Pendidikan
Disiplin Ilmu
(Pendidikan
Agama, Akhlak, Nilai, Bahasa, dan Kewarganegaraan)
Disusun
oleh:
Nia Kurniawati
NIM:
2013820046
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dunia
ini diciptakan bagi seluruh makhluk. Namun, baik buruknya dunia ini tergantung
atas manusia yang ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. Kadang kala
manusia tidak mampu bersyukur atas dirinya yang telah ditetapkan sebagai
khalifah. Untuk mampu mengelola dunia dengan baik, maka manusia perlu belajar
agar memperoleh ilmu pengetahuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah.
Ilmu pengetahuan saja tidak cukup bagi manusia untuk mengelola bumi ini, maka
dari itu manusia juga perlu memiliki pendidikan. Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan
selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Ini berarti, melalui
pendidikan seharusnya terjadi proses belajar untuk memperoleh pengetahuan yang
diperlukan dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri
sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk hidup bermasyarakat.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan tidak hanya untuk memanusiakan
manusia tetapi juga agar manusia menyadari posisiya sebagai khalifatun fil ardhi, yang pada
gilirannya akan semakin meningkatkan dirinya untuk menjadi manusia yang
bertaqwa, beriman, berilmu dan beramal sholeh.
Pendidikan
memiliki peranan penting bagi warga negara. Pendidikan bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh karena itu, setiap warga negara berhak
untuk mendapatkan pendidikan.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis akan menyusun makalah mengenai ilmu “Pendidikan Sebagai Disiplin Ilmu” yang
difokuskan pada pembahasan pendidikan agama, akhlak, nilai, bahasa, dan
pendidikan kewarganegaraan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pendidikan Agama
Menurut Wahyuni Nafis (2003)
pengajaran pendidikan agama yang paling utama adalah membersihkan,
mengingatkan, dan menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia,
sehingga fitrah itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola piker dan perbuatan
atau tindakan seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan
agama adalah menggugah “fitrah insaniyah” dan membantu memunculkan kembali
potensi kebaikan yang telah ada dalam diri tiap orang.
Pendidikan agama adalah pendidikan
yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.
Depdiknas (2001:8) menyatakan bahwa
pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, mengahayati hingga mengimani, bertaqwa,
dan berakhlak mulia dan menjalankan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab
suci Al-Qur’an dan Hadist melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan
serta penggunaan pengalaman.
Secara umum, tujuan pendidikan agama
Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT serta berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya “sesungguhnya
aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Menurut Kurikulum 2004, pendidikan
agama mempunyai fungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga
kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. Sedangkan, tujuan pendidikan
agama menurut Kurikulum 2004 yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta didik
dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan
penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
2.1.1. Problematika Pendidikan Agama
2.1.1.1.Pendidikan Agama sebagai Sebatas
Formalitas
Sebagian
besar umat beragama dalam memandang agamanya hanya sebatas masalah ritual dan
segi-segi formalitas dalam agama. Seolah apa yang disebut agama adalah
seperangkat gerakan dan bacaan-bacaan serta do’a-do’a dalam ritual sembahyang
dan ibadat. Dalam agama islam, ritual seperti itu terumuskan dalam apa yang
disebut sebgai Rukun Islam.
Tindakan
ritual dan segi-segi formalitas agama itu baru mempunyai makna hakiki jika
mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan kepada Tuhan sehingga memiliki
kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani hidup di dunia dan dalam
mencapai pengalaman transcendental. Wujud kedekatan kepada Tuhan itulah yang
akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan perilaku yang terpuji (akhlakul
karimah), sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan kepada sesama manusia.
Dengan
demikian agama merupakan keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup. Tingkah
laku itu membentuk keutuhan manusia berakhlak mulia atas dasar percaya atau
beriman kepada Tuhan dan tanggungjawab pribadi di hari kemudian. Pandangan atas
agama semacam inilah yang seharusnya menjadi arah pengajaran agama di sekolah.
Karena
itu, tugas dan tanggungjawab atas pendidikan agama di sekolah tidak hanya pada
guru agama saja, tetapi merupakan tanggungjawab sekolah secara keseluruhan.
Lingkungan sekolah harus mendukung dan menjadi laboratorium bagi pengajaran
pendidikan agama. Dengan demikian, lingkungan dan proses kehidupan semacam ini
bagi para siswa benar-benar bisa member pendidikan dan pelatihan tentang
“bagaimana caranya beragama”.
Pengajaran
pendidikan agama yang paling utama adalah membersihkan, mengingatkan, dan
menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia, sehingga fitrah
itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola piker dan perbuatan/tindakan
seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan agama adalah
menggugah “fitrah insaniyah” dan membantu memunculkan kembali potensi kebaikan
yang telah ada dalam diri tiap orang.
Dengan
pemikiran di atas tampak bahwa masalah pendidikan agama terletak pada pertama,
bagaimana orang mendefinisikan agamanya, sekaligus definisi itu akan menjadi
arah dan spirit pengajaran pendidikan agama. Kedua, paradigm yang digunakan
dalam pengajaran pendidikan agama. Ketiga, tujuan pengajaran pendidikan agama.
2.1.1.2.Lemahnya Kualitas Pendidik
Anak
didik dibentuk oleh empat factor. Pertama, ayah yang berperan utama dalam
membentuk kepribadian anak. Bahkan dalam Al-Qur’an hampir semua ayat
tentang pendidikan anak, yang berperan
adalah ayah. Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu. Ketiga, apa
yang dibacanya (ilmu); dan keempat, lingkungan. Jika keempat factor ini baik,
anak akan baik, begitu pun sebaliknya.
Empat
factor ini belum tentu semuanya
terwujud. Ketika Allah SWT menetapkan bahawa Nabi Muhammad stebagai utusan-Nya,
maka yang membentuk kepribadiannya adalah Allah SWT. Sebab, bila diserahkan
kepada masyarakat atau keluarga, maka ia tidak akan sempurna, bisa jadi keliru.
Dalam hal ini, Tuhan yang melakukan, sedangkan masyarakat atau keluarga diberi
peranan yang sangat sedikit. Itu sebabnya bila telah selesai peranan ayah, maka
dia diambil-Nya meninggal dunia. Ini karena Tuhan tidak mau beliau dididik
bapaknya. Begitu lahir dibawa ke desa dan ketika usia remaja baru ketemu
ibunya. Namun, ibunya pun kemudian diambil-Nya. Selain itu, beliau lahir di
lingkungan dengan gaya hidup yang terbelakang, bahkan hampir tidak tersentuh
oleh peradaban. Padahal, waktu itu Mesir, Persia, dan India semuanya sudah
maju. Dalam hal ini, Allah SWT ingin mendidik langsung beliau untuk menjadi
seorang pendidik, yakni figure yang diteladani bagaimana seharusnya mendidik.
Itu sebabnya beliau bersabda, “Addabani
Rabbii fa Ahsana Ta’dibi” (yang mendidik saya itu adalah Tuhan).
Kita
ambil beberapa inti dari kisah Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “bila ingin anak yang membawa namamu itu
tumbuh berkembang dengan baik, maka pilih-pilihlah tempat kamu meletakkan
spermamu, karena gen itu menurun”. Jadi, sebelum anak kita lahir kita harus
memilih hal yang baik, karena gen ini mempengaruhi keturunan.
2.2. Pendidikan Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa
arab, jamak dari “khuluqun” yang
menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.
(Mustofa, 1997: 19). Menurut pengertian sehari-hari umumnya akhlak itu
disamakan dengan budi pekerti, kesusilaa, dan sopan santun. Khalq merupakan
gambaran sifat batin manusia, akhlak merupakan gambaran bentuk lahir manusia,
seperti raut wajah dan body. Dalam bahasa Yunani pengertian khalq ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati
untuk melakukan perbuatan. Ethicos
kemudian berubah menjadi etika.
Pendidikan
akhlak dapat diartikan sebagai perbuatan (hal,cara) mendidik atau (ilmu, ilmu
didik, ilmu mendidik) pengetahuan tentang pendidikan, dan pemeliharaan
(latihan-latihan) badan, batin, dan jasmani.
Akhlak
itu terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah atau dalam
bahasa Indonesia itu adalah akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlak mahmudah
(baik/terpuji) berarti akhlak yang dapat membuat oranglain senang apabila kita
melakukannya dan dicintai Allah SWT. Sedangkan akhlak madzmumah (buruk/tercela)
adalah akhlak yang membuat oranglain marah, sedih dan kecewa apabila kita
melakukannya, akhlak buruk sangat dibenci Allah SWT.
Dalam
masyarakat kita, akhlak baik dan buruk memiliki ukuran tersendirinya. Artinya
akhlak baik dan buruk akan terlihat dengan ukuran yang berlaku di masyarakat.
Dalam melihat ukuran akhlak baik dan buruk dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, yaitu:
1. Pengaruh
adat kebiasaan
Adat istiadat mengangap
baik bila mengikutinya dan menanam perasaan kepada mereka bahwa adat istiadat
itu membawa kesucian. Apabila seorang dari mereka menyalahi adat istiadat,
sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsa.
2. Kebahagiaan
(Hedonism)
Kebanyakan filosofi
berpendapat bahwa tujuan akhir dari hidup dan kehidupan manusia ialah untuk
mencapai kebahagiaan. Perbuatan manusia dapat dikatakan baik bila ia
mendatangkan kebahagiaan, kenikmatan dan kelezatan.
3. Intuisi
(Intuition)
Intuisi merupakan
kekuatan bathin yang dapat mengenal sesuatu yang baik dan buruk dengan sekilas
pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Paham ini berpendapat bahwa manusia
itu mempunyai kekuatan batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan
baik dan buruk. Kekuatan ini dapat berbeda antara seorang dengan yang lainnya
karena perbedaan masa. Tetapi tidak berakar dalam tiap tubuh individu.
4. Evolusi
(Evolution)
Mereka yang mengikuti
paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alama ini mengalami
evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya.
2.2.1. Akhlak Inti
Ajaran Agama Islam
Akhlak merupakan fungsionalisasi
agama. Artinya, keberagaman menjadi tidak
berarti bila tidak dibuktikan dengan akhlak. Akhlak merupakan perilaku
sehari-hari yang dicerminkan dalam ucapan, sikap dan perbuatan. Dalam kerangka
yang lebih luas lagi, berakhlak berarti hidup untuk menjadi rahmat sekalian
alam. Artinya, hidup berguna bukan hanya untuk umat Islam, tetapi untuk
keseluruhan umat manusia dan alam sekitarnya.
Dalam pendidikan Islam , pendidikan
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia sebagai bekal hidupdi
akhirat. Pendidikan Islam sangat identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam
aspek praktis dan metodologis ajaran Islam mengacu pada Al-Qur’an sebagai
sumber hukum. Kedudukan Al-Qur’an dalam pendidikan merupakan sumber pokok pendidikan
islam. Sehingga pendidikan tidak hanya menghasilkan kajian ilmu teoritik sematma, tetapi lebih mengarah kepada upaya
menciptakan masyarakat yang memiliki akhlak yang mulia. (Munzier, 2000: 54).
Pendidikan Islam secara filosofis
berorientasi kepada nilai-nilai yang
bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “khalifah” di muka bumi,
yaitu:
1. Menanamkan
sikap hubungan yang seimbang, selaras dengan Tuhannya.
2. Membentuk
sikap hubungan yang harmonis, selaras, seimbang dengan masyarakat.
3. Mengembangkan
kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam
ciptaan-Nya bagi kepentingan kesejahteraan manusia dengan disikapi pola
hubungan yang harmonis. (Tafsir, 1991: 18)
2.2.2. Pendidikan
Akhlak Dasar Pembinaan Moral Bangsa
Realitas pendidikan
selama ini dianggap sebagai pabrik intelektual yang mampu melahirkan
actor-aktor pembangunan yang cerdas dan berkepribadian, juga memiliki kemampuan
untuk dapat mewariskan budaya (transmition of culture) dan mampu memprediksi
masa depan.
Dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai luhur
Islam, dalam praktek pendidikan diperlukan nilai-nilai akhlak dan melibatkan
pada operasional nilai-nilai tersebut. Pendidikan Islam yang mengutamakan
pendidikan akhlak tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mentransformasi
ilmu pengetahuan secara akademik lewat jalur pendidikan formal, akan tetapi
pada dasarnya merupakan sebuah institusi social, fungsi pendidikannya secara
ideal menjadi fungsi budaya untuk melestarikan dan mengembangkan system nilai
masyarakatnya sebagai suatu organized intelegence. Maka pendidikan akhlak
menjadi sentrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk
menyelenggarakan sebuah lingkungan masyarakat yang beradab. (Zamroni, tt: 6)
2.2.3.
Tugas Guru dalam Pendidikan Akhlak
Dalam
literature yang ditulis oleh para ahli pendidikan Islam, tugas guru memiliki
peran yang strategis dalam rangka meningkatkan kemempuan (kognisi, afeksi dan
motorik) anak didik. Selain itu juga, guru berupaya mengarahkan anak didik
untuk menuju manusia paripurna. Di antara tugas guru antara lain:
1. Guru
harus mengetahui karakter seorang murid.
2. Guru
harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
3. Guru
harus mampu mengantarkan anak didik ke arah pembentukan moral/akhlak mulia.
(Tafsir, 1991: 5
Ketiga tugas guru ini, merupakan
sebagian dari beberapa tugas pokok seorang guru. Namun demikian, ketiganya
dianggap mewakili dari sekian jumlah tugas guru. Untuk itu, seorang guru perlu
dibantu dengan kekuatan dirinya sendiri dalam upaya “menolong” anak didiknya menjadi
manusia yang mampu mengamalkan nilai-nilai normative dalam lingkungannya.
2.3.Pendidikan
Nilai
Nilai dapat
diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
(Poewardarminta, 1984). Nilai padanan kata dalam bahasa Inggrisnya adalah
value. Sementara value sendiri artinya “quality of being useful or desireable”
(AS. Hornby 1982). Nilai atau value berasal dari bahasa Latin valare atau
bahasa Perancis Kuno valoir yang artinya nilai. Sebatas arti denotatifnya,
valare, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras
dengan definisi nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diartikan
sebagai harga (dalam arti taksisran harga).
Batasan
tentang nilai dapat mengacu kepada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban
agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan perasaan seseorang dan orientasinya (Pepper dalam
Soelaeman, 2005).
Dalam
makna luas nilai merupakan ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau
buruk. Nilai-nilai tersusun secara hierarkis dan mengatur rangsangan kepuasan
hati dalam mencapai tujuan kepribadiannya. Kepribadian dari system
sosio-kultural merupakan syarat dalam susunan kebutuhan rasa hormat terhadap
keinginan yang lain atau kelompok sebagai suatu kehidupan social yang besar.
Sehingga Soebino (1986) menjelaskan bahwa nilai adalah pegangan hidup yang
dijadikan landasan untuk melakukan sesuatu. Suatu nilai baru dapat dipandang
sebagai pegangan hidup apabila
penganutnya bersedia untuk melakukan segalanya demi nilai itu.
Kattsoff
(Soemargono, 2004) mengungkapkan bahwa hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga
macam cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada
pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan
kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun tidak terdapat dalam
ruang dan waktu. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan.
Untuk
mendapat rumusan yang jelas, Robin M. Williams dalam Soelaeman (2005)
mengemukakan bahwa ada empat buah kualitas tentang nilai-nilai, yaitu:
- Nilai-nilai mempunyai sebuah elemen konsepsi yang lebih mendalam dibandingkan dengan hanya sekedar sensasi, emosi, atau kebutuhan
- Nilai-nilai penuh dengan semacam pengertian yang memiliki suatu aspek emosi.
- Nilai-nilai bukan merupakan tujuan kongkret dari tindakan, tetapi mempunnyai hubungan dengan tujuan.
- Nilai-nilai merupakan unsur penting dan tidak dapat disepelekan bagi orang yang bersangkutan.
Nilai berhubungan
dengan aspek keyakinan manusia dalam menentukan pilihannya, ia bersifat abstrak
namun riil adanya. Rescher (1969) mengemukakan bahwa nilai dapat
diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
- Pengakuan, yaitu pengakuan subjek tentang nilai yang harus dimiliki seseorang atau suatu kelompok, misalnya nilai profesi, nilai kesukuan atau nilai kebangsaan.
- Objek yang dipermasalahkan, yaitu cara mengevaluasi suatu objek dengan berpedoman pada sifat objek yang dinilai, seperti manusia dinilai dari kecerdasannya, bangsa dinilai dari keadilan hukumnya.
- Keuntungan yang akan diperoleh, yaitu menurut keinginan, kebutuhan, kepentingan atau minat seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan, contohnya kategori nilai ekonomi, maka keuntungan yang diperoleh berupa produksi.
- Tujuan yang akan dicapai, yaitu berdasarkan tipe tujuan tertentu sebagai reaksi keadaan yang dinilai, contohnya nilai akreditasi pendidikan.
- Hubungan antara pengembang dengan nilai keuntungan : (1) Nilai dengan orientasi pada diri sendiri (nilai egosentris), yaitu dapat mempertahankan keberhasilan dan ketentraman. (2) Nilai dengan orientasi pada oranglain, yaitu orientasi kelompok:
·
Nilai yang berorientasi pada keluarga
hasilnya kebanggaan keluarga
·
Nilai yang berorientasi pada profesi
hasilnya nama baik profesi
·
Nilai yang berorientasi pada bangsa
hasilnya patriotisme
·
Nilai yang berorientasi pada masyarakat
hasilnya keadilan social
·
Nilai yang berorientasi pada kemanusiaan
yaitu nilai-nilai universal.
2.3.1. Pendidikan Nilai Sebagai Kajian
Deskripsi
pendidikan nilai mencakup keseluruhan dimensi pendidikan. Tujuan pendidikan
nilai yang ideal adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya yang
berimplikasi pada pendidikan nilai sebagai keseluruhan praktek pendidikan di
sekolah. Karena itu, pendidikan nilai berarti keseluruhan dimensi pendidikan
yang dilakukan melalui pengembangan baik kegiatan kurikulum, ekstrakurikuler,
dan seluruh kegiatan belajar mengajar yang dikatakan sebagai upaya penanaman
nilai dalam pendidikan.
Untuk membahas pendidikan nilai
sebagai kajian ilmiah, maka terlebih dahulu mencari sebuah model sebagai konsep
awal. Model adalah sebuah bentuk konstruksi yang dapat berwujud konsep atau
market yang menggambarkan secara lengkap sebuah pemikiran atau gambaran bentuk
fisik sebuah benda dalam skala yang lebih kecil. Terdapat empat model
pendidikan budi pekerti yaitu teknik pengungkapan nilai, analisis nilai,
pengembangan kognitif moral, dan tindakan social (Hers, 1980).
2.3.2.
Landasan-
landasan Pendidikan Nilai
Terdapat
empat landasan yang akan dikemukakan dalam pendidikan nilai, yaitu sebagai
berikut:
2.3.2.1.Landasan
Filosofis
Landasan filosofis adalah landasan yang
berkaitan dengan hakekat pendidikan. Landasan ini berusaha menelaah masalah
pokok seperti apakah pendidikan nilai itu, mengapa pendidikan nilai dibutuhkan,
apa tujuan pendidikan nilai. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal,
menyeluruh, dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai
kehidupan dan dunia. Konsepsi tersebut pada umumnya bersumber dari factor
religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan, serta ilmu pengetahuan yang
mengandalkan penalaran. (Tirtarahardja, 2005).
2.3.2.2.
Landasan Psikologis
Kekhasan psikologi dalam menelaah
manusia terletak pada pandangannya bahwa manusia sebagai individu selalu tampil
unik. Keunikan manusia dilihat dari sisi mental dan tingkah lakunya
berimplikasi pada asumsi psikologis berikutnya bahwa pada hakikatnya tidak ada
seorang pun anak manusia yang sama persis dengan anak manusia lainnya. Asumsi
seperti itu memang dapat terkesan ekstrim karena dapat menafikan kebenaran
generalisasi atau teori perkembangan mental manusia yang dihasilkan dari
tafsiran kecenderungan umum perkembangan dunia psikologis manusia.
Psikologi mencoba untuk menarik
batas-batas kemiripan melalui kaidah-kaidah perkembangan mental manusia beserta
ciri-ciri perilakunya. Keutuhan manusia sebagai organisasi dijelaskan melalui
aspek-aspek psikis yang berkembang secara dinamis. Demikian pula perbedaan
individu ditarik pada prinsip-prinsip dasar perkembangan yang mewakili setiap
fase pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan berdasarkan kaidah-kaidah
umum psikologi seperti itu landasan psikologis pendidikan nilai berkaitan
dengan dimensi motivasi dan perbedaan individual.
Setiap orang memiliki motivasu untuk
bertindak sesuai dengan keinginan, minat, dan kebutuhannya. Motivasi merupakan
penyebab yang diduga telah mendorong seseorang ke arah perilaku atau tindakan
tertentu. Karena itu dalam kajian psikologi, motivasi sering dipertimbangkan
sebagai jawaban pertanyaan ‘mengapa’ suatu tindakan itu lahir pada diri
seseorang.
Motivasi menjadi dasar utama bagi
seseorang atau individu. Tanpa motivasi, mustahil terdapat kekuatan pendorong
yang ada dalam diri individu, dan adanya motivasi memungkinkan berbagai
aktivitas manusia mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai.
Siagian (1995: 138-139) mengemukakan
bahwa dalam motivasi itu terdapat tiga komponen utama, yaitu kebutuhan,
dorongan, dan tujuan, yang selanjutnya menjelaskan bahwa:
Kebutuhan timbul dari diris seseorang
apabilaia merasa adanya kekurangan dalam dirinya. Dengan kata lain, apabila
dirasakan adanya ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang
menurut persepsi yang bersangkutan seyogyanya dimiliki. Dorongan berarti usaha
pemenuhan kekurangan secara terarah. Dengan demikian, dorongan berorientasi
pada tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang. Sedangkan
tujuan berarti mengembalikan keseimbangan dalam diri seseorang, baik yang
bersifat fisiologis maupun yang bersifat psikologis.
2.3.2.3.
Landasan Sosiologis-Antropologis
Manusia
hidup berkelompok dan tidak dapat hidup tanpa bantuan oranglain. Oleh karena
itu, manusia dikatakan sebagai makhluk social. Manusia hidup berkelompok dengan
ciri-cirinya; ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada
ketergantungan, ada kerjasama, ada komunikasi, dan ada diskriminasi antar
individu yang hidup dalam suatu kelompok dengan individu yang hidup di kelompok
itu.
Target
utama pendidikan nilai secara social budaya adalah membangun kesadaran
interpersonal yang mendalam. Peserta didik dibimbing untuk mampu menjalin
hubungan social secara harmonis dengan oranglain melalui sikap dan perilaku
yang baik sehingga mereka dapat hidup secara sehat dan harmonis dalam lingkungan
sosialnya.
2.3.2.4.
Landasan Estetik
Cita
rasa yang biasa dikatakan memiliki nilai estetika adalah bagian dari kehidupan
manusia karena makhluk manusialah yang hanya memiliki cita rasa keindahan. Cita
rasa keindahan melibatkan semua domain yang ada pada diri seseorang dan yang
paling dominan adalah aspek perasaan.
Maxine
Grenee menyatakan bahwa nilai estetik perlu diajarkan kepada peserta didik agar
mereka mengetahui bagaimana cara belajar yang bermakna. Menurutnya,
pembelajaran estetika mesti memiliki vital center sebagai focus, yakni suatu
titik ketika proses belajar diperlakukan sebagai ajang penyadaran nilai-nilai
keindahan dan penyertaan timbangan rasa secara optimal. (Mulyana, 2004).
2.3.3.
Konsep
Pendidikan Nilai
Sasaran yang hendak dituju dalam
pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta
didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai
pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran
pendidikan nilai. Ini penting, untuk member variasi kepada proses pendidikan
dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.
Djahri (1992) mengemukakan delapan
pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti yaitu:
1. Evocation,
yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara
bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya.
2. Inculcation,
yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju
kondisi siap.
3. Moral
Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik
tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah.
4. Value
clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak
mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
5. Value
analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakkukan analisis
nilai moral.
6. Moral
awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan
kesadarannya akan nilai tertentu.
7. Commitment
approach, yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya
suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai.
8. Union
approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan
secara riil dalam suatu kehidupan.
2.4.
Pendidikan
Bahasa
Pengajaran bahasa melibatkan
sekurang‑kurangnya tiga disiplin, yakni linguistik, psikologi dan ilmu
pendidikan. Linguistik memberi informasi kepada kita mengenai bahasa secara
umum dan mengenai bahasa‑bahasa tertentu. Psikologi menguraikan bagaimana orang
belajar sesuatu, dan Ilmu Pendidikan atau Pedagogi memungkinkan kita untuk meramu
semua keterangan dan menjadi satu pendekatan, metode, dan teknik
yang sesuai dipakai di kelas untuk memudahkan proses belajar‑mengajar bahasa.
Sejalan dengan perkembangan ilmu
linguistik dan ilmu psikologi ini, metode‑metode itu mencerminkan disiplin-disiplin
tersebut di atas, juga ikut berubah. Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan
“Apa bahasa itu?" dan "Bagaimana bahasa itu dipelajari orang?",
dan “Metode apa yang paling baik untuk mengajar bahasa kedua/asing?” sehingga
kita masih tetap mencari‑cari jawaban yang tepat atas pertanyaan yang diajukan
tersebut.
Ada kemungkinan bahwa apa yang
sekarang dianggap metode pengajaran bahasa kedua/asing yang paling baik
ternyata tidak mernuaskan apabila diperoleh penemuan -penernuan yang datang
dari bidang linguistik dan psikologi.
Kalau kita meninjau perubahan‑perubahan
yang paling menonjol dalam linguistik dan psikologi hingga dewasa ini, yang
berpengaruh besar pada pendidikan bahasa sejak era 1970-an, yaitu Grammar Translation Method, Gouin and The Series Method,
Audiolingual Method, Cognitive Code Learning, Community
Language Learning, Suggestopedia, Silent Way, Total Physical Response
(TPR), dan The Natural Approach.
2.4.1.
Pendekatan,
Metode, dan Teknik
Pendekatan (approach), metode
(method), dan teknik (technique) merupakan tiga istilah yang
sering digunakan dalam bidang pengajaran bahasa. Mengingat kentalnya hubungan
ketiga istilah tersebut karena merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, maka semua istilah tersebut sering dianggap sama sehingga sering
dipakai secara bergantian. Padahal masing-masing istilah tersebut memiliki
makna tertentu yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Pendekatan biasa diartikan sebagai
cara memulai sesuatu. Atau sering diartikan dengan pengertian yang lebih luas
yaitu sebagai seperangkat asumsi tentang hakekat bahasa, pengajaran bahasa, dan
proses belajar bahasa. Edward Anthony memaknai pendekatan sebagai satu latar
belakang filosofis mengenai pokok bahasan yang hendak diajarkan (Brown,
2001:14).
Berbeda dengan pendekatan, dalam
dunia pengajaran metode merupakan rencana penyajian bahan yang
menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Jadi
metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan pendekatan bersifat
aksioma dan metode bersifat prosedural. Tidak aneh apabila dari satu pendekatan
biasanya akan muncul pemakaian beberapa metode.
Berbeda dengan pendekatan dan
metode, teknik mengandung pengertian cara-cara dan alat-alat yang digunakan
guru dalam kelas. Teknik adalah daya upaya, usaha-usaha, atau cara-cara yang
digunakan guru dalam mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan pengajaran pada
waktu itu. Jadi teknik tiada lain hanyalah kelanjutan dari metode, sedangkan
arahnya harus sesuai dengan pendekatan.
Dengan melihat penjelasan-penjelasan
di atas, dapatlah kita pahami bersama bahwa ketiga istilah (pendekatan, metode,
dan teknik) tersebut jelas berbeda. Tetapi istilah-istilah tersebut tidak dapat
dipisah-pisahkan mengingat antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan
dan saling melengkapi.
Para pakar bahasa hingga saat ini
masih meneliti alternatif pendekatan, metode, dan teknik yang tepat digunakan
dalam pembelajaran bahasa (bahasa asing).
2.4.1.1. The Grammar Translation
Methode
Metode ini
lahir dari dua metode, yaitu The Translation Methode dan The Grammar
Methode. Metode “Translation” sering juga disebut "metode
tradisional". Ini tidak berarti bahwa metode ini yang paling tua.
Istilah "tradisional" mungkin dipakai dalam arti bahwa metode ini
merupakan pencerminan yang paling tepat dari cara bahasa‑bahasa Yunani kuno
dan Latin diajarkan selama berabad-abad.
Metode ini
berdasarkan asumsi bahwa ada satu "logika semesta" (universal
logic) yang merupakan dasar semua bahasa di dunia ini, dan bahwa tata
bahasa adalah cabang dari logika. Kategori‑kategori tata bahasa Indo‑European
(yang diwakili oleh bahasa Latin) dianggap kategori‑kategori yang ideal. Banyak
ilmuwan pada abad ke‑19 menganggap bahwa bahasa‑bahasa Eropa modern adalah
pencampuran yang kurang baik dari tata bahasa klasik (tradisional) yakni bahasa
Latin, dan bahwa bahasa-bahasa lain di dunia ini (bahasa‑bahasa di luar Eropa)
sebagai bahasa‑bahasa yang masih "primitif dan belum berkembang"
(Brown,2001:18).
Langkah‑langkah
penyajian ”Grammar
Translation Methode” adalah:
1. Guru mulai
dengan mernberikan definisi‑definisi jenis kata, imbuhan jenis kata itu, kaidah‑kaidah
yang harus dihafalkan dalam BS (Bahasa Sumber), contoh‑contoh yang menggarisbawahi
kaidah‑kaidah BT (Bahasa Target), dan perkecualian‑perkecualian kaidah‑kaidah
BT yang diajarkan itu.
2. Guru melatih
pelajar dalam terjemahan kalimat‑kalimat dan kemudian paragraf-paragraf. Materi
yang digunakan dipilih dari buku‑buku sastra yang bahasanya memiliki ragam
yang "estetis". Para pelajar diharapkan untuk mengenal kaidah‑kaidah
tata bahasa yang telah dihafalkan, dan menerapkannya pada terjemahannya. Ini
melibatkan suatu pernikiran yang rumit mengenai pengimbuhan jenis‑jenis kata
yang telah dihafalkan, agar sesuai dengan terjernahan yang diminta oleh guru.
3. Guru memberi
daftar kosakata untuk dihafalkan. Katakata itu lepas dari konteks kalimat, dan
guru menyuruh para pelajar untuk memberi terjernahan kosakata BT itu.
4. Guru memberi
pekerjaan rumah berupa persiapan terjernahan halaman-halaman dari buku
sastra itu untuk dibicarakan pada perternuan berikutnya.
Metode Translation (the Translation Method)
berisi kegiatan-kegiatan penerjemahan teks yang dilakukan dari hal mudah ke hal
yang sulit. Pertama dari bahasa sasaran ke bahasa ibu dan sebaliknya. Penerjemahan
teks dilakukan dengan cara penerjemahan kata per kata maupun gagasan per
gagasan termasuk ungkapan-ungkapan idiomatik.
Perpaduan dua metode tersebut di
atas melahirkan metode “Grammar-Translation” (the Grammar Translation Method /
GTM) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ø Pengajaran dimulai dengan pemberian
kaidah-kaidah gramatika dan mengacu pada kerangka gramatika formal.
Ø Kosakata yang diajarkan bergantung
pada teks yang dipilih sehingga tidak ada kesinambungan antara kelompok atau
daftar kosakata yang satu dengan yang lainnya.
Ø Penghafalan dan penerjemahan merupakan ciri kegiatan yang
menonjol, yaitu menghafal dan menerjemahkan kosakata dan kaidah gramatika.
Ø Pelafalan tidak diajarkan atau
sangat dibatasi hanya pada beberapa aspek saja.
Ø Lebih menekankan pada ketrampilan
membaca dan menulis daripada menyimak dan berbicara.
Dari uraian di atas, GTM dapat
didefinisikan sebagai metode pengajaran bahasa melalui analisis kaidah-kaidah
bahasa secara rinci dan diikuti dengan penerapan pengetahuan tentang
kaidah-kaidah tersebut untuk tujuan penerjemahan kalimat-klimat dan teks-teks,
baik dari bahasa sasaran (Bahasa Target) ke bahasa ibu atau sebaliknya.
2.4.1.2.
Gouin
and The Series Method
Metode ini telah dimulai pada akhir
1800 dengan Francois Gouin. Seorang guru dari Prancis yang luas wawasannya
tentang bahasa Latin (Brown,2001:19). Metode ini mirip dengan Metode
Langsung (Direct Method). Metode ini memerlukan deskripsi bahasa yang tidak
membolehkan komunikasi antara peserta didik. Metode “Gouin Seri” adalah metode
belajar bahasa yang langsung tanpa terjemahan dan tanpa konsep aturan tata
bahasa.
Belajar bahasa kedua dengan metode
“Gouin Seri” dibuat mirip belajar bahasa pertama, banyak interaksi lisan,
penggunaan bahasa secara spontan, tidak ada terjemahan antara bahasa pertama
dan kedua, merespon kelas pertama melalui pantomim.
Metode ini didasarkan atas tahapan
pemerolehan bahasa pada anak. Metode ini didasarkan pada prinsip pengajaran
bahasa adalah mentransformasi persepsi ke dalam konsep. Metode ini adalah
sebuah metode yang mengajarkan siswa secara langsung dan terkonsep serangkaian
kalimat-kalimat yang berhubungan yang mudah diterima.
Contoh kalimat yang dipakai dalam
mempelajari bahasa dengan “Metode Seri Gouin” adalah seperti berikut:
Ø Saya berjalan menuju pintu.
Ø Saya menggambar dekat dengan pintu.
Ø Saya menggambar dekat pintu.
Ø Saya sampai ke pintu.
Ø Saya berdiri di depan pintu.
Ø Saya membuka pintu.
Ø Saya menarik pintu.
Kalimat-kalimat yang dicontohkan di
atas mempunyai kaidah gramatika , kosa kata, dan hubungan antar kata yang
lengkap, sehingga mudah dimengerti, mudah diingat, dan berhubungan dengan
realitas keseharian.
2.4.1.3. The Direct Method
Pendekatan ini pada awalnya
dikembangkan sebagai reaksi terhadap pendekatan “terjemahan tata bahasa” dalam
upaya untuk lebih mengintegrasikan penggunaan bahasa target dalam pengajaran
dan komunikasi di dalam kelas, dengan dengan menghindari teknik penerjemahan
bahasa pertama. Metode ini mirip dengan metode “Seri Gouin” yaitu, bahwa
belajar bahasa kedua harus mirip dengan pembelajaran bahasa pertama; banyak
interaksi lisan, dan sedikit aturan analisis gramatikal.
Pembelajaran dengan “Direct Method”
atau metode langsung dimulai dengan dialog lisan dan gambar, bahasa ibu tidak
digunakan dan ada terjemahan. Pilihan jenis latihan adalah rangkaian pertanyaan
dalam bahasa target berdasarkan dialog yang lucu atau “anecdotal naratif.”
Pertanyaan akan dijawab dalam bahasa target.
Tata bahasa yang diajarkan biasanya
secara induktif, yaitu dari praktek dan pengalaman dengan bahasa target.
Kegiatan belajar dilanjutkan dengan membaca karya sastra yang disenangi. Teks
tidak dianalisis secara gramatikal. Budaya yang terkait dengan bahasa target
diajarkan secara induktif. Unsur budaya dianggap aspek penting dalam
pembelajaran bahasa.
Pengajaran langsung merupakan revisi
dari “Grammar Translation Method” karena metode ini dianggap tidak dapat
membuat siswa dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing yang sedang
dipelajari. Dalam proses pembelajaran, penerjemahan dilarang digunakan.
Proses pembelajaran dengan “Direct
Method”, guru menyuruh siswa untuk membaca nyaring, lalu guru memberi
pertanyaan dalam bahasa yang sedang dipelajari. Selama proses pembelajaran berlangsung,
realita seperti peta atau benda yang sesungguhnya bisa dipergunakan. Guru bisa
menggambar atau mendemonstrasikan. Teknik-teknik dalam Direct Method
(Brown,2001:21) yaitu:
1. Reading aloud
2. Question and answer exercise
3. Getting students to self-correct
4. Conversation practice
5. Fill-in-the-blanks
6. Dictation
7. Map drawing
8. Paragraph writing
2.4.1.4.
The
Audiolingual Method
Metode ini didasarkan pada
prinsip-prinsip perilaku psikologi. Metode ini banyak diadaptasi dari
prosedur “Direct Method” sebagai reaksi terhadap kurangnya keterampilan
berbahasa. Materi baru disajikan dalam bentuk dialog. Berdasarkan prinsip bahwa
pembelajaran bahasa adalah suatu bentuk kebiasaan dan peniruan.
Alur pembelajaran dengan “Metode
Audiolingual,” secara bertahap menggunakan pola latihan berulang atau
“repetitif drills,” sedikit penjelasan tentang tatabahasa (tata bahasa
diajarkan secara induktif).
Urutan keterampilan berbahasa yang
diajarkan adalah mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Kosakata sederhana
dipelajari dalam suatu konteks. Poin pengajaran ditentukan oleh adanya analisis
antara B1 dan B2. Terdapat banyak penggunaan laboratorium bahasa, kaset dan
alat. Ada perpanjangan periode pra-membaca di awal pelatihan. Sangat
mementingkan pronounsiasi. Penggunaan bahasa ibu oleh pengajar diperbolehkan
agar memudahkan pembelajar. Ketepatan tanggapan pembelajar sangat diperhatikan
untuk menghindari kesalahan. Ada kecenderungan untuk terlalu berfokus pada
bahasa target dengan mengabaikan isi dan makna kebahasaan.
Istilah audio-lingualisme
pertama-tama dikemukakan oleh Prof. Nelson Brooks pada tahun 1964. Metode ini
mengklaim sebagai metode yang paling efektif dan efisien dalam pembelajaran
bahasa asing dan menyatakan sebagai metode yang telah mengubah pengajaran
bahasa dari hanya sebuah metode keilmuan bahasa. Audio-Lingual Method (ALM)
merupakan hasil kombinasi pandangan dan prinsip-prinsip Linguistik Struktural,
Analisis Kontrastif, pendekatan Aural-Oral, dan psikologi Behavioristik. Dasar
pemikiran ALM mengenai bahasa, pengajaran, dan pembelajaran bahasa adalah
sebagai berikut:
Ø Bahasa adalah lisan, bukan tulisan
Ø Bahasa adalah seperangkat kebiasaan
Ø Ajarkan bahasa dan bukan tentang
bahasa
Ø Bahasa adalah seperti yang diucapkan
oleh penutur asli
Ø Bahasa satu dengan yang lainnya itu
berbeda
Richards & Rodgers (dalam
Prayogo, 1998:9) menambahkan beberapa prinsip pembelajaran yang telah menjadi
dasar psikologi audio-lingualisme dan penerapannya sebagai berikut:
1. Pembelajaran bahasa asing pada
dasarnya adalah suatu proses pembentukan kebiasaan yang mekanistik,
2. Ketrampilan berbahasa dipelajari
lebih efektif jika aspek-aspek yang harus dipelajari pada bahasa target
disajikan dalam bentuk lisan sebelum dilihat dalam bentuk tulis.
3. Bentuk-bentuk analogi memberikan
dasar yang lebih baik bagi pembelajar bahasa daripada bentuk analisis,
generalisasi, dan pembedaan-pembedaan penjelasan tentang kaidah-kaidah.
4. Makna kata-kata yang dimiliki oleh
penutur asli dapat dipelajari hanya dalam konteks bahasa dan kebudayaan dan
tidak berdiri sendiri.
Richards & Rogers
(Brown,2001:23) juga mengatakan bahwa ketrampilan bahasa diajarkan dengan
urutan: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Bentuk kegiatan pengajaran dan
pembelajaran ALM pada dasarnya adalah percakapan dan latihan-latihan
(drills) dan latihan pola (pattern practice), (Prator
& Celce-Murcia, 1979).
Percakapan berfungsi sebagai alat
untuk meletakkan struktur-struktur kunci pada konteksnya dan sekaligus
memberikan ilustrasi situasi dimana struktur-struktur tersebut digunakan oleh
penutur asli, jadi juga sebagai penerapan aspek kultural bahasa target.
Pengulangan dan penghafalan menjadi kegiatan yang dominan pada metode ini.
Pola-pola gramatika tertentu pada percakapan dipilih untuk dijadikan pola
kegiatan latihan. Kegiatan-kegiatan pembelajaran berdasarkan ALM adalah:
repetition, inflection, relplacement, restatement, completion, transposition,
expansion, contraction, transformation, integration, rejoinders, dan
restoration.
2.4.1.5.
Cognitive
Code Learning
Belajar dengan kode kognitif atau
“Cognitive Code Learning,” merupakan pendekatan yang menekankan pada kesadaran
mempelajari bahasa kedua (bahasa target) sebagai aplikasi kehidupan,
(Carrol,1966).
Metode ini adalah reaksi dari
praktek penggunaan “Metode Audiolinguistik” yang behavioristik dan praktik
metode “Grammar Translation. Pada masa itu, para praktisi bahasa merasa perlu
mengkaji pengembangan potensi siswa dalam kemampuan berkomunikasi, sehingga
diperlukan metode kode kognitif.
2.4.1.6.
Community
Language Learning
Metode ini
diperkenalkan oleh Charles A. Curran dan rekan‑rekannya (1976). Curran sendiri
bukan seorang guru bahasa, melainkan seorang ahli psikologi yang mengambil
spesialisasi dalam penyuluhan (counseling). Penerapan teknik‑teknik penyuluhan
pada pelajaran pada. umumnya dikenal dengan nama pelajaran penyuluhan (counseling
learning). Curran mengarang suatu metode khusus untuk mengajar bahasa yang
diberi nama "belajar bahasa secara berkelompok" atau BBSB untuk
singkatnya (community language learning).
Metode ini
sering disebut orang sebagai contoh dari pendekatan humanistis pada pengajaran
bahasa (humanistic approach to language teaching).
Menurut
Moskowitz, yang dikutip Richards dan Rodgers (Brown,2001:25), istilah
"humanistis" di sini berarti "percampuran dari sernua emosi dan
perasaan-perasaan lain dari pelajar dalam proses belajar‑mengajar BT, yang
meliputi, antara lain, harga diri dan perasaan bangga akan pencapaian cita‑cita
dengan usaha sendiri (kemandirian).
Teori yang
mendasari BBSB ini ialah pernikiran bahwa apa yang sebenarnya dipelajari oleh
manusia pada umumnya itu bersifat kognitif dan afektif. Pelajaran
disajikan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu suasana yang memungkinkan
pelajar (bahasa) berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama pelajar secara
bebas.
Dengan
demikian, pelajar (bahasa) mengalami semua masukan dari luar secara menyeluruh,
yakni melalui pikiran (kemampuan kognitio) dan perasaannya (kemampuan afektio).
2.4.1.7.
Suggestopedia
Metode ini agak
sukar untuk diterjemahkan dengan hanya menggunakan satu atau dua kata, tetapi
harus diuraikan dengan menggunakan beberapa paragraf.
Suggestopedia adalah suatu
metode yang dikembangkan oleh seorang ahli psikiatri dan pendidikan dari
Bulgaria bemama Georgi Lozanov (1979). Seperti diuraikan oleh Lozanov sendiri,
dalarn artikelnya yang berjudul Suggestology and Suggestopedy yang
dimuat (Blair,1982: 146‑159), dan yang diambil intinya dalam buku ini,
suggestopedia berdasarkan tiga asumsi, yakni bahwa:
1. belajar itu
melibatkan fungsi‑fungsi sadar dan di bawah sadar manusia,
2. pelajar mampu belajar lebih cepat
daripada dengan metode‑metode lainnya,
3. proses belajar‑mengajar
dapat terhambat oleh beberapa faktor, yakni; norma‑norma umum dan
kendala‑kendala yang lazim berlaku dalam masyarakat, suasana yang kurang serasi
dan santai tidak ada atau kurang dalam pengajaran bahasa, dan kekuatan‑kekuatan
atau potensi‑potensi dalam diri pelajar yang tidak/kurang dimanfaatkan guru.
Georgi Losanov percaya bahwa dalam
proses pembelajaran ada kendala psikologi. Suggestopedia merupakan
aplikasi sugesti dalam pedagogi dimana perasaan pembelajar mengalami kegagalan
dapat dihilangkan. Dalam model pembelajaran suggestopedia, kendala psikologi
pembelajar dapat diatasi (Brown,2001:28).
Dalam mengaplikasikan model
pembelajaran ini, ruang kelas ditata sedemikian rupa sehingga berbeda dengan
kelas biasa. Siswa duduk di sofa dalam bentuk setengah lingkaran dengan
penerangan yang remang-remang. Beberapa poster yang berhubungan dengan materi
pembelajaran dipasang di tembok.
Guru menyapa dalam bahasa ibu
kemudian meyakinkan siswa/pebelajar kalau nereka tidak perlu berusaha untuk
belajar tapi pembelajaran akan berlangsung secara alami. Guru memutar musik
klasik kemudian mengarahkan pebelajar untuk rileks dengan cara menarik nafas
panjang. Selanjutnya guru mengajak pembelajar berimajinasi tentang materi yang
sedang dipelajari. Ketika mereka membuka mata, mereka bermain peran. Setelah
itu, guru membaca sambil memperdengarkan musik. Guru tidak memberi pekerjaan
rumah.
2.4.1.8. Metode “Silent
Way”
Metode diam (the silent
way) dicetuskan oleh Calch Cattegno (1972), seorang ahli pengajaran bahasa
yang menerapkan prinsip‑prinsip kognitivisme dan ilmu filsafat dalam
pengajarannya (Brown, dalam Chamot & McKeon 1984:2). Perlu ditekankan di
sini bahwa Gattegno mengembangkan teori dan metode pelajarannya terpisah dari
teori Chomsky, meskipun ada banyak persamaan dalam teorinya.
Prinsip‑prinsip filsafat yang
merupakan ide‑ide dasar metode ini, adalah antara lain ; Diri seseorang (the
self) sama dengan tenaga yang bekerja dalam tubuhnya melalui pancaindera,
dan bertujuan untuk mengatur masukan‑masukan dari luar itu. Diri itu membuang
yang dianggap tidak berguna dan menyimpan yang dianggap menjadi bagian dari diri
itu. Diri ini, sebagai suatu tenaga, bukanlah sama dengan
"kerja", melainkan sama dengan "kemampuan untuk bekerja".
Ahli-ahli psikologi kognitif dan
bahasa transformasi-generatif beranggapan bahwa belajar bahasa tidak perlu
melalui pengulangan. Mereka percaya bahwa pebelajar dapat menciptakan
ungkapan-ungkapan yang belum pernah didengar. Selanjutnya mereka berpendapat
bahwa pembelajaran bahasa tidak hanya menirukan tapi aturan-aturan berbahasa
dapat membantu mereka menggunakan bahasa yang dipelajari.
Dalam proses pembelajarannya, guru
hanya menunjuk ke suatu chart yang berisi dengan vocal konsonan. Guru menunjuk
beberapa kali dengan diam. Setelah beberapa saat guru hanya memberi contoh cara
pengucapannya. Kemudian menunjuk siswa untuk melafalkan sampai benar. Dalam
proses pembelajaran guru banyak berdiam diri, dia hanya mengarahkan/menunjuk
pada materi pembelajaran.
2.4.1.9.
Total Respon Fisik
Metode ini juga disebut ‘the
comprehension approach’ yang mendekatkan pada pentingnya ‘listening
comprehension’. Pada tahap awal pembelajaran bahasa asing terfokus pada
pemahaman mendengarkan. Hal ini berdasarkan pada hasil observasi bagaimana
anak-anak belajar bahasa ibu. Seorang bayi mendengarkan suara disekelilingnya
selama berbulan-bulan sebelum ia dapat menyebut satu kata. Tidak ada seorangpun
yang menyuruh bayi untuk berbicara. Seorang anak berbicara ketika ia sudah siap
melakukannya.
Pada Natural Approach
(dikembangkan oleh Krashen & Terrel), siswa mendengarkan guru yang
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing mulai awal proses
pembelajaran. Guru dapat membantu siswa untuk memahami materi dengan menggunakan
gambar dan beberapa kata dalam bahasa ibu. Natural Approach hampir sama
dengan Direct Method. Pada Total Physical Response (TPR), siswa
mendengarkan dan merespon instruksi lisan guru. Bentuk instruksi yang diberikan
seperti ‘Turn around’, ‘Sit down’, ‘Walk’, ‘Stop’, dan ‘Jump’.
2.4.1.10.
Pendekatan Alamiah (The Natural Approach)
Pendekatan alamiah yang disebut oleh
Krashen (1981), dan Krashen dan Terrell (1983), mengingatkan kita pada pemikiran‑pemikiran
yang mendasari metode langsung pada tahun 1960‑an. Tetapi, Krashen dan Terrell
memberikan teori atau hipotesis yang lain dalam hal "pemerolehan
bahasa".
Berbeda dengan pandangan
audiolingualisme, yang menganggap bahasa pertama sebagai "penghambat
proses belajar‑mengaiar BT" yang, disebut interferensi (interference), dalam
teori monitor diambil sikap yang lebih positif terhadap pengaruh BS pada BT.
Dalam teori monitor, BS tidak dianggap sebagai penghambat atau interferensi BT.
Penggunaan unsur‑unsur dari BS dalam BT dianggap justru sebagai "pengisian
lubang-lubang atau kekurangan‑kekurangan" dalam kemampuan dalam BT. Jadi,
pernbicara (pelajar BT) itu menggunakan unsur/ciri bahasa yang sudah
dimilikinya (BS) bila dia belum memperoleh kemampuan itu dalarn BT.
Dengan demikian,
pengaruh BS dapat dianggap sebagai indikator tingkat pernerolehan, dan makin
banyak pengaruh BS, makin rendah tingkat pernerolehan BT. Pemikiran ini mendorong
beberapa ahli pengajaran bahasa untuk menyarankan suatu "kurun waktu
sunyi" (silent period), baik bagi pelajar muda maupun pelajar yang
sudah dewasa, walaupun "sunyi" ini berarti waktu mendengarkan saja.
Dalam pendekatan alamiah
yang dibicarakan ini termasuk lagi satu hipotesis yang penting diketahui,
yakni hipotesis masukan (input hypothesis). Yang dimaksud dengan ini
ialah bahwa sumber dari masukan untuk pelajar BT adalah ruang kelas di mana
mereka memperoleh masukan yang dapat dipahami dan yang diperlukan untuk
mencapai kemampuan dalam BT. Masukan merupakan suatu unsur yang
terpenting dalam pendekatan alamiah ini. Demikianlah secara singkat teori‑teori
pendekatan pernahaman dan pendekatan alamiah.
2.5.
Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan dalam
pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis
didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good
citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang
itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan
nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di
sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah
satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program
pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam
bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4)
atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash
program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual
dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka
berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua,
ketiga, dan keempat.
Sebagai salah satu cabang pendidikan
disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam
statusnya yang ketiga yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998),
pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial
sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di
LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun
1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat
ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan
dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program
pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan.
Secara konseptual pendidikan
disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu
politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini
berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru
pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan
tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih
terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan
epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan,
belum banyak mendapat¬kan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan lebih kepada
pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan.
Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan
MIPA, pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain
sebagainya.
Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu
sosial dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin
ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah
dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995). Rumusan
akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk
memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan
keguruan mempunyai fungsi mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan
harus dapat menerapkannya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka
karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina harus memperhatikan dan
mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik, kurikulum,
buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan,
pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus merujuk kepada tiga unsur
disiplin ilmu, yakni;
1. A community of scholars who choose to
call themselves by a particular name,
2.
A
body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist
of facta, concepts, generalizations and theories,
3. A method of approach to knowledge, i.e
process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge
(Dufty, 1986:154).
Rujukan
ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah
ilmu pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual
structur menghasilkan berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin
bidang studi merupakan suatu synthentic discipline, baik dilihat dari
perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan dasar dan
menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun
(Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Pendidikan
Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat
sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan
kumpulan dari berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan
dari para pakar, khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan
telah diuji kebenarannya. Menurut pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu
pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila suatu pengetahuan memenuhi
persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis, eksperimental,
memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.1.1. Pendidikan
agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya,
yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
3.1.2. Secara
umum, tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak mulia”.
3.1.3. Pendidikan
akhlak dapat diartikan sebagai perbuatan (hal,cara) mendidik atau (ilmu, ilmu
didik, ilmu mendidik) pengetahuan tentang pendidikan, dan pemeliharaan
(latihan-latihan) badan, batin, dan jasmani.
3.1.4. Akhlak
itu terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah atau dalam
bahasa Indonesia itu adalah akhlak baik dan akhlak buruk.
3.1.5. Nilai
atau value berasal dari bahasa Latin valare atau bahasa Perancis Kuno valoir
yang artinya nilai. Sebatas arti denotatifnya, valare, valoir, value atau nilai
dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras dengan definisi nilai menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai harga (dalam arti taksisran
harga).
3.1.6. Pengajaran bahasa melibatkan sekurang‑kurangnya tiga
disiplin, yakni linguistik, psikologi dan ilmu pendidikan.
3.1.7. Pendekatan,
metode, dan teknik pendidikan bahasa ialah Grammar
Translation Method, Gouin and
The Series Method, Audiolingual Method, Cognitive Code Learning, Community Language Learning, Suggestopedia, Silent
Way, Total Physical Response (TPR), dan The
Natural Approach.
3.1.8. Pendidikan kewarganegaraan dalam
pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis
didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good
citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan.
Asmaran.
1992. Pengantar Studi Akhlak.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Brown,
H.D. 2001. Teaching by Principles.
Englewood Cliffs: Prentice Hall Regents.
Darajat.
1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
Djahiri,
Kosassih. (1992). Menulusuri Dunia
Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: LPPMP.
Hers.
Richard H. et al. (1980). Model of Moral
Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.
Mulyana,
Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan
Nilai. Bandung: Alfabeta.
Mustofa.
1997. Akhlak Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Prator,
C.H. and Celce-Murcia, M. 1979. An Outline of Language Teaching Approaches. In
Celce Murcia, M. and McIntish, L (Ed.) eaching
English as a Second or Foreign Language. New York: Newbury House.
Richards,
J.C., and Rogers, Theodore. 1986. Approaches
and Method in Language Teaching. Cambridge University Press.
Tafsir.
1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam. Bandung: Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar