penulis sampaikan kepada Dzat Allah Yang Maha Suci, syukur pun tak lupa penulis sampaikan kepada Dzat Allah Yang Maha Ghafur. Karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ilmu Pendidikan Teoritis (Teori Pedagogi dan Andragogi, Teori Mengajar, Teori Kurikulum, dan Evaluasi Pendidikan)”. Makalah ini penulis susun untuk memenuhui salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan.
Penulis menyusun makalah ini bertujuan untuk mengetahui teori-teori yang digunakan dalam ilmu pendidikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini belum mampu mendekati kata sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan penulis dalam menguasai dan memahami bidang sastra. Tetapi, keterbatasan  ini tidak mematahkan semangat penulis untuk terus menyusun dan menyelesaikan karya tulis ini dengan dibantu oleh berbagai pihak, baik bantuan moril ataupun materil. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan penulis, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
  1. Bpk. Dr. Sudjarwo Singowidjojo M.Sc sebagai dosen sekaligus pembimbing dalam bidang Ilmu Pendidikan.
  2. Ibu dan Ayah tercinta yang telah memberikan motivasi dalam berbagai bidang serta yang telah memberikan do’a yang tiada henti untuk kelancaran hidup penulis.
  3. Teman-temanku seperjuangan yang ikut serta merasakan kelelahan dalam pembuatan makalah ini.

Semoga pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khusunya bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua. Amiin.
                                                                        Ciputat, 23 Oktober  2013
                                                                        Penulis,

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Dunia ini diciptakan bagi seluruh makhluk. Namun, baik buruknya dunia ini tergantung atas manusia yang ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. Kadang kala manusia tidak mampu bersyukur atas dirinya yang telah ditetapkan sebagai khalifah. Untuk mampu mengelola dunia dengan baik, maka manusia perlu belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Ilmu pengetahuan saja tidak cukup bagi manusia untuk mengelola bumi ini, maka dari itu manusia juga perlu memiliki pendidikan. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Ini berarti, melalui pendidikan seharusnya terjadi proses belajar untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk hidup bermasyarakat.
Perkembangan pemikiran manusia dalam memberikan batasan tentang makna dan pengertian pendidikan, setiap saat selalu menunjukkan adanya perubahan. Perubahan itu didasarkan atas berbagai temuan dan perubahan di lapangan yang berkaitan dengan semakin bertambahnya komponen system pendidikan yang ada. Berkembangnya pola pikir para ahli pendidikan, pengelola pendidikan, dan pengamat pendidikan yang membuahkan teori-teori baru.
            Pada masa sekarang, ilmu pendidikan mengalami perluasan menjadi ilmu pendidikan praktis dan ilmu pendidikan teoritis. Dalam ilmu pendidikan teoritis, focus pengkajian utama adalah pada filsafat teori, dan konsep-konsep dasar yang terkait dengan pendidikan dan dengan teori-teori berbagai cabang ilmu lain yang digunakan dalam pendidikan. Ada pun ilmu pendidikan praktis lebih menekankan pada pelaksanaan atau praktik ilmu pendidikan itu sendiri.
            Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di Indonesia, perkembangan ilmu pendidikan praktis cenderung lebih menonjol dan perkembangannya lebih pesat. Hal ini terjadi karena ilmu pendidikan praktis dianggap lebih mudah menerapkan pendidikan yang didapat dibandingkan dengan ilmu pendidikan teoritis. Kejadian seperti ini tentu ada sisi positif dan pasti ada juga sisi negatifnya. Salah satu sisi negatifnya yaitu berdampak pada makin berkurangnya pakar terkait dengan ilmu pendidikan teoritis. 
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan menyusun makalah mengenai ilmu pendidikan teoritis yang difokuskan pada pembahasan teori pedagogi dan andragogi, teori mengajar, kurikulum dan evaluasi pendidikan.
  

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori Padegogi dan Andragogi
2.1.1. Teori Pedagogi
Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogic secara harfiah berari pembantu anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan pedagogik adalah seorang ahli, yang membimbing anak kearah tujuan hidup tertentu. Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic adalah ilmu pendidikan anak.
Langeveld (1980), membedakan istilah “pedagogic” dengan istilah “pedagogi”. Pedagogic diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan pada praktek, menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak.
Pedagogic merupakan suatu teori yang secara teliti, krisis dan objektif, mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakekat manusia, hakekat anak, hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses pendidikan. Walaupun demikian, masih banyak daerah yang gelap sebagai “terraincegnita” (daerah tak dikenal) dalam lapangan pendidikan, karena masalah hakekat hidup dan hakekat manusia masih banyak diliputi oleh kabut misteri.
2.1.2. Teori Andragogi
Andragogi (Andragogy) berasal dari kata Yunani ”andr” atau ”aner” yang berarti orang dewasa, dan agogi (agogy) yang juga berasal dari kata Yunani ”agogus” berarti ”memimpin/membimbing”. Agogi berarti ”aktivitas memimpin/membimbing” atau ”seni dan ilmu mempengaruhi orang lain”.
Malcolm S. Knowles semula mendefinisikan andaragogi sebagai ”seni dan ilmu membantu orang dewasa belajar”. Namun dalam perkembangan berikutnya, setelah Knowles melihat banyak guru yang menerapkan konsep andragogi pada pendidikan anak-anak muda dan menemukan bahwa dalam situasi tertentu memberikan hasil lebih baik, kemudia Knowles menyatakan bahwa andragogi sebenarnya merupakan model asumsi lain mengenai pelajar yang dapat digunakan disamping model asumsi paedagogi. Ia juga menyatakan bahwa model-model itu (paedagogi dan andragogi) mungkin paling berguna apabila tidak dilihat sebagai dikotomi, tapi sebagai dua ujung dari suatu spektrum, atau terletak pada suatu garis (kontinum), dimana suatu situasi berbeda di antara dua ujung tersebut.
Untuk memahami perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :
1.      Citra Diri 
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah. 
2.       Pengalaman 
Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar. 
3.      Kesiapan Belajar 
Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran.
terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator. 
4.      Nirwana Waktu dan Arah Belajar 
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.

2.2. Teori Mengajar
Dalam arti luas, teori adalah suatu penafsiran sistematik dari suatu bidang ilmu pengetahuan.  Ada ahli yang berpendapat bahwa teori itu dalam praktek adalah dua hal yang berbeda. Teori beranekakan ilmu pengetahuan, penelitian dan rekayasa ilmu pengetahuan . Ciri-cirinya abstrak dan berpihak pada landasan yang berpikir logis. Teori mengemukakan pertimbangan dan prinsip-prinsip berpikir logis. Teori mengemukakan pertimbangan dan prinsip-prinsip untuk menjelaskan masaalah yang dipersoalkan, sifatnya deskriptif. Praktek berarenakan pelaksanaan aktivitas manusia dalam mengerjakan sesuatu. Praktek– praktek memberikan petunjuk teknis, pedoman pelaksanaan aktivitas manusia dalam mengerjakan sesuatu. Praktek-praktek memberikan petunjuk teknis, pedoman pelaksanaan, merupakan dua profesi sifatnya preskriptif.
Untuk memperkuat kedudukan mengajar sebagai ilmu pengetahuan diperlukan teori yang membahas masalah mengajar. Orang yang tidak mengembangkan konsep mengajar secara sistematis mungkin percaya bahwa mengajar itu adalah suatu yang dikerjakan dan bukan suatu yang dipikirkan atau dipelajari. Pada dasarnya hal yang sangat dibutuhkan dalam profesi mengajar untuk mengorganisasi pengetahuan kita tentang mengajar dalam rangka pemantapan konsep mengajar, teori mengajar seharusnya menjawab tiga pertanyaan:
1.      Bagaimana guru itu berbuat ?
2.      Mengapa mereka berbuat demikian?
3.      Apa pengaruh hasil perilaku mereka ?
            Namun pada dasarnya, konsep mengajar merupakan telaah penting dalam memetakan secara lengkap tentang perkembangan teori mengajar. Konsep-konsep yang diterapkan dalam dan praktik mengajar, akan mewarnai perkembangan dan karakteristik teori itu sendiri yang padagilirannya merupakan bagian rumusan dari teori mengajar yang dibangun. Ada beberapa konsep mengajar dan praktik mengajar yang menjadi pijakan dalam teori mengajar.
            Ramsden (1992:111-120) mengemukakan minimal ada tiga konsep teori mengajar dan praktik mengajar yang cenderung menjadi kajian para ilmuwan ataupun praktisi pendidikan.
Teori 1: “teaching as telling or transmission”. Mengajar adalah proses menyampaikan atau mentransmisikan sesuatu. Konsep teori mengajar ini menekankan bahwa penyampaian (transmission) bahan ataupun teaching delivery merupakan hal yang dominan dalam mewarnai berbagai konsep dan praktik mengajar. Dalam teori mengajar seperti ini focus kegiatannya adalah apa yang akan dilakukan guru terhadap siswa.
Teori 2: “teaching as organizing students activity”. Teori mangajar ini menyatakan bahwa mengajar pada dasarnya mengorganisasikan kegiatan siswa, dengan demikian focus kegiatannya adalah bagaimana mengorganisasikan agar siswa melakukan serangkaian aktifitas yang melahirkan pengalaman belajar. Mengajar dipandang sebagai proses supervisi dengan sejumlah teknik tertentu sehingga siswa dapat belajar.
Teori 3: “teaching as  making learning possible”. Teori ini memandang bahwa belajar dan mengajar merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bila teori pertama lebih cenderung memfokuskan pada kegiatan guru (teachers oriented), dan teori kedua memfokuskan pada kegiatan siswa (students oriented) maka teori tiga ini memadukan antara dua komponen tersebut. Teori ini lebih merupakan gabungan berbagai aspek pembelajaran, yaitu antara lain siapa yang melakukan kegiatan mengajar, apa yang akan diajarkan, kepada siapa, dengan cara apa, dan bagaimana mengetahui pengajaran itu berhasil atau tidak.
            Pada dimensi yang lebih luas, konsep mengajar dapat dipandang dari tiga dimensi. Ketiga dimensi konsep belajar tersebut adalah: 1) konsep mengajar sebagai mitos (teaching as mythos); 2) konsep mengajar sebagai system/subsistem (teaching as system/subsystem); 3) konsep mengajar sebagai substansi keilmuan (teaching as science).
  
2.2.1. Perkembangan Teori Mengajar
Tidak ada suatu teori atau rumpun ilmu mana pun yang statis, steril, dan tanpa ada perubahan. Teori akan berkembang seiring dengan sejarah perkembangan konsep yang dibangunnya, atau oleh sejarah perkembangan teori lsin yang secara sistemik, mempengaruhinya. Demikian juga perkembangan teori mengajar, senantiasa mengalami perubahan, dinamis, berkembang seirama dengan perkembangan teori lainnya antara teori mengajar dengan praktik mengajar.
Teori mengajar secara nyata dibangun oleh adanya perkembangan dalam teori pendidikan. Adanya dinamika teori pendidikan, secara langsung juga akan merefleksikan adanya dinamika dan keragaman dalam memahami teori mengajar.
Secara umum, ada empat aliran pendidikan (Sukmadinata, 1997). Keempat aliran pendidikan tersebut bagaimana pun juga akan mewarnai teori pendidikan dan teori mengajar dan secara langsung atau pun tidak langsung mempengaruhi konstruk teori mengajar (teaching theory). Keempat aliran pendidikan tersebut adalah:
Ø  Pendidikan klasik (classical education);
Ø  Pendidikan pribadi (personalized education);
Ø  Teknologi pendidikan (technology education);
Ø  Pendidikan interaksional (interactional education).
2.2.1.1. Teori Mengajar pada Pendidikan Klasik
     Para ahli dan praktisi pendidikan sering menyebut konsep tertua dalam pendidikan adalah pendidikan klasi, dalam konsep pendidikan ini garapan pendidikan bertolak pada asumsi bahwa ada tatanan warisan budaya yang sepatutnya dilestarikanoleh masyarakat generasi berikutnya. Warisan budaya tersebut berupa pengetahuan, hasil, ide, system nilai yang telah dikembangkan oleh masyarakat terdahulu. Pendidikan berfungsi sebagai pemelihara, pengawet, dan penerus semua warisan budaya untuk generasi yang akan datang. Teori pendidikan ini lebih menekankan pada peranan isi daripada proses dan cara mengajarkannya.
     Dalam pendidikan klasik ini, tugas guru adalah memilih dan menyajikan materi ilmu tersebut sesuai perkembangan peserta didik. Artinya dengan asumsi bahwa subject content/ bahan sudah tersusun dengan sistemik dan tertata dengan baik, maka peran guru lebih pada posisi “menyampaikan bahan”. Walaupun dalam banyak hal, tugas para pendidik bukan hanya mengajarkan materi pengetahuan tetapi juga melatih keterampilan  dan menanamkan nilai. Dalam konsep ini guru adalah ahli dalam bidang ilmu tersebut dan juga berperan sebagai model nyata. Dalam pendidikan klasik, penekanannya adalah bagaimana isi berupa system nilai dan atau pengetahuan diajarkan pada anak didik. Isi tersebut disusun secara logis dan sistematis dan berstruktur dengan penekanan pada segi intelektual, dan sedikit sekali memperhatikan aspek social dan psikologis. Guru berperan sangat dominan, ia menentukan isi, metode dan evaluasi. Sedangkan siswa berperan secara pasif dan hanya sebagai penerima informasi atau bahan yang sudah terancang dengan terurut dan sistemik.
2.2.1.2. Teori Mengajar pada Pendidikan Pribadi
Konsep mengajar pada pendidikan pribadi ini lebih banyak dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistic. Oleh sebab itu, pendidikan pribadi sering juga disebut sebagai pendidikan humanistic. Beberapa tokoh konsep aliran pendidikan ini antara lain: John Dewey melalui “progressive education” ataupun JJ. Rosseau melalui konsep “romantic education”. Asumsi dasar konsep pendidikan ini adalah anak merupakan sosok sentral yang utama dalam program pendidikan. Oleh karena itu, anak didik merupakan subyek pendidikan, yang harus didengar, didekati, dan diapresiasi secara komprehensif tentang segala harapan, cita-cita, dan aspirasinya. Para siswa adalah sosok yang memiliki potensi, kemampuan, kekuatan, oleh sebab itu pendidikan harus dianggap sebagai persemaian yang subur untuk mengembangkan siswa secara menyeluruh.
Dalam teori pendidikan pribadi ini, konsep pendidikan bertolak dari anggapan bahwa peserta didik dilahirkan dan telah memiliki sejumlah potensi yang akan berkembang dengan sendirinya. Dalam konsep ini pendidikan ibarat persemaian yang berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang baik. Dalam konsep ini pendidikan bertolak berdasarkan kebutuhan dan minat peserta didik. Pendidik bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model, akan tetapi ia berperan sebagai pembimbing yang mampu memahami dan mengerti segala kebutuhan.
2.2.1.3. Teori Mengajar pada Teknologi Pendidikan
     Dalam teknologi pendidikan ini, garapan pendidikan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Pendidikan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi yang berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang. Konsep pendidikan ini mengutamakan konsep segi empiris, informasi obyektif yang didasarkan pada kaidah yang dapat diamati dan diukur serta dihitung secara statistic. Dalam teori pendidikan ini, pendidikan adalah ilmu dan bukan seni. Dengan demikian pengembangan desain program menjadi prinsip utama ke arah efisiensi dan efektifitas. Dalam pengembangan desain program dalam pendidikan ini mengembangkan kaidah teknologi pendidikan dengan melibatkan perangkat lunak dan perangkat keras termasuk audio visual dan media pembelajaran. Dalam teori ini guru berfungsi sebagai direktur belajar dengan tugas-tugas melakukan pengelolaan pendidikan dan pendalaman bahan.
2.2.1.4. Teori Mengajar pada Pendidikan Interaksional
     Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk bekerjasama, berinteraksi, dan bekerja, dan hidup satu sama lain. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan untuk bekerja dan interaksi. Pendidikan interaksional menekankan interaksi duap pihak atau multi pihak, yaitu guru, siswa, dan lingkungannya sehingga terjadi hubungan dialogis dan interaksional. Dalam proses belajarnya, model interaksional terjadi melalui dialog. Guru berperan dalam menciptakan dialog dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu. Bahan ajar banyak diambil dari lingkungan. Siswa diajak untuk menghayati nilai social budaya yang ada di masyarakat. Dalam pendidikan interaksional menekankan pada isi dan proses pendidikan secara sekakaligus. Isi pendidikan terdiri dari problem  nyata yang actual di masyarakat. Sedangkan proses berbentuk kegiatan belajar berkelompok yang mengutamakan kerjasama dan interaksi siswa dengan guru dan lingkungannya termasuk sumber belajar.
2.2.2. Dimensi Teori Model Mengajar
Teori model mengajar ini pada dasarnya  memberikan dasar bahwa mengajar dapat dipandang sebagai suatu kerangka dan dasar pengembangan mengajar. Keduanya baik kerangka dan dasar mengajar pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, misalnya mengenai kerangka dasar maksudnya bahwa dalam suatu pemahaman tentang mengajar maka di dalamnya akan ada beberapa penerapan dari teori model-model mengajar yang dimaksud, demikian pula dalam suatu upaya mengembangkan pemahaman mengajar dari suatu pengalaman dan proses mengajar yang selama ini dilakukan maka akan dihasilkan beberapa model mengajar.
Ø  Teori Mengajar Konsep
Ø  Teori Mengajar Membedakan
Ø  Teori Mengajar Induktif
Ø  Teori Mengajar Mencari dan Menemukan (Discovery Inquery)
Ø  Teori Mengajar Advance Organizer
Ø  Teori Mengajar Model Memory
Ø  Teori Mengajar Kognitif
Ø  Teori Mengajar Non Directive
Ø  Teori Mengajar Synectics
Ø  Teori Mengajar Group Investigation



2.2.3. Penerapan Teori Mengajar dalam Berbagai Bidang Studi
      Terdapat beraneka ragam rumusan pengertian tentang mengajar. Setiap rumusan mempunyai kaitan arti dalam praktik pelaksanaannya. Rumusan itu sendiri bergantung pada pandangan perumusnya. Ada perumus yang mengatakan bahwa mengajar itu adaptasi dari transfer of knowledge berarti pandangan perumus itu cenderung ke arah kelompok cognitivism, atau aliran mengajar yang hanya mengandalkan bahwa peserta didik cukup mengandalkan hanya diberi dan diisi pengetahuan-pengetahuan saja.
2.2.3.1. Mengajar dalam Bidang Studi Eksakta
      Untuk mengajar dalam bidang studi eksakta, teori mengajar yang harus dikembangkan adalah teori-teori psikologi kognitif. Dimana teori mengajar yang dikembangkan akan berhubungan dengan bagaimana guru mampu memberikan pola-pola berpikir yang mekanistis. Antara input dan output dari proses berpikir harus memenuhi persyaratan logika berpikir yang telah disepakati. Teori-teori psikologis kognitif, cukup baik dalam meberikan kejelasan mengajar seorang guru matematika, dan IPA, dimana suatu formula yang ditanamkan pada siswanya akan dengan mudah harus digunakan ketika siswa harus menggunakannya kembali.
2.2.3.2. Mengajar dalam Bidang Studi Ilmu Sosial
      Teori-teori psikologi psikoanalisa dan teori daya cukup mendominasi ketika guru mengajarkan bidang studi kelompok ilmu social. Dalam mengajarkan bidang studi kelompok social diperlukan adanya upaya pengembangan kemampuan berpikir yang luas dan fleksibel. Siswa dituntut untuk mampu melakukan analisis keterkaitan antara logika, perasaan, nilai, bahasa, dan kepekaan social lainnya, sehingga bukan hanya pengetahuan yang diketengahkan tetapi juga bagaimana norma, aturan dan nilai-nilai  yang berlaku dalam kehidupan bisa dikembangkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
 2.2.3.3. Mengajar dalam Bidang Studi Ilmu Keterampilan
Guru yang mengajarkan bidang studi yang sifatnya membentuk keterampilan tentunya harus memikirkan, kira-kira keterampilan seperti apa yang mudah diserap oleh siswa. Teori-teori psikologi yang dibutuhkan adalah teori psikologi perkembangan. Ketika mengajar guru dituntut untuk mengingat kembali jenis-jenis tugas perkembangan apa yang dibutuhkan siswa.Sebagaimana yang dijelaskan oleh Peaget bahwa perkembangan anak akan berbeda berdasarkan usianya.
2.2.3.4. Mengajar dalam Bidang Studi Bahasa dan Seni
      Dalam mengajarkan seni maka terdapat teori-teori psikologis dan komunikasi yang harus dipadukan. Teori-teori psikologi yang harus digunakan adalah teori-teori kognitif. Agar teori mengajar ini lebih optimal dalam membimbing siswa dalam belajar bahasa dan seni, maka guru juga harus menerapkan teori biologi komunikasi, yaitu teori komunikasi yang berupaya mengoptimalkan kemampuan berpikir yang dilakukan oleh otak.

2.3. Teori Kurikulum
Teori kurikulum yaitu suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum.Bahan penyajian dari teori kurikulum adalah hal-hal yang berkaitan dengan penetuan keputusan, penggunaan,perencanaan,pengembangan,evaluasi kurikulum, dan lain-lain.
2.3.1.      Konsep Kurikulum
Ada tiga konsep tentang kurikulum: kurikulum sebagai substansi, kurikulum sebagai system,dan kurikukulum sebagai bidang studi.
Konsep pertama(kurikulum sebagai substansi) suatu kurikulum dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi.
Konsep kedua(kurikulum sebagai suatu system), yaitu suatu system kurikulum. System kurikulum merupakan bagian dari system persekolahan, system pendidikan, bahkan system masyarakat. Suatu system kurikulum mencakup system personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum,melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya.
Konsep ketiga (kurikulumm sebagai bidang studi) yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan system kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum.
2.3.2.      Perkembangan Teori Kurikulum
Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charless dan McMurry, tetapi secara definitive berawal dari hasil karya Frankin Babbit tahun 1918. Bobbit sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, ia perintis pengembangan praktek kurikulum.
Menurut Bobbit teori kurikulum itu sederhana,yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama terbentuk oleh sejumlah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupa mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan yang berpusat pada  anak(child centered). Teori kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan sebagai orang dewasa (Bobbit dan Charles) kepada kehidupan psikologis anak pada saat inii. Anak menjadi pusat perhatian pendidikan.
 Perkembangan teori kurikulum selanjutnya di bawakan oleh Hollis Dasweel. Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara di bagian Amerika Serikat. Ia mengembangkan kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaan. Maka Caswell mengembangkan kurikulumyang bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell  menekankan pada partisipasi guru-guru berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan stuktur organisasi dari penysusun kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum,merumuskan tujuan, memilih isi, menetukan kegiatan belajar, desain kurikulum,menilai hasil.
Pada tahun 1947 di Univertas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang kurikulum. Sebagai hasil diskusi tersebut dirumuskan tiga tugas utama teori kurikulum:(1) mengidentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam pengembangan kurikulum dan konsep-konsep yang mendasarinya,(2) menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnnya,(3) mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan masalah tersebut.
Ralph W.Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian kurikulum:
  1. Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?
  2. pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?
  3. bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?
  4. bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?  
2.3.3.   Sumber Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum pertama bertolak dari kehidupan dan pekerjaan orang dewasa, karena sekolah mempersiapkan anak nagi kehidupan orang dewasa,kurikulum terutama isi kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa.
Dalam pengembangan selanjutnya, sumber ini menjadi luas meliputi semua unsure kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang bebudaya, hidup dalam lingkungan budaya, dan turut menciptakan budaya.
Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan atau pengajaran, yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran bukan memberikan sesuatu pada anak, melainkan menumbuhkan potensi-potensi yang telah ada pada anak. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum, yaitu kebutuhan siswa, perkembangan siswa, dan minat siswa.
Beberapa pengembang kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum pada pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum kemudian. Hal lain yang menjadi sumber penyusunan kurikulum adalah nilai-nilai. Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat merupakan sumber penemuan keputusan yang dinamis.
Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan sosial-politik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan social-politik yang menentukan kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education local yang mewakili negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan social-politik dalam penentuan kurikulum adalah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Balitbangdikdub.
2.3.4.      Desain dan Rekayasa Kurikulum
Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta proses belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dan kurikulum, hubungan antara satu unsure dengan unsure lainnya, prinsip-prinsip pengorganisasian, serta hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Dalam desain kurikulum, ada dua dimensi penting, yaitu: (1) substansi, unsure-unsur serta organisasi dari dokumen tertulis kurikulum; (2) model pengorganisasian dan bagian-bagian kurikulum terutama organisasi dan proses pengajaran.
Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum: Pertama, ketentuan-ketentuan, tentang bagaimana penggunaan kurikulum serta bagaimana mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan masukan dari pengalaman, kedua, kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun system pelaksanaannya.
      Rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memungkinkan kurikulum disekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikulum agar kurikulum dapat berfungsi sebaik-baiknya. Pengelola kurikulum disekolah terdiri dari: para pengawas/penilik dan kepala sekolah sedangkan pada tingkat pusat adalah Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum Balitbang Dikbud dan para Kasubdit/Kepala Bagian Kurikulum di Direktorat.
Seluruh system rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima hal, yaitu: (1) arena atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa kurikulum; (2) keterlebatan orang-orang dalam proses kurikulum; (3) tugas-tugas dan prosedur perencanaan kurikulum; (4) tugas-tugas dan prosedur implementasi kurikulum; dan (5) tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum.

2.4. Evaluasi Pendidikan
2.4.1Pengertian Evaluasi Pendidikan
Secara harfiyah, evaluasi pendidikan diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan. Adapun dari segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Apabila definisi Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) digunakan untuk memberi definisi tentang evaluasi pendidikan, maka evaluasi pendidikan itu dapat diberi pengertian sebagai suatu tindakan atau kegiatan (yang dilaksanakan dengan maksud untuk) atau suatu proses (yang berlangsung dalam rangka) menentukan nilai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan, atau yang terjadi di lapangan pendidikan). Atau singkatnya evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai pendidikan sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya.
Menurut Guba dan Lincoln evaluasi merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan itu bisa berupa orang, benda, kegiatan atau keadaan tertentu. dari konsep diatas ada dua hal yang menjadi karakteristik evaluasi. Pertama, evaluasi merupakan suatu proses. Artinya, dalam suatu pelaksanaan evaluasi mestinya terdiri dari beberapa macam tindakan yang harus dilakukan. Kedua, evaluasi berhubungan dengan pemberian nilai atau arti. Artinya, evaluasi dapat menunjukan kualitas yang dinilai.
Lembaga Administrasi Negara mengemukakan batasan mengenai evaluasi pendidikan sebagai berikut. Evaluasi pendidikan adalah:
1) Proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan;
2) Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
2.4.2. Hubungan antara Penilaian (evaluasion) dengan Pengukuran
(measurement)
Pengukuran dalam bahasa Inggris disebut dengan measurement dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu.
Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan pengukuran. Pengukuran pada umumnya berkenaan dengan masalah kuantitatif untuk mendapatkan informasi yang diukur. Oleh sebab itu, dalam proses pengukuran diperlukan alat bantu tertentu. Dengan demikian, antara evaluasi dan pengukuran tidak bisa disamakan walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Evaluasi akan lebih tepat manakala didahului oleh proses pengukuran, sebaliknya hasil pengukuran tidak akan memiliki arti apa-apa manakala tidak dikaitkan dengan proses evaluasi. Jadi, pengukuran itu hanya bagian dari evaluasi dan tes bagian dari pengukuran. Ini berarti sebelum dilakukan evaluasi, didahului oleh pengukuran. Dan pengukuran adalah hasil dari suatu tes.
Dari penjelasan di atas, maka pengukuran adalah proses pengumpulan data yang diperlukan dalam rangka memberikan judgement yakni berupa keputusan terhadap sesuatu. Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
1.      Pengukuran yang dlakukan bukan untuk menguji sesuatu. Misalnya pengukuran yang dilakukan penjahit pakaian.
2.      Pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu. Misalnya pengukuran untuk menguji daya tahan perbaja terhadap tekanan berat.
3.      Pengukuran untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan menguji sesuatu. Misalnya pengukuran kemajuan belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar. Pengukuran jenis ketiga inilah yang digunakan dalam dunia pendidikan. Penilaian berarti menilai sesuatu. Sedangkan menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik dan buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Jadi penilaian itu sifatnya adalah kualitatif.
Sedangkan evaluasi adalah mencakup dua kegiatan tadi, yaitu pengukuran dan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu dilakukanlah pengukuran, dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal dengan istilah tes.
Lebih lanjut dikatakan bahwa istilah penilaian mempunyai arti yang lebih luas di bandingkan dengan istilah pengukuran. Sebab pengukuran itu sebenarnya hanyalah merupakan suatu langkah atau tindakan yang kiranya perlu diambil dalam rangka pelaksanaan evaluasi. Dikatakan “perlu diambil” karena tidak semua penilaian itu harus senantiasa di dahului oleh tindakan pengukuran secara lebih nyata.
Namun demikian tidak dapat disangkal adanya kenyataan bahwa evaluasi dalam bidang pendidikan-(khususnya evaluasi terhadap prestasi belajar peserta didik)- sebagian besar bersumber dari hasil-hasil pengukuran. Evaluasi mengenai proses pembelajaran disekolah tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik apabila evaluasi itu tidak didasarkan atas data yang bersifat kuantitatif. Inilah sebabnya mengapa dalam praktek masalah pengukuran mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses evaluasi. Baik buruknya evaluasi akan bergantung pada hasil- hasil pengukuran yang mendahuluinya. Hasil pengukuran yang kurang cermat akan memberikan hasil evaluasi yang kurang cermat pula ; sebaliknya teknik pengukuran yang tepat diharapkan dapat memberikan landasan yang kokoh untuk mengadakan evaluasi yang tepat.
Dalam rangka mempertegas perbedaan pengukuran dengan penilaian Wandt dan Brown mengatakan bahwa, pengukuran adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas dari sesuatu; ia akan memberikan jawaban atas pertanyaan How much?. Adapun penilaian atau evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu, dan akan memberikan jawaban atas pertanyaan, What value?.
Perbedaan lainnya antara pengukuran dan penilaian adalah bahwa penilaian lebih banyak melibatkan unsur subyektifitas daripada pengukuran. Dalam hal ini Stanley dan Hopkins berpendapat bahwa: “penilaian selalu melibatkan lebih banyak unsur subyektifitas daripada pengukuran, tapi suatu pengukuran yang paling obyektif sekalipun tidak akan terlepas dari unsur subyektifitas”. Dalam proses penilaian hasil belajar, pengukuran mempunyai peranan yang sangat penting. Yakni, untuk mendapatkan data dan informasi yang sesuai dengan tujuan penilaian yang bersangkutan.
2.4.3. Fungsi Evaluasi Pendidikan
Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok yaitu:
1.      Mengukur kemajuan
2.      Menunjang penyusunan rencana
3.      Memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali
Seperti telah di kemukakan dalam pembicaraan terdahulu, evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai, sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Apabila tujuan yang telah dirumuskan itu direncanakan untuk dicapai secara bertahap, maka dengan evaluasi yang berkesinambungan akan dapat di pantau, tahapan manakah yang sudah dapat di selesaikan, tahapan manakah yang berjalan dengan mulus, dan mana pula tahapan yang mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Walhasil dengan evaluasi terbuka kemungkinan bagi evaluator untuk mengukur seberapa jauh atau seberapa besar kemajuan atau perkembangan program yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Setidak-tidaknya ada dua macam kemungkinan hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi, yaitu:
1)      Hasil evaluasi itu ternyata menggembirakan, sehingga dapat memberikan rasa lega bagi evaluator, sebab tujuan yang telah ditentukan dapat di capai sesuai dengan yang direncanakan.
2)      Hasil evaluasi ternyata tidak menggembirakan atau bahkan mengkhawatirkan, dengan alasan bahwa adanya penyimpangan-penyimpangan, hambatan dan kendala, sehingga mengharuskan evaluator bersikap waspada. Ia perlu memikirkan dan dan melakukan pengkajian ulang terhadap rencana yang telah disusun atau mengubah dan memperbaiki cara pelaksanaannya. Berdasar data hasil evaluasi itu selanjutnya dicari metode-metode lain yang dipandang lebih tepat dan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Sudah barang tentu perubahan-perubahan itu membawa dampak atau konsekuensi berupa perencanaan ulang (re-plening). Dengan demikian dapat di katakan bahwa evaluasi itu memiliki fungsi: menunjang penyusunan rencana.
Evaluasi yang dilaksanakan secara berkesinambungan, akan membuka peluang bagi evaluator untuk membuat perkiraan, apakah tujuan yang telah dirumuskan akan dapat di capai pada waktu yang telah di tentukan,ataukah tidak. Apabila berdasar data hasil evaluasi itu diperkirakan bahwa tujuan tidak akan dapat di capai sesuai dengan rencana, maka evaluator akan berusaha untuk mencari dan menemukan factor-faktor penyebabnya, serta mencari dan menemukan jalan keluar atau cara-cara pemecahannya. Bukan tidak mungkin, bahwa atas dasar data hasil evaluasi itu evaluator perlu mengadakan perubahan-perubahan, penyempurnaan-penyempurnaan yang menyangkut organisasi, tata kerja, atau mungkin juga perbaikan terhadap tujuan organisasi itu sendiri. Jadi, kegiatan evaluasi pada dasarnya juga di maksudkan untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan usaha.
Adapun secara khusus, fungsi evaluasi dalam dunia pendidikan dapat ditillik dari tiga segi, yaitu:
1.      Segi psikologis
2.      Segi didaktik
3.      Segi administratif.
Secara psikologis, kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah dapat disoroti dari dua sisi. Yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk mengena kapasitas dan status dirinya masing-masing ditengah-tengah kelompok atau kelasnya. Dengan dilakukannya evaluasi hasil belajar siswa misalnya, maka para siswa akan mengetahui apakah dirinya termsuk siswa yang berkemampuan tinggi, berkemampuan rata-rata, ataukah berpengetahuan rendah.
Bagi pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada diri peserta tersebut. Sedah sejauh manakah kiranya usaha yang telah dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga ia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan batin yang pasti guna menentukan langkah-langkah apa saja yang di pandang perlu dilakukan selanjutnya. Misalnya dengan menggunakan metode-metode mengajar tertentu, hasil-hasil belajar siswa telah menunjukkan adanya peningkatan daya serap terhadap materi yang telah diberikan kepada para siswa tersebut; karena itu atas dasar hasil evaluasi tersbut penggunaan metode mengajar tadi akan terus dipertahankan. Begitupun sebaliknya. Bagi peserta didik, secara didaktik evaluasi pendidikan akan dapat memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka untuk dapat memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Bagi pendidik, secara didaktik evaluasi pendidikan itu setidak-tidaknya memiliki lima macam fungsi, yaitu:
1.      Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah di capai oleh peserta didiknya.
2.      Memberikan informasi yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masing-masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
3.      Memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status peserta didik.
4.      Memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya.
5.      Memberikan petunjuk tentang sudah sejauh manakah program pengajaran yang telah di tentukan telah dapat dicapai.
Adapun secara administrative, evaluasi pendidikan setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi, yaitu:
1.      Memberikan laporan
2.      Memberikan bahan-bahan keterangan (data)
3.      Memberikan gambaran
Menurut Wina Sanjaya dalam bukunya Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran ada beberapa fungsi evaluasi, yakni :
1.      Evaluasi merupakan alat yang penting sebagai umpan balik bagi siswa.
2.      Evaluasi merupakan alat untuk mengetahui bagaimana ketercapaian siswa dalam menguasai tujuan yang telah ditentukan.
3.      Evaluasi dapat memberikan informasi untuk mengembangkan program kurikulum.
4.      Informasi dari hasil evaluasi dapat digunkan oleh siswa untuk mengambil keputusan secara individual khususnya dalam menentukan masa depan sehubungan dengan pemilihan bidang pekerjaan.
5.      Evaluasi berguna untuk para pengembang kurikulum dalam menentukan kejelasan tujuan khusus yang ingin dicapai.
6.      Evaluasi berfungsi sebagai umpan balik untuk semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan di sekolah.
2.4.4. Tujuan Evaluasi Pendidikan
2.4.4.1. Tujuan umum
Secara umum, tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan ada dua, yaitu :
2.4.4.1.1.      Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang di alami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. dengan kata lain tujuan umum dari evaluasi dalam pendidika adalah untuk memperoleh data pembuktian, yang akan menjadi petunjuk sampai di mana tingkat kemampuan dan tingkat keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikuler, setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
2.4.4.1.2.      Untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pembelajaran yang telah di pergunakan dalam prses pembelajaran.tujuan kedua dari evaluasi pendidikan adalah untuk mengukur dan menilai sampai dimanakah efektivitas mengajar dan metode-metode mengajar yang telah diterapkan atau dilaksanakan oleh pendidik, serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh peserta didik.

2.4.4.2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah:
2.4.4.2.1.      Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
2.4.4.2.2.      Untuk mencari dan menemukan factor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.
2.4.5. Kegunaan Evaluasi Pendidikan
Di antara kegunaan yang dapat dipetik dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah :
2.4.5.1.Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pendidikan.
2.4.5.2.Terbukanya kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang telah dirumuskan dengan ujuan yang hendak dicapai.
2.4.5.3.Terbukanya kemungkinan unuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan progam pendidikan yang dipandang lebih berdaya guna dan berhasil guna, sehingga tujuan yang dicita-citakan, akan dapat dicapai dengan hasil yang sebaik-baiknya.

2.4.6. Obyek Evaluasi Pendidikan
Obyek atau sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatu yang betalian dengan kegiatan atau proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat perhatian atau pengamatan, karena pihak penilai (evaluator) ingin memperoleh informasi tentang kegiatan atau proses pendidikan tersebut. Salah satu cara untuk mengenal atau mengetahui obyek dari evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu dari segi input, transformasi dan out put. Ditilik dari segi input ini maka obyek dari evaluasi pendidikan meliputi tiga aspek, yaitu:
2.4.6.1.Aspek kemampuan
Untuk dapat diterima sebagai calon peserta didik dalam rangka mengikuti program pendidikan tertentu, maka para calon peserta didik harus memiliki kemampuan yang sesuai atau memadai, sehingga dalam mengikuti proses pembelajaran pada program pendidikan tertentu itu nantiya peserta didik tidak akan mengalami banyak hambatan atau kesulitan.
sehubungan dengan itu, maka bekal kemampuan yang dimiliki calon peserta didik perlu untuk dievaluasi terlebih dahulu, guna mengetahui sampai sejauh mana kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing calon peserta didik dalam mengikuti program tertentu. adapun alat yang biasa dipergunakan dalam rangka mwngevaluasi kemampuan peserta didik itu adalah tes kemampuan (aptitude test)
2.4.6.2.Aspek kepribadian
Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat pada diri seseorang, dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Sebelum mengikuti program pendidikan tertentu, para calon peserta didik perlu terlebih dahulu dievaluasi kepribadiannya masing-masing, sebab baik buruknya kepribadian mereka secara psikologis akan dapat memperngaruhi keberhasilan mereka dalam mengikuti program pendidikan tertentu. evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui atau mengungkapkan kepribadian seseorang adalah dengan jalan menggunakan tes kepribadian (personality test).
2.4.6.3.Aspek sikap
Sikap pada dasarnya adalah merupakan bagian dari tingkah laku manusia, sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar. Karena sikap ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pergaulan, maka memperoleh informasi mengenai sikap sseorng adalah hal yang sangat penting. Karena itu maka aspek sikap perlu dinilai atau di evaluasi terlebih dahulu bagi calon peserta didik sebelum mengikuti program pendidikan tertentu.
Selanjutnya apabila disoroti dari segi transformasi maka obyek dari evaluasi pendidikan itu meliputi :
a. Kurikulum atau materi pelajaran
b. Metode mengajar dan teknik penilaian
c. Sarana atau media pendidikan.
d. System administrasi
e. Guru dan unsur-unsur personal lainnya.
Adapun dari segi output, yang menjadi sasaran evaluasi pendidikan adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang berhasil diraih oleh masing-masing peeserta didk, setelah mereka terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan.
2.4.7. Subyek Evaluasi Pendidikan
Subyek atau pelaku evaluasi pendidikan ialah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi dalam bidang pendidikan.
Berbicara tentang subyek evaluasi pendidikan di sekolah kiranya perlu dikemukakan disini bahwa mengenai siapa yang disebut sebagai subyek evaluasi pendidikan itu akan sangat bergantung pada, atau ditentukan oleh suatu aturan yang menetapkan pembagian tugas untuk melakukan evaluasi tersebut. Jadi subyek evaluasi pendidikan itu dapat berbeda-beda orangnya.
Dalam kegiatan valuasi pendidikan dimana sasaran evalusinya adalah prestasi belajar siswa, maka subyek evaluasinya adalah guru atau dosen yang mengasuh mata pelajaran tertentu. jika evaluasi yang dilakukan itu sasarannya adalah sikap peserta didik, maka subyek evaluasinya adalah guru atau petugas yang sebelum melaksanakan evaluasi tentang sikap itu, terlebih dahulu telah memperoleh pendidikan atau latihan (training) mengenai cara-cara menilai sikap seseorang. Adapun apabila sasaran yang di evaluasi adalah kepribadian peserta didik, dimana pengukuran tentang kepribadian itu dilakukan dengan menggunakan instrument berupa test yang sifatnya baku. Maka subyek evaluasinya tidak bisa lain kecuali seorang psikolog.
2.4.8. Ruang Lingkup Evaluasi Pendidikan
Secara umum ruang lingkup dari evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah mencakup tiga komponen utama yaitu :
2.4.8.1. Evaluasi program pengajaran
Evaluasi atau penilaian terhadap program pengajaran akan mencakup tiga hal, yaitu:
a. Evaluasi terhadap tujuan pengajaran
b. Evaluasi terhdap isi program pngajaran
c. Evaluasi terhadap strategi belajar mengajar.
2.4.8.2. Evaluasi proses pelaksanaan pengajaran
Evaluasi mengenai proses peaksanaan pengajaran akan mencakup :
a.       Kesesuaian antara proses belajar mengajar yang berlangsung, dengan garis-garis besar program pengajaran yang telah ditentukan.
b.      Kesiapan guru dalam melaksanakan program pengajaran.
c.       Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
d.      Minat atau perhatian siswa didalam mengikuti pelajaran.
e.       Keaktifan atau partisipasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
f.       Peranan bimbingan dan penyuluhan terhadap siswa yang memerlukannya.
g.      Komunikasi dua arah antara guru dan murid selama proses pembelajaran berlangsung.
h.      Pemberian dorongan atau motivasi terhadap siswa.
i.        Pemberian tugas-tugas kepada siswa dalam rangka penerapan teori-teori yang diperoleh didalam kelas dan upaya menghilangkan dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah.

2.4.8.3. Evaluasi hasil belajar
Evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik ini mencakup:
a.       Evaluasi mengenai tingkat penguasaan peserta didik terhadap tujuan-tujuan khusus yang ingin dicapai dalam unit-unit program pengajaran yang bersifat terbatas.
b.      Evaluasi mengenai tingkat pencapaian peserta didik terhadap tujuan-tujuan umum pengajaran.

  
BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
3.1.1. Teori Pedagogi dan Andragogi
Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic adalah ilmu pendidikan anak.
Andragogi (Andragogy) berasal dari kata Yunani ”andr” atau ”aner” yang berarti orang dewasa, dan agogi (agogy) yang juga berasal dari kata Yunani ”agogus” berarti ”memimpin/membimbing”. Agogi berarti ”aktivitas memimpin/membimbing” atau ”seni dan ilmu mempengaruhi orang lain”.
3.1.2. Teori Mengajar
      Ramsden (1992:111-120) mengemukakan minimal ada tiga konsep teori mengajar dan praktik mengajar yang cenderung menjadi kajian para ilmuwan ataupun praktisi pendidikan.
Teori 1: “teaching as telling or transmission”.
Teori 2: “teaching as organizing students activity”.
Teori 3: “teaching as  making learning possible”.
      Pada dimensi yang lebih luas, konsep mengajar dapat dipandang dari tiga dimensi. Ketiga dimensi konsep belajar tersebut adalah: 1) konsep mengajar sebagai mitos (teaching as mythos); 2) konsep mengajar sebagai system/subsistem (teaching as system/subsystem); 3) konsep mengajar sebagai substansi keilmuan (teaching as science).
3.1.3. Teori Kurikulum
      Teori kurikulum yaitu suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsure-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum.
Ada tiga konsep tentang kurikulum: kurikulum sebagai substansi, kurikulum sebagai system,dan kurikukulum sebagai bidang studi.
3.1.4. Evaluasi Pendidikan
Secara harfiyah, evaluasi pendidikan diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan. Adapun dari segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Apabila definisi Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) digunakan untuk memberi definisi tentang evaluasi pendidikan, maka evaluasi pendidikan itu dapat diberi pengertian sebagai suatu tindakan atau kegiatan (yang dilaksanakan dengan maksud untuk) atau suatu proses (yang berlangsung dalam rangka) menentukan nilai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan, atau yang terjadi di lapangan pendidikan). Atau singkatnya evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai pendidikan sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya.



Daftar Pustaka
Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.
Mudjijo. 1995. Tes Hasil Belajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramsden, Paul. 1992. Learning to Teach in Higher Education. London: Routledge Chapman and Hill Inc.
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Prenada media Group.
Sumber dari internet:
Nama Dosen : Dirgantara Wicaksono
Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKn di SD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar