MAKALAH
Ilmu
Pendidikan Teoritis
(Teori
Psikologi Pendidikan, Teori Administrasi Pendidikan, Teori Bimbingan dan
Konseling, Teori Sosiologi dan Antropologi Pendidikan)
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Ilmu
Pendidikan
Dosen: Dr. Sudjarwo Singowidjojo M.Sc
Fakultas Ilmu Pendidikan
Program Studi PGSD
Disusun
oleh:
Nia Kurniawati
NIM:
2013820046
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jln. K.H. Ahmad Dahlan,
Cireundeu-Ciputat
Tahun Akademik 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji penulis sampaikan kepada Dzat
Allah Yang Maha Suci, syukur pun tak lupa penulis sampaikan kepada Dzat Allah
Yang Maha Ghafur. Karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Ilmu Pendidikan Teoritis (Teori
Psikologi Pendidikan, Teori Administrasi Pendidikan, Teori Bimbingan dan
Konseling, Teori Sosiologi dan Antropologi Pendidikan)”. Makalah ini
penulis susun untuk memenuhui salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan.
Penulis menyusun
makalah ini bertujuan untuk mengetahui teori-teori yang digunakan dalam ilmu
pendidikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan
makalah ini belum mampu mendekati kata sempurna. Hal ini dikarenakan
keterbatasan penulis dalam menguasai dan memahami bidang sastra. Tetapi,
keterbatasan ini tidak mematahkan
semangat penulis untuk terus menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan
dibantu oleh berbagai pihak, baik bantuan moril ataupun materil. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan penulis, penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1.
Bpk. Dr. Sudjarwo Singowidjojo M.Sc
sebagai dosen sekaligus pembimbing dalam bidang Ilmu Pendidikan.
2.
Ibu dan Ayah tercinta yang telah
memberikan motivasi dalam berbagai bidang serta yang telah memberikan do’a yang
tiada henti untuk kelancaran hidup penulis.
3.
Teman-temanku seperjuangan yang ikut
serta merasakan kelelahan dalam pembuatan makalah ini.
Semoga pembuatan
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khusunya bagi penulis. Semoga
Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua. Amiin.
Ciputat,
31 Oktober 2013
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Dunia
ini diciptakan bagi seluruh makhluk. Namun, baik buruknya dunia ini tergantung
atas manusia yang ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. Kadang kala
manusia tidak mampu bersyukur atas dirinya yang telah ditetapkan sebagai
khalifah. Untuk mampu mengelola dunia dengan baik, maka manusia perlu belajar
agar memperoleh ilmu pengetahuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah.
Ilmu pengetahuan saja tidak cukup bagi manusia untuk mengelola bumi ini, maka
dari itu manusia juga perlu memiliki pendidikan. Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan
selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Ini berarti, melalui
pendidikan seharusnya terjadi proses belajar untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan
dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri sesuai dengan
potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk hidup bermasyarakat.
Perkembangan
pemikiran manusia dalam memberikan batasan tentang makna dan pengertian
pendidikan, setiap saat selalu menunjukkan adanya perubahan. Perubahan itu
didasarkan atas berbagai temuan dan perubahan di lapangan yang berkaitan dengan
semakin bertambahnya komponen system pendidikan yang ada. Berkembangnya pola
pikir para ahli pendidikan, pengelola pendidikan, dan pengamat pendidikan yang
membuahkan teori-teori baru.
Pada masa sekarang, ilmu pendidikan
mengalami perluasan menjadi ilmu pendidikan praktis dan ilmu pendidikan
teoritis. Dalam ilmu pendidikan teoritis, focus pengkajian utama adalah pada
filsafat teori, dan konsep-konsep dasar yang terkait dengan pendidikan dan
dengan teori-teori berbagai cabang ilmu lain yang digunakan dalam pendidikan.
Ada pun ilmu pendidikan praktis lebih menekankan pada pelaksanaan atau praktik
ilmu pendidikan itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya,
khususnya di Indonesia, perkembangan ilmu pendidikan praktis cenderung lebih
menonjol dan perkembangannya lebih pesat. Hal ini terjadi karena ilmu
pendidikan praktis dianggap lebih mudah menerapkan pendidikan yang didapat dibandingkan
dengan ilmu pendidikan teoritis. Kejadian seperti ini tentu ada sisi positif
dan pasti ada juga sisi negatifnya. Salah satu sisi negatifnya yaitu berdampak
pada makin berkurangnya pakar terkait dengan ilmu pendidikan teoritis.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis akan menyusun makalah mengenai ilmu pendidikan teoritis
yang difokuskan pada pembahasan teori psikologi pendidikan, teori administrasi
pendidikan, teori sosiologi pendidikan, teori antropologi pendidikan, dan teori
penelitian pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Teori Psikologi Pendidikan
Psikologi
pendidikan adalah studi, latihan atau bimbingan yang sistematiis terhadap
proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan ilmu kejiwaan. Materi pokok
psikologi pendidikan adalah masalah bagaimana manusia belajar. Dalam hal ini
ranah yang penting dibahas adalah aspek anak didik, proses belajar, dan situasi
belajar. Keberhasilan anak didik dalam belajar ditopang oleh keluarga, teman
sebaya, guru, dan sekolah. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan dibahas
hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah perkembangan kognisi, moral, dan
social; motivasi belajar; peran teman sebaya, poses belajar dan situasi
belajar.
2.1.1.
Perkembangan Kognitif, Moral, dan Social
Perkembangan
kognitif merupakan salah satu aspek perkembangan mental yang bertujuan
memisahkan kenyataan yang sebenarnya dengan fantasi, menjelajah kenyataan dan
menemukan hukum-hukumnya, memilih kenyataan-kenyataan yang berguna bagi
kehidupan, menentukan kenyataan yang sesungguhnya di balik sesuatu yang nampak.
Menurut Jean
Peaget (seorang pakar biologi dari Swiss), perkembangan kognitif merupakan
suatu proses dimana kemajuan individu melalui satu rangkaian yang secara
kualitatif berbeda dalam berpikir. Hal yang diperoleh dalam satu peringkat akan
merupakan dasar bagi peringkat selanjutnya. Peaget memandang bahwa kognitif
merupakan hasil dari pembentukan adaptasi biologis. Adaptasi ialah proses
terjadinya penyesuaian antara individu dengan lingkungan.
Dari
interaksi dengan lingkungan, individu akan memperoleh pengetahuan dengan
menggunakan asimilasi, akomodasi, dan dikendalikan oleh prinsip keseimbangan.
Pada masa bayi dan kanak-kanak, pengetahuan itu berdifat subyektif, dan akan
berkembang menjadi obyektif pada masa remaja dan dewasa.
Proses
pendidikan dan pembelajaran akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
peringkat perkembangan kognitifsiswa. Siswa hendaknya banyak diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi
dengan lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.
Implikasi
teori perkembangan kognitif Peaget dalam pembelajaran antara lain:
a) Bahasa
dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa;
b) Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik;
c) Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing;
d) Memberi
peluang agar anak belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya; dan
e) Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara
dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.
Peaget
dan Kohlberg telah membuktikan bahwa pertumbuhan dalam perkembangan moral
(moral judgement) merupakan proses perkembangan. Hal yang terjadi bukanlah
proses mencetakkan aturan-aturan dan keutamaan-keutamaan dengan cara memberi
teladan, menasehati, memberi hukuman dan ganjaran, tetapi suatu proses
pembentukan struktur kognitif.
Setidaknya
ada tiga asumsi yang diajukan dalam memahami suatu teori perkembangan. Pertama, perkembangan menyangkut
perubahan-perubahan dasar dalam struktur, yaitu bentuk, pola, dan organisasi
dari suatu respon. Kedua,
perkembangan merupakan hasil dari proses interaksi antara struktur, organism,
dan lingkungan. Ketiga, perkembangan
mengarah kepada terciptanya equilibrium yang semakin besar dalam interaksi
antara organisme dengan lingkungan.
Prinsip-prinsip
perkembangan dalam pertimbangan moral dinyatakan dalam beberapa asumsi dan
sifat menurut teori perkembangan. Tujuan pendidikan dalam pertimbangan moral
adalah untuk mengusahakan perkembangan yang optimal bagi setiap individu.
Faktor-faktor yang memepengaruhi perkembangan moral adalah lingkungan social,
perkembangan kognitif, empati, dan konflik kognitif.
Teori
lain yang juga penting dalam psikologi pendidikan adalah teori pembelajaran
social-kognitif atau teori pembelajaran melalui peniruan yang digagas oleh
Bandura. Teori ini berdasarkan pada tiga asumsi, yaitu: pertama, individu
melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya, terutama
perilaku-perilaku oranglain. Kedua, terdapat keterkaitan yang erat antara
pelajar dengan lingkungannya. Ketiga, bahwa hasil pembelajaran adalah berupa
kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Atas
dasar asumsi-asumsi itu, teori Bandura
disebut pembelajaran social-kognitif karena proses kognitif dalam diri individu
memegang peranan dalam pembelajaran, sedangkan pembelajaran terjadi karena
adanya lingkungan social. Pembelajaran merupakan suatu proses bagaimana membuat
peniruan yang sebaik-baiknya sehingga bersesuaian dengan keadaan diri dan
tujuannya.
Menurut
Bandura, proses pembelajaran terjadi dalam tiga komponen, yaitu perilaku model,
pengaruh perilaku model, dan proses internal pelajar. Adapun fungsi perilaku
model adalah: untuk memindahkan informasi ke dalam diri individu, untuk
memperkuat/memperlemah perilaku yang telah ada, untuk memindahkan pola-pola
perilaku yang baru.
Dalam
kaitannya dengan pembelajaran, ada tiga macam model, yaitu model yang hidup
(live model), mdel yang disimbolkan (symbolic model), dan model yang
diceritakan dari mulut ke mulut (verbal description model).
Model yang kan
ditiru ditentukan oleh tiga factor: ciri-ciri model, nilai prestise model, dan
peringkat ganjaran intrinsic atau kualitas rasa kepuasan yang diperoleh dengan
meniru suatu model.
2.1.2.
Motivasi Belajar
Motivasi merupakan suatu keadaan internal ataupun
eksternal yang menimbulkan, mengarahkan, dan memperkuat perilaku. Dalam
pendidikan di sekolah, motivasi sangat erat hubungannya dengan perilaku anak didik pada saat proses
belajar dimulai (entering behavior). Bila pendidik (guru) membangkitkan
motivasi anak didik, mereka akan memperkuat respon yang telah dipelajari. Oleh
karena itu, dalam entering behavior hendaknya hati-hati melakukan tindakan
untuk membangkitkan atau memperkuat motivasi belajar, agar guru dapat membantu
anak didik mengembangkan motif belajar ekstrinsik menjadi intrinsic.
Motif mengandung tiga unsure, yaitu mendorong
terus-menerus, memberikan kekuatan pada suatu perilaku; menseleksi perilaku
yang akan dan tidak akan dilaksanakan; mengatur perilaku yaitu mempertahankan
arah perilaku yang sudah dipilih. Di samping itu, dalam setiap motif terkandung
dua struktur dasar yaitu pengharapan akan keberhasilan dan ketakutan akan
kegagalan. Untuk membantu mengembangkan motif berprestasi, pendidik perlu
memberikan kesempatan yang terarah kepada anak didik agar dorongan manipulasi
dan eksplorasi tidak terhambat pertumbuhannya.
Teori-teori motivasional juga menggambarkan bahwa
tujuan atau keinginan anak didik mempengaruhi cara belajar sesuai dengan sifat
tugas akademis yang ingin dicapainya. Mereka yang mempunyai tujuan-tujuan yang
ditetapkan dan direncanakan (mastery goals) berusaha keras meningkatkan
kemampuan dan pengetahuannya. Mereka yang mempunyai tujuan dengan pendekatan
penampilan yang baik (performance approach goals) berusaha keras memperoleh
hasil belajar dengan urutan nilai yang tinggi dan mencari kesempatan-kesempatan
untuk menampilkan kecakapannya. Dalam penelitian, mastery goals diasosiasikan
dengan hasil (luaran) yang positif, sedangkan tujuan-tujuan yang berlawanan
dengan kenyataan diasosiasikan dengan hasil (luaran) negative.
Prinsip motivasi yang dapat dijadikan
acuan adalah antara lain:
a) Prinsip
kompetisi
Yaitu
persaingan secara sehat baik inter maupun antar pribadi. Kompetisi interpribadi
adalah kompetisi dalam diri pribadi masing-masing dari tindakan atau unjuk
kerja dalam dimensi tempat dan waktu. Kompetisi antarpribadi adalah persaingan
antara individu yang satu dengan individu yang lain.
b) Prinsip
pemacu
Dorongan
untuk melakukan berbagai tindakan akan terjadi apabila ada pemacu tertentu.
Pemacu ini dapat berupa informasi, nasehat, amanat, peringatan, atau
percontohan.
c) Prinsip
ganjaran dan hukuman
Ganjaran
yang diterima oleh seseorang dapat meningkatkan motivasi untuk melakukan
tindakan yang menimbulkan ganjaran itu. Setiap unjuk kerja yang baik apabila
diberikan ganjaran yang memadai, cenderung akan meningkatkan motivasi.
d) Prinsip
kejelasan dan kedekatan tujuan
Makin jelas dan makin dekat suatu tujuan maka akan
makin mendorong seseorang untuk melakukan tindakan.
e) Prinsip
pemahaman hasil
Hasil
yang dicapai secara baik oleh siswa akan merupakan balikan dari upaya yang
telah dilakukannya.
f) Prinsip
pengembangan minat
Prinsip dasarnya ialah bahwa
motivasi seseorang cenderung akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki
minat yang besar dalam melakukan tindakannya.
g) Prinsip
lingkungan yang kondusif
Lingkungan
belajar yang kondusif baik lingkungan fisik, social, maupun psikologis dapat
menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif.
h) Prinsip
keteladanan
Perilaku mengajar secara langsung
atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perilaku siswa, baik yng
sifatnya positif maupun negative.
2.2.
Teori Administrasi Pendidikan
Administrasi
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Adanya kegiatan kerjasama yang dilakukan
sekelompok manusia
Adanya penataan atau pengaturan dalam
kerjasama
Adanya tujuan yang akan dicapai dari
kegiatan kerjasama
2.2.1.
Konsep Dasar Administrasi Pendidikan
Langeveld
mengatakan bahwa pendidikan adalah ilmu tersendiri karena pendidikan memiliki
obyek tersendiri yang berupa hubungan antara pendidik dan peserta didik, cara
tersendiri yang normative dan memiliki tujuan yang jelas yaitu kedewasaan.
Kemudian pengertian pendidikan yaitu berupa kegiatan belajar mengajar dan
bahkan akhirnya situasi belajar mengajar yang berlaku di lembaga pendidikan
atau biasa kita kenal dengan istilah “schooling”. Schooling memiliki komponen:
guru, murid, kurikulum, keteraturan, dan fasilitas belajar mengajar.
Dari hal tersebut, administrasi
pendidikan memposisikan manusia dalam puncak, sehingga menjadi factor yang
menentukan. Sejarah manusia dalam berorganisasi menunjukkan bahwa tidak adanya
peran manusia akan menghancurkan system administrasi.
Pada dasarnya, pengertian administrasi
pendidikan merupakan penerapan pengertian administrasi dalam arti luas pada
bidang pendidikan. Atau dengan kata lain, administrasi pendidikan merupakan
upaya menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan.
Istilah administrasi berasal dari kata
latin “administrate” yang berarti membantu atau melayani. Kata sifatnya
“administrativus” dan kata bendanya “administration”. Kata latin “administrare”
dalam bahasa ingggris “administration” diterjemahkan sebagai “administrasi”
dalam bahasa Indonesia. Pada jaman Belanda, istilah administrasi dipakai
sebagai terjemahan dari kata “administratie”. Dengan demikian ada dua
pengertian arti kata administrasi yang perlu dibedakan.
1. Administrasi
diartikan sebagai tatausaha (clerical work).
Dalam
arti sempit, administrasi diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan
ketatausahaan (clerical work) seperti misalnya segala sesuatu yang berhubungan
dengan catat-mencatat, surat menyurat, penataan, kearsipan, pengisian atau
pengerjaan berbagai jenis formulir. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi
kesalahpahaman, disarankan agar penggunaan istilah “tatusaha” tidak
diberlakukan untuk “administrasi” melainkan gunakanlah istilah “tatausaha”
saja.
2. Adminitrasi
dalam arti luas.
Walter S Monroe (1952) dalam buku
“Encyclopedia of Education Research” mengartikan bahwa administrasi pendidikan
merupakan pengarahan, pengawasan, dan pengelolaan segala hal yang berkaitan
dengan sekolah, termasuk administrasi pembiayaan. Dalam arti, segala aspek yang
berkaitan dengan sekolah harus dipertimbangkan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
2.2.2.
Pendekatan-pendekatan
dalam Administrasi Pendidikan
Menurut Way K.
Hoy dan Cecil G. Miskel dan J.C.S. Musaazi bahwa perkembangan teori
administrasi dapat digolongkan kepada tiga tahapan perkembangan, yaitu:
pendekatan organisasi klasik, pendekatan hubungan manusia, dan pendekatan
perilaku.
1. Pendekatan
Organisasi Klasik
Pendekatan
organisasi klasik ini sering disebut juga dengan gerakan administrasi ilmiah
yang dipelopori oleh Federick Taylor seorang yang memiliki latar belakang dan
pengalaman sebagai buruh, juru ketik, mekanik, dan akhirnya berpengalaman
sebagai kepala teknik yang hidup antara tahun 1856 sampai dengan tahun 1915.
Frederick Taylor dan teman-temannya berkeyakinan bahwa para pekerja yang
didorong motivasi ekonomi dan keinginan psikologis yang terbatas yang
memerlukan arahan-arahan tetap.
Gagasan
prinsip-prinsip administrasi ilmiah yang dikembangkan Taylor ini beranggapan
bahwa:
a. Perusahaan
perlu untuk menciptakan dan mengembangkan suatu metode kerja yang baik bagi
setiap pekerja dengan menentukan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh setiap
pekerjanya dengan usaha-usaha untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas
b. Setiap
pekerja harus diberikan kondisi-kondisi dan alat-alat standar untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugasnya dengan efisien
c. Perusahaan
harus dapat memberikan imbalan yang tinggi kepada pekerja yang berhasil
menyelasaikan tugas-tugasnya
d. Perusahaan
yang berhasil semakin berkembang dan kompleks tugas-tugas harus dibuat semakin
sulit yang hanya dapat dikerjakan oleh pekerja dengan keahlian yang tinggi.
Teori-teori administrasi yang dapat digolongkan
kepada pendekatan organisasi kalsik memiliki cirri-ciri khusus sebagai berikut:
Studi gerak dan waktu
Pembagian kerja dan spesifikasi tugas
Standarisasi tugas-tugas
Kesatuan intruksi
Rentang pengawasan yang terbatas
Keunikan fungsi
Organisasi formal
2. Pendekatan
Hubungan Manusia
Pendekatan
hubungan manusia adalah gerakan yang lahir dan berkembang sebagai reaksi
terhadap pendekatan organisasi klasik. Pendekatan hubungan manusia ini
dipelopori oleh Mary Parker Follett orang yang pertama kali mengenal pentingnya
factor-faktor manusia dalam administrasi. Marry Follett percaya bahwa masalah
yang mendasar dalam semua oraganisasi adalah mengembangkan dan mempertahankan
hubungan dinamis dan harmonis.
Akhirnya J.C.S.
Musaazi menyimpulkan bahwa pendekatan hubungan manusia dalm administrasi
pendidikan menekankan pada beberapa poin berikut ini:
a. Para
administrator bekerja dengan dan melalui orang-orang agar melakukan
tujuan-tujuan organisasi, dan sensivitas terhadap factor manusia adalah langkah
pertama yang penting dalam kerja.
b. Organisasi
formal dan informal yang ada di lembaga pendidikan berdiri saling berdampingan
sebagai sebuah yang integral dan yang dpat dipisahkan yang saling melengkapi.
c. Administrasi
adalah sebuah tanggungjawab yang dibagi dan dengan demikian struktur organisasi
semestinya memberikan peluang untuk saling memberikan gagasan untuk meminimalkan
kekakuan struktur hirarki.
d. Imbalan
(gaji) bukan satu-satunya pendorong motivasi yang signifikan.
e. Para
pekerja menggunakan organisasi informal untuk melindungi dari keputusan yang
sewenang-wenang dari pimpinan.
f. Para
pimpinan informal sama pentingnya dengan para pengawas formal.
g. Individu-individu
adalah manusia yang aktif, bukan tenaga penggerak mesin yang pasif.
h. Suatu
jangka pengawasan yang sempit bukan suatu syarat bagi pengawasan yang efektif.
Pendekatan hubungan manusia
terhadap administrasi menempatkan konsentrasinya kepadda struktur organisasi
dengan menekankan yang lebih besar kepada motivasi dan kepuasan pekerjanya.
3. Pendekatan
Perilaku
Pendekatan
perilaku dalm administrasi adalah menggabungkan antara hubungan social dengan
struktur formal dan menambahkannya dengan proposisi yang diambil dari
psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi. Pendekatan ini dipelopori oleh
chester I. Barnard. Barnard menyimpulkan bahwa kontribusi kerjanya berkenaan
dengan konsep struktur dan dinamis. Konsep-konsep struktur yang dianggap
penting adalah individu, system kerjasama, organisasi formal, organisasi formal
yang kompleks, dan juga organisasi informal. Konsep-konsep dinamis yang penting
menurut Barnard adalah kerelaan, kerjasama, komunikasi, otoritas, proses keputusan,
dan keseimbangan dinamik.
2.2.3.
Fungsi-fungsi
Administrasi Pendidikan
Fungsi administrasi pendidikan
merupakan pemuatan pengarahan mental (pikiran, kemauan dan perasaan) dan tenaga
jasmaniah untuk mewujudkan sesuatu sebagai sasaran. Sasaran itu telah direncanakan
sebelumnya. Dengan demikian, fungsi administrasi merupakan sesuatu dari
kegiatan yang menuju kepada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Fungsi dalam administrasi
pendidikan adalah tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh individu ataupun kelompok
dengan urutan sebagai berikut:
a. Membuat
keputusan (desicion making)
b. Merencanakan
(planning)
c. Mengorganisasikan
(organizing)
d. Mengkomunikasikan
(communication)
e. Mengkoordinasikan
(coordination)
f. Mengawasi
(controlling)
g. Menilai
(evaluation)
2.2.4.
Prinsip-prinsip
Administrasi Pendidikan
Prinsip dasar
administrasi pendidikan yang demokratis mencakup:
1. Tujuan
pendidikan dan perkembangan anak didik harus mendasari semua kegiatan
administrasi pendidikan.
2. Penggunaan
waktu, tenaga, alat secara efektif.
3. Ada
koordinasi dalam semua usaha.
4. Partisipasi
luas dalam menentukan kebijakan dan program.
5. Pemindahan
kekuasaan sesuai dengan tanggungjawab.
6. Menghindari
overlapping fungsi
7. Usaha
menempatkan kepemimpinan dan mendorong pelaksanannya sesuai dengan abilitas,
kapabilitas, latar belakang,, pengalaman, minat, dan kebutuhan setiap pribadi
yang terlibat.
8. Adanya
fleksibilitas organisasi yang memungkinkan penyesuaian yang dapat dilakukan
secara continue.
9. Penghargaan
terhadap usaha dan aktivitas kreatif sesuai dengan hakekat manusia, yang di
ekspresikan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan.
2.2.5.
Bidang
Garapan Administrasi Pendidikan
Administrasi
operasional dalam operasionalnya memiliki bidang garapan sebagai berikut:
a. Administrasi
Kurikulum (Program Pendidikan)
Pendidikan yang dimaksud dalam bahasan ini adala
proses belajar mengajar yang dikembangkan (schooling). Inti pokok dalam proses
belajar mengajar yang dikembangkan adalah kurikulum dalam pengertian yang luas.
Kurikulum berisi:
Pengembangan individu: aspek etika dan
estetika, pengembangan fisik, emosional dan sikap;
Perkembangan nalar dan investigasi:
kecerdasan dan latihan pengembangannya;
“culture heritage” dan “nationality”:
budaya warisan dan nilai-nilai kewarganegaraan;
Upah jiwa yang vital yang menyambung
pada kesejahteraan ekonomi, social, politik, dan lapangan kerja.
b. Administrasi
Kesiswaan atau Peserta Didik
Administrasi kesiswaan merupakan suatu penataan atau
pengaturan segala aktivitas yang berkaitan dengan siswa, yaitu mulai dari
masuknya siswa sampai dengan keluarnya siswa tersebut dari suatu lembaga
pendidikan.
c. Administrasi
Personil
Personil lembaga pendidikan secara umum dapat
digolongkan dalam tiga kategori besar:
Mereka yang menjadi pimpinan lembaga
biasanya mereka diangkat dari tenaga kerja kependidikan dari kalangan sendiri,
atau yang diangkat dari luar lembaga;
Mereka yang diangkat untuk memenuhi
kebutuhan tenaga edukatif dengan fasilitas, hak dan kewajiban tertentu;
Mereka yang diangkat sebagai tenaga
pembantu kelancaran belajar mengajar langsung pada lembaga atau di luar lembaga
tersebut pada umumnya disebut tenaga administrative dalam pengertian clerical
work.
d. Administrasi
Keuangan
Karena keungan merupakan masalah yang peka, maka
perlu dikelola secara cermat, dan hati-hati. Untuk itu diperlukan pembukuan
yang rapih serta benar tentang penerimaan dan pengeluaran uang. Pemegang
keuangan itu perlu ditatar mengenai pembukuan keuangan sekolah, prosedur
penggunaan keuangan dan pertanggungajawaban.
e. Administrasi
Peralatan, Perlengkapan dan Gedung Sekolah
Peralatan dan perlengkapan sekolah ini dibagi
menjadi dua yaitu peralatan dan perlengkapan pengajaran, peralatan dan
perlengkapan gedung dan halaman. Peralatan dan perlengkapan pengajaran untuk
kebutuhan pelaksanaan pengajaran, terdiri dari barang-barang yang tidak habis
dipakai (equipment) seperti OHP, radio, televisi, computer dan sebagainya.
Sedangkan peralatan dan perlengkapan gedung dan halaman terdiri dari gedung,
lemari, bangku, dan sebagainya.
f. Administrasi
Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Keberadaan sekolah adalah didorong oleh kebutuhan
masyarakat, karena itu tanggungjawab pendidikan di sekolah merupakan
tanggungjawab masyarakat, keluarga, dan pemerintah. Berdasarkan hal itu
seharusnya ada hubungan yang selalu meningkat antara keduanya.
Elsbree memberikan sembilan prinsip dalam
pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat ini adalah:
Ketahuilah apa yang Anda yakini;
Laksanakanlah program pendidikan Anda
dan bersahabatlah dengan masyarakat;
Ketahuilah/kenalilah masyarakat Anda;
Adakanlah survey tentang masyarakat dan
daerah-daerah Anda melalui dokumen-dokumen;
Jadilah anggota organisasi dalam
masyarakat;
Adakanlah kunjungann ke rumah orangtua
siswa;
Layanilah masyarakat itu untuk membantu
program sekolah Anda.
2.3.
Teori
Bimbingan dan Konseling
2.3.1. Pengertian Bimbingan dan
Konselling
Rochman
Natawidjaja mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada
individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat
memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak
secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga,
masyarakat, dan kehidupan pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai
perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk social.
Bimbingan
merupakan “helping”, yang identik dengan “aiding, assisting, atau availing”,
yang berarti bantuan atau pertolongan. Makna bantuan dalam bimbingan
menunjukkan bahwa yang aktif dalam mengembangkan diri, mengatasi masalah, atau
mengambil keputusan adalah individu atau peserta didik sendiri. Dalam proses
bimbingan, pembimbing tidak memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi berperan
sebagai fasilitator perkembangan individu. Istilah bantuan dalam bimbingan
dapat juga dimaknai sebagai upaya untuk: menciptakan lingkungan (fisik, psikis,
social, dan spiritual) yang kondusif bagi perkembangan siswa, memberikan
dorongan dan semangat, mengembangkan keberanian bertindak dan bertanggungjawab,
dan mengembangkan kemampuan untuk memperbaiki dan mengubah perilakunya sendiri.
Tujuan
bimbingan adalah perkembangan optimal, yaitu perkembangan yang sesuai dengan potensi dan system nilai
tentang kehidupan yang baik dan benar. Perkembangan optimal bukanlah semata-mata
pencapaian tingkat kemampuan intelektual yang tinggi, yang ditandai dengan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan, melainkan suatu kondisi dinamik,
dengan individu: mampu mengenal dan memahami diri, berani menerima kenyataan
diri secara obyektif, mengarahkan diri sesuai dengan kemampuan, kesempatan, dan
system nilai, dan melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas tanggungjawab
sendiri.
Di
atas telah dikemukakan makna bimbingan, berikut akan dijelaskan tentang
pengertian konseling. Robinson (M. Surya dan Rochman N., 1986:25) mengartikan
konseling sebagai “semua bentuk hubungan antara dua orang, dimana yang seorang,
yaitu klien dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap
dirinya sendiri dan lingkungannya”. Suasana hubungan konseling ini meliputi
penggunaan wawancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi,
melatih atau mengajar, meningkatkan kematangan, memberikan bantuan melalui
pengambilan keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi).
Lebih
jauh, Pietrofesa dan kawan-kawan (1980:75) menunjukkan sejumlah ciri-ciri
konseling profesional sebagai berikut:
a.
Konseling merupakan suatu hubungan
professional yang diadakan oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk
pekerjaannya itu.
b.
Dalam hubungan yang bersifat profesional
itu, klien mempelajari keterampilan pengambilan keputusan, pemecahan masalah,
serta tingkah laku atau sikap-sikap baru.
c.
Hubungan professional itu dibentuk
berdasarkan kesukarelaan antara klien dan konselor.
ASCA
(American School Conselor Association) mengemukakan bahwa “konseling adalah
hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan
pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan
pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi
masalah-masalahnya.”
Osipow,
Walsh dan Tosi (1980) mengelompokkan konseling berdasarkan penekanan masalah
yang dipecahkannya, yaitu: penyesuaian prribadi, pendidikan, dan karir.
Shertzer dan Stone (1980) mengelompokkan konseling didasarkan pada kawasan atau
ranah perilaku yang merupakan kepeduliannya, yaitu konseling yang berorientasi
pada ranah kognitif dan ranah afektif. Ahli lain Patterson (1966) secara lebih
rinci mengelompokkan pendekatan konseling menjadi lima kelompok, yaitu: pendekatan
rasional, teori belajar, psikoanalitik, perceptual-fenomenologis, dan
eksestensial.
Dari
seluruh pengertian konseling yang ada, Shertzer dan Stone (1980: 82-89)
menyimpulkan bahwa yang menjadi tujuan konseling pada umumnya dan di sekolah
pada khususnya adalah “mengadakan perubahan perilaku pada diri klien sehingga
memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan”.
Khusus di sekolah, Boy dan Pine
(Depdikbud, 1983:14) menyatakan bahwa tujuan konseling adalah membantu siswa
menjadi lebih matang dan lebih mengaktualisasikan dirinya, membantu siswa maju
dengan cara yang posiif, membantu dalam sosialisasi siswa dengan memanfaatkan
sumber-sumber dan potensinya sendiri.
2.3.2.
Teori
Konseling
1.
Teori
Konseling Psikoanalisis
Psikoanalisa
dapat dipandang sebagai teori kepribadian atau pun sebagai metode psikoterapi.
Calvin, S. Hall mengemukakan hal ini
sebagai berikut:
Freud
is here speaking of psychoanalysis as a theory of personality. But there is
another side to psychoanalysis as well. Psychoanalysis is also a method of
psychotherapy. It consist of thecniques for treating emotionally disturbed
people. (Hall, 1956:19)
Dalam
bagian berikut akan dikemukakan beberapa prinsip pokok psikoanalisa sebagai
teori kepribadian, yang diteruskan dengan uraian tentang psikoanalisa sebagai
teknik psikoterapi.
a. Masalah
Kesadaran dan Ketaksadaran
Kehidupan
psikis manusia, menurut Freud terdiri atas dua bagian, yaitu the consious (kesadaran) dan the unconscious (ketaksadaran).
Kesadaran mempunyai arti yang relative sangat kecil dalam dinamika tingkah
laku. Apa yang diketahui oleh seseorang tentang tingkah laku dan motifnya
hanyalah potongan dan aspek yang dangkal saja dari keseluruhan kepribadiannya.
Di bawah kesadaran ada sumber daya, yaitu “ketaksadaran”, sebagai tenaga
pendorong yang nyata bagi kegiatan-kegiatan manusia (Heidbreder, 1933:387).
b. Interpretasi
Mimpi
Mimpi
adalah pernyataan ketaksadaran dan merupakan pemenuhan keinginan dan “primitive modes of thinking” (Heidbreder,
1933:393).
Mimpi
tiada lain ekspresi tenaga yang repressed
yang ingin mendapatkan kembali tempatnya dalam kesadaran. Demikianlah mimpi itu
adalah ilustrasi yang indah sekali dari mekanisme dorongan-dorongan instinkif
yang bertentangan dengan ego, yang dimanifestasikan keluar.
Tiap
mimpi mempunyai arti tertentu yang berbeda-beda. Kebanyakan mimpi, terutama
pada anak-anak adalah “direct fulfillment
of wishes” (Murphy, 1949:312). Dalam mimpi ini pula terjadi simbolisme.
Tiap symbol mempunyai pengertian tertentu pula. Simbol-simbol ini berasal dari
pengalaman pribadi dari yang mimpi itu, yang kadang-kadang mempunyai pengertian
yang sama dengan orang lain.
Dengan
metode psikoaalisa, dalam hal ini free
associations dalam hubungannya dengan mimpinya, si analis akan dapat
mengungkapkan kehidupan mental orang tersebut, yang tidak disadarinya.
Mimpi
itu mempunyai berbagai ketentuan, dan dapat pula ditafsirkan bermacam-macam.
Akan tetapi tidak selalu mimpi ini ditafsirkan secara lengkap. Interpretasi
mimpi ini dimaksudkan sebagai proses pengenalan kembali seluruh kecenderungan
di luar kesadaran.
Interpretasi
mimpi ini hendaknya dilakukan bukan hanya kepada satu kali impian, tapi justru
pada urutan beberapa impian.
c. Teori
Libido
Dari
berbagai bahan analisa, dan observasi terhadap anak-anak dan bayi, Freud
merumuskan tingkat pertumbuhan seksual individu. Pada masa bayi muncul berbagai
respon yang menunjukkan adanya kecenderungan ke arah seksualitas. Misalnya
menghisap ibu jari adalah perbuatan yang ada hubungannya dengan seksualitas.
Pernyataan dari dorogan seks pada masa kanak-kanak ini bersifat polymorph. Istilah seks tidak selalu
harus dihubungkan dengan organ seks, akan tetapi pada masa kanak-kanak lebih
banyak dihubungkan dengan kehidupan cinta (love).
Perkembangan
seksualitas kanak-kanak berlangsung mengalami berbagai modifikasi. Hubungan
yang intim dengan ibu yang memberikan rasa cintanya akan berkembang terus,
namun ayahnya dan demikian juga masyarakat akan menghambatnya. Rasa cinta
terhadap ibu ini harus di repressed.
Inilah yang disebut Freud Oeudipus
complex pada anak laki-laki, dan pada wanita disebut Electra complex.
Energy
cinta, atau disebut juga libido, pada
suatu masa akan diarahkan kepada dirinya sendiri. Inilah yang disebut Naristic stage, yang ditandai dengan
adanya self absorption dan vanity, dimana dirinya sendiri menjadi
obyek rasa kasihnya sendiri.
Apabila
si individu telah dapat mengatasi semua tingkatan tadi, tercapailah kestabilan,
integrasi dari berbagai komponen. Namun apabila si individu gagal dalam
penyesuainnya, akan terjadi regressi, yaitu mundur kembali pada tingkat
sebelumnya yang memberikan kepuasan kepada dirinya.
Di
samping regressi, ada pula mekanisme lain yang disebut sublimasi, yaitu
menemukanobyek libido yang dapat menggantikan obyek asal, yang dapat memberikan
kepuasan (Murphy, 1949:319).
d. Kecemasan
(anxiety) dan Defence Mechanism
Kecemasan
ini sebenarnya sama saja dengan rasa takut (emotion
of fear), tapi Freud sendiri lebih senang menggunakan istilah anxiety daripada fear, karena fear
biasanya dihubungkan dengan obyek yang ada di luar dirinya. Freud mengenal
adanya internal danger dan external danger
(S. Hall: 1959:62), dan membedakan anxiety,
neurotic axiety, dan moral anxiety. Ketiga-tiganya tidak
berbeda kualitati, tapi sama kualitasnya, yaitu adanya rasa tidak senang.
Perbedannya hanyalah pada sumbernya (Bromberg: 1954:62).
Sumber reality anxiety berada di dunia luar.
Sedangkan sumber moral anxiety adalah
kata hati (counsience) dari system superego.
Dapat disimpulkan bahwa sumber takut ialah: dunia luar, the id dan the superego.
Dengan kata lain, sumber ketakutan bisa berupa campuran dari ketiga-tiganya,
ataupun campuran dari dua tipe.
Mengenai
defence mechanism (mekanisme
pertahanan), Freud sendiri untuk selama 30 tahun setelah dicetuskan, tidak
menggunakan lagi. Ia lebih senang menggunakan istilah repressi untuk menggambarkan cara-cara dorongan instiktif
dikontrol. Tapi kemudian istilah ini dipergunakan kembali karena ia merasa
perlu menggunakannya dalam menganalisa pasien-pasien. (Monroe: 1959; 90-91).
Pada
setiap manusia terdapat keinginan, baik yang dapat segera dipenuhi ataupun yang
tidak dapat dipenuhi karena adanya hambatan. Keinginan ini menjadi inti
ketidaksadaran. Keinginan-keinginan yang tidak disadari ini tidak terbatas.
(Paul Schilder: 1951:220). Salah satu tugas ego ialah berhubungan dengan
ancaman dan bahaya yang menimbulkan anxiety. Ego harus berusaha menghadapi
bahaya ini dengan jalan realistic
problem-solving methods, atau berusaha mengurangi kecemasan dengan jalan deny, falsify, or distort reality and that
empede the development of personality. (S. Hall: 1959:85).
Ciri-ciri
defence mechanism adalah: menolak, memalsukan dan mengubah realitas, dan
berlangsung tanpa disadari. (S. Hall: 1959:49).
e. Perkembangan
Kepribadian
Proses
perkembangan merupakan salah satu aspek terpenting dalam teori Freud,
barangkali lebih jauh lagi dapat dikatakan perbedaan yang terpenting dengan
aliran psikoanalisa yang lainnya.
Freud mengemukakan lima tingkat perkembangan
kepribadian:
1) Tingkat
oral, yaitu tingkatan dimana mulut merupakan pusat daerah kegiatan yang
dinamis, menjadi sumber yang memberikan kepuasan dan rasa aman kepadanya.
2) Tingkat
anal, yaitu tingkatan dimana pusat dan sumber kesenangan berada pada alat
pelepasan, atau pembuangan kotoran.
3) Tingkat
phalik, yaitu tingkatan bergabungnya dorongan seks dan agresif untuk merangsang
berfungsinya alat kelamin.
4) Masa
latent, yaitu periode resepsi dorongan-dorongan seks yang akan mengarah pada
tingkat genital.
5) Tingkat
genital, yaitu merupakan tingkatan kulminasi dari perkembangan kepribadian.
2.
Teori
Konseling Berpusat pada Klien
a. Karakteristik
Teori Konseling Berpusat pada Klien
Konseling
yang dilakukan oleh Rogers ini telah berkembang cepat di Amerika Serikat, bahkan
menjalar tidak hanya dalam terapi individual, akan tetapi dalam kelompok,
permainan, administrasi dan perusahaan, berbagai aspek pekerjaan dan tugas
keagamaan (Harper, 1959:93).
Harper
(1959-88-89) mengemukakan enam karakteristik konseling yang berpusat pada klien
yaitu sebagai berikut:
1) Ada
usaha yang gigih dan consistent dari konselor untuk memahami isi pembicaraan
dan perasaan yang diungkapkan klien melalui kata-kata, isyarat tangan dan sinar
muka.
2) Ada
usaha untuk mengkomunikasikan hasil usaha pemahaman tadi pada klien, melalui
kata-kata atau dengan sikap ramah dan menarik.
3) Menyajikan
hasil sintese dari perasaan yang telah diungkapkannya.
4) Mengakui
kemampuan klien untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
5) Apabila
tanya jawab dan pemberian informasi tampaknya relevan dengan usaha klien dalam mengetahui
masalahnya, klien itu pun merasa terpanggil.
6) Di
saat konselor memotong kalimat kalimat klien, untuk meyakinkan kebenaran apa
yang didengarnya dari klien, hendaknya tidak memberikan tafsiran lain, kecuali
mengikhtisarkan perasaan klien.
b. Metode
Konseling Berpusat pada Klien
Gagasan C. R. Rogers tentang
konseling akan efektif digunakan apabila konselor mampu membentuk hubungan
pribadi yang subyektif dengan klien. Hubungan ini tidaklah seperti hubungan ilmuwan
dengan obyek penelitiannya, tidak pula seperti dokter dengan pasiennya, tetapi
sebagai pribadi dengan pribadi.
c. Proses
Konseling
Rogers mengungkapkan beberapa
prinsip proses konseling yang dilukiskan dalam empat tahapan.
1) Menciptakan
Hubungan Konseling
Ada empat kualitas khas yang sangat
membantu penciptaan hubungan konseling, yang harus selalu diusahakan oleh
konselor yaitu sebagai berikut:
Menciptakan raport, sehingga terbentuk
keakraban, kehangatan dan responsiveness, dan secara berangsur berkembang
menjadi hubungan emosional yang mendalam.
Bersikap permissive berkenaan dengan
ekspresi perasaan, sehingga kllien mampu mengekspresikan segala dorongan dan
keluhannya.
Sementara terdapat kebebasan penuh pada
klien untuk menyatakan segala perasaannya, namun ada keterbatasan waktu dalam
konseling.
Hubungan konseling hendaknya bebas dari
tekanan atau paksaan.
2) Releasing
Expression
Dalam usaha mengendurkan perasaan
dan pernyataan klien, konselor dapat menempuh cara-cara sebagai berikut:
Konselor hendaknya lebih memperhatikan
respon yang bersifat emosional, daripada intelektual.
Menanggapi perasaan negative, dengan
jalan menaruh perhatian kepada keluhan klien, sekalipun keluhannya mendangkal.
Menanggapi perasaan yang ambivalen,
dengan jalan memberikan kesempatan berdiskusi dalam mengungkapkan perasaannya
itu.
Sikap terhadap konselor, klien
kadang-kadang menampakkan sikap tertentu terhadap konselor atau terhadap
situasi konseling.
3) Tercapainya
Insight
Mengendurkan perasaan sikap
emotional klien yang disebabkan hubungan konseling, membawa kepada tahapan
tercapainya insight (wawasan).
Insight pada kllien, berkembang
secara berangsur dan terus meningkat dari yang paling kurang kepada pemahaman
yang lebih berarti. Insight itu melibatkan hubungan persepsi baru, yang tadinya
tidak diketahui. Kemudian muncul kemauan untuk menerima seluruh aspek self,
memilih tujuan dan dengan jelas terhayati.
4) Tahap
Penutupan
Apabila klien telah mengembangkan
insight dan pemahaman diri, serta telah memilih tujuan yang sesuai dengan
lingkungan tempat hidupnya, konseling telah sampai pada puncak penutupan. Klien
memperoleh insight yang segar dalam nuraninya yang mengarah pada pencapaian
tujuan.
Dalam keyakinannya ia mengakhiri
konseling, tapi juga khawatir akan kehilangan. Dengan ambivalen seperti itu,
klien dapat melihat dengan jelas pilihannya serta mengembangkan keyakinan akan
diri bahwa ia mampu mengatasi masalah yang dihadapinya tanpa bergantung pada
yang lain.
3.
Teori
Konseling Behavioristik
Terapi tingkah laku (behavior
therapy) merupakan pendekatan yang benar-benar baru, berkembang secara logis,
dari keseluruhan sejarah psikologi eksperimental. Eksperimen Pavlov dengan
Classical Conditioning dan Bekhterev dengan instrumental conditioning-nya
memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap terapi ini.
a. Tujuan
dan Sasaran Terapi Tingkah Laku
Terapi
tingkah laku merupakan usaha untuk memanfaatkan secara sistematis pengetahuan
teoritis ataupun empiris yang dihasilkan dari penggunaan metode eksperimen
dalam psikologi, untuk memahami dan menyembuhkan pola tingakh laku abnormal.
Untuk pencegahan dan penyembuhan abnormalitas itu dimanfaatkan hasil studi
eksperimental, baik deskriptif ataupun remedial. (Yates 1970: 18).
Behavior
therapy dirumuskan sebagai apllikasi metode eksperimen terhadap masalah tingkah
laku abnormal dan maladaptive.
Para
ahli terapi tingkah laku beranggapan bahwa gangguan tingkah laku itu diperoleh
dari hasil belajar yang keliru, karenanya harus diubah melalui proses belajar,
sehingga dapat lebih sesuai.
Dalam
pelaksanaannya, terapi tingkah laku ini berbeda dengan psikoterapi tradisional.
Terapi tingkah laku tidak banyak menggunakan bahasa verbal, tapi langsung
menggarap simpton yang tampak pada klien. Apabila seorang klien mengeluh karena
cemas, ahli terapi tingkah laku tidak akan mencoba menelusuri sejarah hidup
klien. Ahli terapi akan menyusun langkah-langkah re-conditioning untuk
meringankan gejala-gejala cemas itu.
Terapi
tingkah laku bertujuan untuk menghilangkan tingkah laku yang salah dan
membentuk tingkah laku baru.
Adapun
karakteristik terapi tingkah laku yang dilukiskan oleh Eysenck, (Yates,
1970:391) ialah bahwa terapi tingkah laku itu adalah sebagai berikut.
Didasarkan pada teori yang dirumuskan
secara tepat dan konsisten yang mengarah pada kesimpulan yang dapat diuji.
Berasal dari hasil penelaahan
eksperimental yang secara khusus direncanakan untuk menguji teori-teori dan
kesimpulannya.
Memandang symptom sebagai respon
bersyarat yang tidak sesuai (unadaptive conditioned responses).
Memandang symptom sebagai bukti adanya
kekeliruan hasil belajar.
Memandang bahwa symptom-simptom tingkah
laku itu ditentukan berdasarkan individual yang terbentuk secara conditioning
dan autonom, sesuai dengan lingkungan masing-masing.
Menganggap bahwa penyembuhan gangguan
neurotic itu sebagai pembentukan kebiasaan (habit) yang baru.
Menyembuhkan symptom itu langsung dengan
jalan membasmi respon bersyarat (conditioned response) yang keliru, dan
membentuk respon bersyarat yang diharapkan.
Menganggap bahwa hubungan pibadi
tidaklah esensial bagi penyembuhan gangguan neurotic, sekalipun untuk hal-hal
tertentu kadang-kadang diperlukan.
b. Kegunaan
Terapi Tingkah Laku
Terapi
tingkah laku dapat digunakan dalam menyembuhkan berbagai gangguan tingkah laku,
dari yang sederhana hingga yang kompleks, baik individual ataupun kelompok.
Tentu saja pelaksanaannya tidak semudah yang dilukiskan, akan tetapi
keterampilan tersebut dapat diajarkan.
Di
samping itu, terapi tingkah laku dapat dilaksanakan baik oleh guru, orangtua,
ataupun klien sendiri. Mereka dapat dilatih untuk menggunakan teknik-teknik
terapi tertentu.
Dalam
kehidupan keluarga di rumah, orangtua dapat dilatih untuk menggunakan
teknik-teknik tertentu dalam usaha menghilangkan gangguan tingkah laku dan
membentuk tingkah laku baru. Operant reinformant dapat digunakan orangtua untuk
meningkatkan keterampilan anaknya. Seorang ibu dapat dilatih menyembuhkan
anaknya yang psikotik, yang negativism (selalu mengemukakan kekurangan orang
lain) yang tidak dapat bermain dengan kawan sebayanya, takut sekolah, atau
penyimpangan lainnya.
c. Konsep
Penyimpangan Tingkah Laku
Para
ahli psikologi sampai pada dua kesimpulan: yang melihat segi penyimpangan dari
manusia umumnya (rata-rata) atau melihat kualitas penyesuaian diri terhadap
lingkungannya (Chaplin, 1975:348).
Aubrey
Yates (1970:61) mengklarifikasikan penyimpangan tingkah laku itu dalam empat
kategori yaitu sebagai berikut:
Memperlihatkan gejala neuroticism yang
tinggi sekalipun ada tekanan (stress) yang rendah, tapi dihayati oleh subyek
sebagai ancaman.
Memperlihatkan gejala neuroticism yang
rendah, akan tetapi mengalami tekanan (stress) yang tinggi.
Memperlihatkan gejala neuroticism yang
rendah, akan tetapi gagal untuk memperoleh keterampilan yang kompleks.
Memperlihatkan gejala psychoticism yang
tinggi.
Sebagai kesimpulan dapatlah
dikemukakan bahwa terapi tingkah laku akan mencoba mengubah tingkah laku yang
termasuk abnormal, baik yang tegolong neurotic, psikotik, ataupun tingkah laku
manusia yang tergolong normal. Penyimpangan tingkah laku ini dapat dijabarkan
dalam berbagai bentuk seperti: ngompol, gagap, phobia, obsesi, dan kompulasi,
histeri, tiks, delingkuensi, psikopat, kriminalitas, penyimpangan seksual,
psikosa alcoholism, dan mental defiency pada manusia yang tergolong normal.
2.4.
Teori
Sosiologi Pendidikan
Abu Ahmadi berpendapat bahwa
sosiologi pendidikan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas proses
interaksi social anak-anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta
dengan kondisi sosio-kultural yang terdapat dalam masyarakat dan negaranya. Pendidikan
memiliki kontribusi yang sangat banyak dan luas dalam meningkatkan kemampuan
intelektual manusia, yang pada akhirnya berakibat pula terhadap kualitas
kehidupan masyarakat. Kaitan antara kedua aspek tersebut tersebut menuntut para
ahli sosiologi dalam membahas masyarakat tidak mengenyampingkan hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan.
Durkheim mengungkapkan bahwa tidak
ditemukan secara jelas perbedaan dari garapan kelompok ahli pendidikan dan ahli
ilmu social. Teori dan praktek pendidikan mempunyai kondisi yang sama seperti
terjadi pada ilmu sosiologi. Pendidikan merupakan sesuatu ciri social yang
mendasar, baik dalam keaslian maupun dalam fungsinya, dan teori pendidikan
memiliki kaitan yang jelas dengan sosiologi disbanding dengan ilmu-ilmu
lainnya. Durkheim menjelaskan gejala social dalam pendidikan yang harus
ditangani ahli-ahli sosiologi mencakup hal-hal sebagai berikut:
Mengidentifikasi kenyataan social yang
terdapat pada pendidikan dan fungsi sosiologis dalam menanggulanginya;
Mengidentifikasi kaitan antara
pendidikan dan fungsi social dengan perubahan kebudayaan;
Cross-cultural dan studi komparatif
dalam berbagai tipe system pendidikan; dan
Pelacakan terhadap system social yang
terdapat pada penyelenggaraan pendidikan di kelas dan sekolah.
Educational sociology menjadi suatu fenomena
historic, sejak tahun 1963 secara resmi mengalami perubahan istilah menjadi “sociology of education”, yang diawali
dengan adanya perubahan nama jurnal “jurnal
of educational sociology” menjadi “sociology
of education”, dan perubahan nama salah satu seksi asosiasi ahli-ahli
sosiologi di Amerika dari seksi educational sociology menjadi seksi sociology of education.
Sosiologi pendidikan pada
dasarnya memiliki dua pengertian:
1) Educational
sociology yang merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan
sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan.
2) Sociology
of education merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang
berlangsung dalam lembaga pendidikan.
2.4.1. Education Sociology
Pemahaman sosio-kultural yang tumbuh di sekolah
merupakan salah satu kebutuhan yang dirasakan oleh pihak-pihak yang mempunyai
kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Pembahasan utama studi sosiologi pada pendidikan ini
berkaitan dengan kedudukan sosologi yang harus menjadi dasar untuk
mengorganisir pendidikan dalam usaha
memcahkan masalah social dan perkembangan social yang dicita-citakan.
Penggunaan sosiologi untuk membantu pendidikan dalam memecahkan masalah social
harus merujuk pada pandangan Educational Sociology.
Brookover mengungkapkan bahwa berdasarkan kajiannya
terhadap beberapa literature yang membahas Educational Sociology terdapat cakupan
kajian sebagai berikut:
1. Analisis
Pendidikan Sebagai Perkembangan
Masyarakat
Beberapa
ahli sosiologi terdahulu berpendapat bahwa educational sociology sebagai wilayah yang mendasari perkembangan
masyarakat dan cara-cara memecahkan permasalahan yang terdapat dalam
masyarakat. Ward menekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat. Hal tersebut menjadi dasar pandangan Good,
Ellwood, dan Kinneman. Mereka menyatakan bahwa sekolah harus berhasil dalam
mengajar siswanya, sehingga melalui pengetahuan yang diperolehnya dapat
meningkatkan budaya ke arah yang lebih tinggi dan memungkinkan.
2. Educational
Sociology Mendasari Penetapan Tujuan Pendidikan
Konsep
kedua yang terkandung dalam educational sociology adalah diakuinya sumbangan
yang diberikan oleh kenyataan social terhadap penetapan tujuan atau objektif
pendidikan. Penetapan prinsip-prinsip sosiologi dalam memecahkan masalah pada
masyarakat mengarahkan kepada cara-cara penanggulangan masalah tersebut.
Finney,
Suelden, Peters, Slement, dan Klinneman, mereka mempunyai pandangan bahwa
educational sociology berada pada keseluruhan tahap analisis tujuan pendidikan
yang harus ditetapkan dalam menyelenggarakan pendidikan untuk suatu kelompok
masyarakat.
Kedekatan
arah pendidikan dan masyarakat menetapkan kepada aplikatifnya peroleh
pendidikan yang berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang betul-betul
menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi berbagai macam
persoalan yang timbul dalam kehidupannya.
3. Proses
Pendidikan Sebagai Proses Sosialisasi
Beberapa
ahli pendidikan sosiologi memandang bahwa keseluruhan proses sosialisasi anak
sebagai wilayah kajian educational sociology. Ahli yang memegang peranan
penting dalam kelompok ini diantaranya Ellwood, Smith, dan akhir-akhir ini
diungkapkan pula oleh Brown menyatakan pandangannya dengan mengutip Dodson,
bahwa educational sociology mempunyai perhatian pada pengaruh keseluruhan
lingkungan budaya yang berkesan dalam pengalaman seseorang sehingga dapat
menjadikan wujud diri seseorang. Educational sociology mempunyai perhatian
khusus pada penemuan tentang bagaimana menyelenggarakan proses pendidikan untuk
memperoleh pengembangan kepribadian secara lebih baik.
2.4.2.
Sociology
of Education
Angell pda tahun 1928 (setelah
kepemimpinan Durkheim pada asosiasi ahli-ahli sosiologi di Amerika),
mengungkapkan pendapatnya bahwa ahli educational sociology hanya merupakan
cabang dari ilmu murni sosiologi. Sedangkan aplikasi pengetahuan sosiologi
untuk mempelajari pendidikan disebutnya dengan istilah “sociology of
education”. Dalam hal ini sekolah diperlukan sebagai sumber data yang dapat
dianalisis secara sosiologis.
Secara sistemik, Brookover
mengemukakan wilayah kajian sociology of education dalam empat pengelompokkan
yaitu:
1. Hubungan
system pendidikan dengan aspek-aspek lagi pada masyarakat
Bagian ini memilliki rincian bahan
untuk dikaji sebagai berikut:
Hubungan system pendidikan dengan proses
perubahan social dan budaya atau pemeliharaan statusquo;
Fungsi system pendidikan formal dalam
proses perbaikan social dalam lingkup hubungan kemanusiaan di antara ras,
budaya, dan dengan kelompok lain;
Fungsi system pendidikan dalam proses
control social;
Hubungan pendidikan dengan kelas social
atau system status;
Hubungan system pendidikan dengan
pendapat masyarakat; dan
Signifikasi pendidikan sebagai symbol
cara dalam budaya demokratik.
2. Hubungan
manusia yang terdapat di dalam sekolah
Perlu ditegaskan bahwa pola budaya
yang terdapat di dalam sekolah memiliki perbedaan yang berarti dibanding dengan
aspek-aspek lain dalam menggambarkan dan menganalisis budaya masyarakat secara
alami. Hal ini memungkinkan untuk menyarankan beberapa tipe analisis sosiologis
yang perlu tercakup dalam wilayah kajian ini, antara lain:
Sifat budaya sekolah, khususnya yang
menyangkut budaya yang berbeda dengan yang terjadi di luar sekolah;
Sifat pola stratifikasi di dalam
sekolah;
Hubungan di antara guru dan siswa;
Analisis clique dan keserasian struktur
kekuatan di dalam kelompok-kelompok yang ada di sekolah.
3. Hubungan
di antara sekolah dan masyarakat
Kajian ketiga diangkat dari
perhatian sejumlah ahli sosiologi dalam menganalisis pola interaksi di antara
sekolah dengan kelompok social lainnya dalam masyarakat. Dalam kajian ini
terdapat sub kajian sebagai berikut:
Gambaran pengaruh masyarakat terhadap
organisasi sekolah;
Analisis struktur kekuatan masyarakat
sebagai sesuatu yang mempengaruhi sekolah; dan
Analisis hubungan di antara system
sekolah dengan system social lainnya di masyarakat.
Keseluruhan ini
merupakan aspek yang signifikan pada peningkatan penerimaan konsep sekolah
masyarakat yang diharapkan untuk memperoleh system pendidikan yang benar-benara
terpadu dengan kehidupan masyarakat yang memerlukan. Analisis sosiologis dapat
mendasari secara baik tipe pengetahuan yang mendasari kemampuan.
4. Pengaruh
sekolah terhadap tingkah laku dan kepribadian pihak yang terlibat di dalamnya
Bagian akhir dari kajian sociology
of education ini mempunyai perhatian untuk mempertimbangkan psikologi social
pada system pendidikan. Kemudian pengembangan kepribadian guru merupakan aspek
yang signifikan pada keseluruhan sociology of education. Beberapa analisis yang
dapat diperhatikan dalam kajian ini adalah mencakup:
Peran social guru;
Sifat kepribadian guru;
Pengaruh sekolah dalam pertumbuhan,
penyesuaian, dan/atau kesulitan dalam penyesuaian siswa; dan
Sifat tingkah laku hasil dari
keanekaragaman tingkatan otoritas atau demokratisasi situasi sekolah.
2.4.3.
Teori-teori
Sosiologi Pendidikan
Perspektif teori digunakan ilmuwan
mendasari penjelasan logika tentang sesuatu hal atau objek kajian, disamping
menjadi guide dalam alur kerja secara sistematik dalam membahas gejala yang terdapat
dalam objek kajian tersebut.
Menurut Parelius (1978), terdapat
dua paradigma konseptual yang masing-masing memiliki ciri-ciri yang kontras dan
telah banyak digunakan ahli sociology of education.
1. Teori
Fungsionalisme
Istilah
fungsionalisme diambil dari pendekatan teori yang digunakan dalam sosiologi
yaitu fungsionalisme, juga merujuk
kepada teori structural-fungsionalisme, konsesus, atau teori
equilibrium. Ahli sosiologi menggunakan pendekatan teori ini diawali dengan
asumsi bahwa masyarakat dan lembaga-lembaga social yang ada di dalamnya seperti
pendidikan merupakan bagian masyarakat yang saling berketegantungan satu sama
lain, masing-masing memberikan kontribusinya kepada yang lainnya dalam
mengoprasikan kegiatannya sesuai dengan fungsi yang dimiliki dalam masyarakat.
Teori
fungsional memfokuskan studinya pada pertanyaan pokok tentang struktur dan
fungsi organisasi. Ahli sosiologi mengkaji dan menjelaskan kejadian-kejadian
tersebut dari perspektif teori dan memandang bahwa hal tersebut merupakan
fungsi pendidikan pada masyarakat.
Ann
Parker Parelius dan Robert J Parelius (1978) mengungkapkan bahwa terdapat kunci
pokok secara formal dari teori ini, yaitu berkaitan dengan:
Struktur dan fungsi
Integrasi
Stabilitas
Konsesus
2. Teori
Konflik
Teori
konflik memusatkan perhatian pada masyarakat dan berpengaruh pada perubahan
social. Pada teori konflik, kekuatan perjuangan merupakan dinamika pokok dalam
kehidupan social. Pada satu aspek, masyarakat disatukan oleh kelompok social
yang menuntut kerjasama dari pihak yang memiliki kekuatan; pada pihak lain,
masyarakat tak henti-hentinya berubah dan dalam situasi yang membahayakan
kemudian diintegrasikan. Teori konflik memandang system social terbagi ke dalam
kelompok dominan dan kelompok bawahan.
Ballantine
memandang pendekatan dari teori ini didasarkan atas asumsi bahwa ketegangan
dalam masyarakat diciptakan oleh adanya kompetisi kepentingan individu dan
kelompok.
Para
teoritis konflik memandang konflik dan pertentangan, kepentingan dan perhatian dari berbagai individu dan
kelompok yang saling bertentangan, sebagai penentu utama dalam pengorganisasian
kehidupan social. Weber mengakui bahwa konflik dalam memperebutkan sumber daya
ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan social, tetapi dalam kesempatan aspek kehidupan
lain pun konflik itu sering terjadi. Ia mengungkapkan dua tipe dari konflik,
yaitu:
1) Konflik
di arena politik yang sangat fundamental, karena hal ini dilandasi oleh
keinginan memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu terhadap
yang lainnya, dan ini terjadi pada lingkungan penyelenggaraan pendidikan;
2) Konflik
dalam hal gagasan dan cita-cita.
3. Teori
Interaksi
Pendekatan
teori interaksi telah berkembang sejak PD II, dan menekankan pada perkawinan
pendekatan social psikologi. Para ahli sosiologi pendidikan menggunakan pendekatan
ini dalam memperhatikan interaksi individu dalam kelompok: kelompok berteman,
guru siswa, dan kepala sekolah, yang memiliki dampak terhadap sikap dan
kemampuan siswa, pada nilai siswa, pada konsep diri siswa dan pengaruhnya
terhadap aspirasi; dan pada status social ekonomi yang berkaitan dengan
kemampuan siswa.
Teori
ini memandang bahwa pendekatan makro mempelajari masyarakat berdasarkan
karakteristik secara keseluruhannya, padahal di dalamnya terdapat
keanekaragaman individual, baik dari segi dorongan maupun harapan. Teori
interaksi menekankan perlunya dilakukan analisis di tingkat mikro, karena
segala macam keputusan dalam menetapkan pandangan dipengaruhi oleh berbagai
macam aspek atau unit-unit dalam interaksi social. Asumsi dasar teori ini
dilandasi oleh pemikiran bahwa kehidupan social hanya bermakna pada tingkat
individu atau interaksi social.
Interaksi
simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu pendekatan sosiologis oleh
Herbert Blumer dan George Herbert Mead, yang berpandangan bahwa manusia sebagai
individu yang berpikir, berperasaan, memberikan pengertian kepada setiap
keadaan, dan melahirkan reaksi dan interpretasi terhadap setiap rangsangan yang
dihadapinya.
2.5.
Teori
Antropologi Pendidikan
2.5.1. Makna
Antropologi
Antropologi
adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup manusia. Antropologi
mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik
manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda dan antropologi
budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun
kebudayaan yang sudah punah. Antropologi budaya mencakup antropologi bahasa
yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji
kebudayaan-kebudayaan yang sudah punah, ekologi yang mengkaji kebudayaan yang
masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat diamati secara langsung.
Jadi, antropologi adalah kajian yang mendalam tentang kebudayaan-kebudayaan
tertentu.
Awalnya antropologi dikenal sebagai konsep
kebudayaan yang merupakan satu totalitas (Ruth). Sementara itu, Boas
mempertimbangkan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang berbeda, yaitu
kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan dalam pola-pola tertentu. Ada
banyak pertentangan lain tentang antropologi, namun semenjak itu inovasi utama
yang terjadi adalah bagian kajian tentang kebudayaan dan kepribadian yaitu
tentang proses bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan diubah oleh
individu. Jadi antropologi mengkaji asspek-aspek tertentu dan kebudayaan. Jika
sarjana social lain membicarakan rentangan tertentu, maka sarjana antropologi
mengkaji keseluruhan sejarah umat manusia sebagai bidang kajiannya. Dengan
mempelajari antropologi, kita bisa menyadari keragaman budaya umat manusia dan
pengaruh dalam pendidikan.
2.5.2.
Makna
Kebudayaan
Kebudayaan berarti semua cara hidup
yang telah diperkembangkan oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Dengan kebudayaan
tertentu dimaksudkan agar totalitas cara hidup yang dihayati oleh suatu
masyarakat tertentu yang terdiri dari cara berpikir, cara bertindak, dan cara
merasa yang dimanifestasikan seperti agama, hokum, bahasa, seni, dan
kebiasaan-kebiasaan. Kebudayaan yang paling sederhana mencakup cara tidur, cara
makan atau pun cara berpakaian. Untuk membedakan antara kebudayaan dan
masyarakat adalah bahwa masyarakat adalah suatu penduduk lokal yang bekerja
sama dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan
kebudayaan adalah cara hidup dari masyarakat tersebut, atau hal-hal yang mereka
pikirkan, rasakan, dan kerjakan.
Makna kebudayaan secara sederhana
berarti semua cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota masyarakat. Dari
perspektif lain kita bisa memandang suatu kebudayaan sebagai perilaku yang
dipelajari dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari suatu
masyarakat tertentu termasuk antek-anteknya, dipelajari dalam arti bahwa
perilaku tersebut disampaikan secara social, bukan diwariskan secara genetis
dan dialami bersama dalam arti dipraktekkan baik oleh seluruh anggota
masyarakat atau beberapa kelompok dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya, gejala kebudayaan
dapat diklarifikasikan sebagai kegiatan atau aktivitas, gagasan atau ide dan
artefak yang diperoleh, dipelajari dan dialami. Kebudayaan dapat
diklarifikasikan atas teknologi sebagai alat-alat yang digunakan, organisasi
social sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan ideology yang menjadi
pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R.Liaton, kebudayaan dapat
diklarifikasikan atas:
1. Universais:
penilaian-penilaian, perbuatan, perasaan dan artefak yang dikenal bagi semua
orang dewasa dalam suatu masyarakat.
2. Speciallistes:
gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok social tertentu.
3. Alternatives:
gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti pendeta, ulama,
pelukis, dan filosof.
Kebudayaan merupakan gantungan dari keseluruhan
kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan
mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang
cocok dengan sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari suatu masyarakat, sehingga
pada akhirnya membentuk system yang interpenden, dimana koherensinya lebih
dapat dirasakan daripada dipikirkan pembentukannya. Kebudayaan dapat bersifat
sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan
menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancer dan
berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.
Dalam kebudayaan terdapat suatu subsistem yang
paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap
banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka focus
tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan focus
tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan
rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan,
sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan itu
berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya tingkat integrasi yang
tinggi dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut
akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan
itu sendiri.
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki
sifat seperti:
1. Bersifat
organic dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan juga karena
kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu.
2. Bersifat
terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) telihat dalam tindakan dan benda,
serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti diintegrasikan oleh tiap
anggotanya.
3. Bersifat
eksplisit dan implicit berupa tindakan yang tergambar langsung oleh orang yang
melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah diketahui dan hal-hal tersebut
tidak dapat diterangkan.
4. Bersifat
ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta
tindakan-tindakan yang actual.
5. Bersifat
stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang relative stabil dan
stabilitas terhadap elemen budaya.
2.5.3.
Antropologi dan Pendidikan
Pendidikan dapat
diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan,
keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan
menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi.
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian
kebudayaan melalui ekulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya.
Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat,
pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai
suatu keseluruhan.
G.D.
Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi
terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisis aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya. Teori khusus dan percobaan yang
terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada
dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik,
tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga
tentang asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Antropologi
pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan
kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya,
sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya
yang menjadi skema nilai-nilai dalm membimbing masyarakat. Namun ada kalanya
sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat
berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas
para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan
menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai suatu
keseluruhan.
Antropologi
pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan
abad ke-20. Sejak saat itu, antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar
masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat mengubah perubahan social.
Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan
pendidikan yang berorientasi pada perubahan social budaya mendapat perhatian.
Konferensi pendidikan antropologi yang
berorientasi pada perubahan social di negara-negara baru khususnya melalui
pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil kajian pendidikan di
persekolahan melalui antropologi pendidikan diterbitkan pada tahun 1954 di
bawah redaksi G.D. Spindler (1963).
Konferensi
memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian antropologi
pendidikan di persekolahan, mengingat
jalur perubahan social budaya salah satunya dapat dilakukan dengan
melalui pendidikan formal.
Orientasi
pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang
menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan
lembaga pendidikan formal. Van Kemenade (1969) dalam Imran Manan telah
mengingatkan: “persoalan pendidikan jangan hanya dianggap melulu persoalan
pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu,
perlu analisa empiris tentang tugas pendidikan dalam konteks kehidupan
masyarakat”.
Pendekatan
dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori. Pertasma,
pendekatan teori antropologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya
yang ditujukan bagi perubahan social budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan
yang bersumber dari filsafat.
Teori
antropologi yang pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya
dikategorikan menjadi empat orientasi:
1. Orientasi
teoritik yang focus perhatiannya pada keseimbangan secara statis. Teori ini
merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
2. Orientasi
teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang
orientasinya pada adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi andalannya.
3. Orientasi
teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori
datang dari rumpun teori structural.
4. Orientasi
teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala
interpendensi antar negara, dimana teori multicultural termasuk di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.1.1. Psikologi
pendidikan adalah studi, latihan atau bimbingan yang sistematiis terhadap
proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan ilmu kejiwaan.
3.1.2. Psikologi
pendidikan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah
perkembangan kognisi, moral, dan social; motivasi belajar; peran teman sebaya,
poses belajar dan situasi belajar.
3.1.3. Administrasi
pendidikan merupakan penerapan pengertian administrasi dalam arti luas pada
bidang pendidikan. Atau dengan kata lain, administrasi pendidikan merupakan
upaya menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan.
3.1.4. Fungsi
dalam administrasi pendidikan adalah tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh
individu ataupun kelompok dengan urutan sebagai berikut: Membuat keputusan
(desicion making), Merencanakan (planning), Mengorganisasikan (organizing),
Mengkomunikasikan (communication), Mengkoordinasikan (coordination), Mengawasi
(controlling), Menilai (evaluation).
3.1.5. Rochman
Natawidjaja mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada
individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat
memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak
secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga,
masyarakat, dan kehidupan pada umumnya.
3.1.6. Tujuan
bimbingan adalah perkembangan optimal, yaitu perkembangan yang sesuai dengan potensi dan system nilai
tentang kehidupan yang baik dan benar.
3.1.7. Robinson
(M. Surya dan Rochman N., 1986:25) mengartikan konseling sebagai “semua bentuk
hubungan antara dua orang, dimana yang seorang, yaitu klien dibantu untuk lebih
mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya”.
3.1.8. Ada
tiga teori konseling, yaitu: teori konseling psikoanalisis, teori konseling
berpusat pada klien, dan teori konseling behavioristik.
3.1.9. Abu
Ahmadi berpendapat bahwa sosiologi pendidikan adalah suatu cabang ilmu
pengetahuan yang membahas proses interaksi social anak-anak mulai dari
keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan kondisi sosio-kultural yang
terdapat dalam masyarakat dan negaranya.
3.1.10. Sosiologi
pendidikan pada dasarnya memiliki dua pengertian: (1).Educational sociology
yang merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi
bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. (2). Sociology of education
merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung
dalam lembaga pendidikan.
3.1.11. Ada
tiga teori sosiologi pendidikan, yaitu: teori fungsionalisme, teori konflik,
dan teori interaksi.
3.1.12. G.D.
Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi
terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisis aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya.
Daftar Pustaka
Bridge, R.G., Judd, C.M., Moock, P.R. (1979). The Diterminants of Educational outcomes:
The Impact of Families, Peers, Teacher and Schools. Cambridge: Balinger
Publishing Company.
Chaplin,
J.P., Dictionary of Psychology. Deli,
Publishing Co., inc., 1975.
Durkheim, Emille. 1964. The Rules of Sociological Method. Eighth Edition, translated by
Sarah A. Solovavy and John H. Mueller. London Collier Macmillan Publisher.
Duska, R., Whelan, M. (1975). Moral Development. New
York: Paulist Press. Dalam Atmaka, D. (1984). Perkembangan Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Elsbree, Williard S., H.J. Mc Nally and R. Winn.
(1959). Elementary School Administration.
New York: American Book Company.
Freud, Sigmund. A
General Introduction to Psychoanalysis. Permabooks, New York, 1958.
Musaazi, J.C.S. (1988). The Theory and Practice of
Educational Administration. London: Macmillan Publishers Ltd.
Ornstein, A.C., Levine, D.U. (1990). An Introduction to the Foundation of
Education. Third edition. Palo Alto: Houghton Millin Company.
Parelius, Ann Parker. Parelius, Robert J. 1978. The Sociology of Education. New jersey:
Englewood Cliffs.
Tahalele, J.F. dan Soekarto Indrafachrudi. (1975). Kepemimpinan Pendidikan. Malang: Sub
Proyek Penulisan Buku Pelajaran P3T, IKIP Malang.
Wayne K., Hoy and Miskel, Cecil G. (1978). Educational Administration, Teory, Research
and Practice. New York: Random House.
Yates,
A.J. Behavior Therapy. John Wiley
& Sonc Inc., New York, 1970.
Nama Dosen : Dirgantara Wicaksono
Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKn di SD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar