Senin, 18 Mei 2015

Pendidikan Disiplin Ilmu (Pendidikan Agama, Akhlak, Nilai, Bahasa, dan Kewarganegaraan)


Pendidikan Disiplin Ilmu
(Pendidikan Agama, Akhlak, Nilai, Bahasa, dan Kewarganegaraan)

Disusun oleh:
Nia Kurniawati
NIM: 2013820046

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dunia ini diciptakan bagi seluruh makhluk. Namun, baik buruknya dunia ini tergantung atas manusia yang ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. Kadang kala manusia tidak mampu bersyukur atas dirinya yang telah ditetapkan sebagai khalifah. Untuk mampu mengelola dunia dengan baik, maka manusia perlu belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Ilmu pengetahuan saja tidak cukup bagi manusia untuk mengelola bumi ini, maka dari itu manusia juga perlu memiliki pendidikan. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Ini berarti, melalui pendidikan seharusnya terjadi proses belajar untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk hidup bermasyarakat.
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan tidak hanya untuk memanusiakan manusia tetapi juga agar manusia menyadari posisiya sebagai khalifatun fil ardhi, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan dirinya untuk menjadi manusia yang bertaqwa, beriman, berilmu dan beramal sholeh.
Pendidikan memiliki peranan penting bagi warga negara. Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh karena itu, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan menyusun makalah mengenai ilmu  “Pendidikan Sebagai Disiplin Ilmu” yang difokuskan pada pembahasan pendidikan agama, akhlak, nilai, bahasa, dan pendidikan kewarganegaraan.

  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pendidikan Agama
Menurut Wahyuni Nafis (2003) pengajaran pendidikan agama yang paling utama adalah membersihkan, mengingatkan, dan menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia, sehingga fitrah itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola piker dan perbuatan atau tindakan seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan agama adalah menggugah “fitrah insaniyah” dan membantu memunculkan kembali potensi kebaikan yang telah ada dalam diri tiap orang.
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Depdiknas (2001:8) menyatakan bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, mengahayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dan menjalankan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Hadist melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan serta penggunaan pengalaman.
Secara umum, tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Menurut Kurikulum 2004, pendidikan agama mempunyai fungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. Sedangkan, tujuan pendidikan agama menurut Kurikulum 2004 yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
2.1.1.      Problematika Pendidikan Agama
2.1.1.1.Pendidikan Agama sebagai Sebatas Formalitas
Sebagian besar umat beragama dalam memandang agamanya hanya sebatas masalah ritual dan segi-segi formalitas dalam agama. Seolah apa yang disebut agama adalah seperangkat gerakan dan bacaan-bacaan serta do’a-do’a dalam ritual sembahyang dan ibadat. Dalam agama islam, ritual seperti itu terumuskan dalam apa yang disebut sebgai Rukun Islam.
Tindakan ritual dan segi-segi formalitas agama itu baru mempunyai makna hakiki jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu  kedekatan kepada Tuhan sehingga memiliki kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani hidup di dunia dan dalam mencapai pengalaman transcendental. Wujud kedekatan kepada Tuhan itulah yang akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan perilaku yang terpuji (akhlakul karimah), sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan kepada sesama manusia.

Dengan demikian agama merupakan keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup. Tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berakhlak mulia atas dasar percaya atau beriman kepada Tuhan dan tanggungjawab pribadi di hari kemudian. Pandangan atas agama semacam inilah yang seharusnya menjadi arah pengajaran agama di sekolah.
Karena itu, tugas dan tanggungjawab atas pendidikan agama di sekolah tidak hanya pada guru agama saja, tetapi merupakan tanggungjawab sekolah secara keseluruhan. Lingkungan sekolah harus mendukung dan menjadi laboratorium bagi pengajaran pendidikan agama. Dengan demikian, lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi para siswa benar-benar bisa member pendidikan dan pelatihan tentang “bagaimana caranya beragama”.
Pengajaran pendidikan agama yang paling utama adalah membersihkan, mengingatkan, dan menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia, sehingga fitrah itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola piker dan perbuatan/tindakan seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan agama adalah menggugah “fitrah insaniyah” dan membantu memunculkan kembali potensi kebaikan yang telah ada dalam diri tiap orang.
Dengan pemikiran di atas tampak bahwa masalah pendidikan agama terletak pada pertama, bagaimana orang mendefinisikan agamanya, sekaligus definisi itu akan menjadi arah dan spirit pengajaran pendidikan agama. Kedua, paradigm yang digunakan dalam pengajaran pendidikan agama. Ketiga, tujuan pengajaran pendidikan agama.
2.1.1.2.Lemahnya Kualitas Pendidik
Anak didik dibentuk oleh empat factor. Pertama, ayah yang berperan utama dalam membentuk kepribadian anak. Bahkan dalam Al-Qur’an hampir semua ayat tentang  pendidikan anak, yang berperan adalah ayah. Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu. Ketiga, apa yang dibacanya (ilmu); dan keempat, lingkungan. Jika keempat factor ini baik, anak akan baik, begitu pun sebaliknya.
Empat factor ini  belum tentu semuanya terwujud. Ketika Allah SWT menetapkan bahawa Nabi Muhammad stebagai utusan-Nya, maka yang membentuk kepribadiannya adalah Allah SWT. Sebab, bila diserahkan kepada masyarakat atau keluarga, maka ia tidak akan sempurna, bisa jadi keliru. Dalam hal ini, Tuhan yang melakukan, sedangkan masyarakat atau keluarga diberi peranan yang sangat sedikit. Itu sebabnya bila telah selesai peranan ayah, maka dia diambil-Nya meninggal dunia. Ini karena Tuhan tidak mau beliau dididik bapaknya. Begitu lahir dibawa ke desa dan ketika usia remaja baru ketemu ibunya. Namun, ibunya pun kemudian diambil-Nya. Selain itu, beliau lahir di lingkungan dengan gaya hidup yang terbelakang, bahkan hampir tidak tersentuh oleh peradaban. Padahal, waktu itu Mesir, Persia, dan India semuanya sudah maju. Dalam hal ini, Allah SWT ingin mendidik langsung beliau untuk menjadi seorang pendidik, yakni figure yang diteladani bagaimana seharusnya mendidik. Itu sebabnya beliau bersabda, “Addabani Rabbii fa Ahsana Ta’dibi” (yang mendidik saya itu adalah Tuhan).
Kita ambil beberapa inti dari kisah Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “bila ingin anak yang membawa namamu itu tumbuh berkembang dengan baik, maka pilih-pilihlah tempat kamu meletakkan spermamu, karena gen itu menurun”. Jadi, sebelum anak kita lahir kita harus memilih hal yang baik, karena gen ini mempengaruhi keturunan.

2.2. Pendidikan Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa arab, jamak dari “khuluqun” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. (Mustofa, 1997: 19). Menurut pengertian sehari-hari umumnya akhlak itu disamakan dengan budi pekerti, kesusilaa, dan sopan santun. Khalq merupakan gambaran sifat batin manusia, akhlak merupakan gambaran bentuk lahir manusia, seperti raut wajah dan body. Dalam bahasa Yunani pengertian khalq ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.  
Pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai perbuatan (hal,cara) mendidik atau (ilmu, ilmu didik, ilmu mendidik) pengetahuan tentang pendidikan, dan pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin, dan jasmani.
Akhlak itu terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah atau dalam bahasa Indonesia itu adalah akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlak mahmudah (baik/terpuji) berarti akhlak yang dapat membuat oranglain senang apabila kita melakukannya dan dicintai Allah SWT. Sedangkan akhlak madzmumah (buruk/tercela) adalah akhlak yang membuat oranglain marah, sedih dan kecewa apabila kita melakukannya, akhlak buruk sangat dibenci Allah SWT.
Dalam masyarakat kita, akhlak baik dan buruk memiliki ukuran tersendirinya. Artinya akhlak baik dan buruk akan terlihat dengan ukuran yang berlaku di masyarakat. Dalam melihat ukuran akhlak baik dan buruk dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu:

1.      Pengaruh adat kebiasaan
Adat istiadat mengangap baik bila mengikutinya dan menanam perasaan kepada mereka bahwa adat istiadat itu membawa kesucian. Apabila seorang dari mereka menyalahi adat istiadat, sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsa.
2.      Kebahagiaan (Hedonism)
Kebanyakan filosofi berpendapat bahwa tujuan akhir dari hidup dan kehidupan manusia ialah untuk mencapai kebahagiaan. Perbuatan manusia dapat dikatakan baik bila ia mendatangkan kebahagiaan, kenikmatan dan kelezatan.
3.      Intuisi (Intuition)
Intuisi merupakan kekuatan bathin yang dapat mengenal sesuatu yang baik dan buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Paham ini berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kekuatan batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan baik dan buruk. Kekuatan ini dapat berbeda antara seorang dengan yang lainnya karena perbedaan masa. Tetapi tidak berakar dalam tiap tubuh individu.
4.      Evolusi (Evolution)
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alama ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya.
2.2.1. Akhlak Inti Ajaran Agama Islam
Akhlak merupakan fungsionalisasi agama. Artinya, keberagaman menjadi tidak  berarti bila tidak dibuktikan dengan akhlak. Akhlak merupakan perilaku sehari-hari yang dicerminkan dalam ucapan, sikap dan perbuatan. Dalam kerangka yang lebih luas lagi, berakhlak berarti hidup untuk menjadi rahmat sekalian alam. Artinya, hidup berguna bukan hanya untuk umat Islam, tetapi untuk keseluruhan umat manusia dan alam sekitarnya.  
Dalam pendidikan Islam , pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia sebagai bekal hidupdi akhirat. Pendidikan Islam sangat identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam aspek praktis dan metodologis ajaran Islam mengacu pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum. Kedudukan Al-Qur’an dalam pendidikan merupakan sumber pokok pendidikan islam. Sehingga pendidikan tidak hanya menghasilkan kajian ilmu teoritik  sematma, tetapi lebih mengarah kepada upaya menciptakan masyarakat yang memiliki akhlak yang mulia. (Munzier, 2000: 54).
Pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai  yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “khalifah” di muka bumi, yaitu:
1.      Menanamkan sikap hubungan yang seimbang, selaras dengan Tuhannya.
2.      Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, seimbang dengan masyarakat.
3.      Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan-Nya bagi kepentingan kesejahteraan manusia dengan disikapi pola hubungan yang harmonis. (Tafsir, 1991: 18)
2.2.2. Pendidikan Akhlak Dasar Pembinaan Moral Bangsa
Realitas pendidikan selama ini dianggap sebagai pabrik intelektual yang mampu melahirkan actor-aktor pembangunan yang cerdas dan berkepribadian, juga memiliki kemampuan untuk dapat mewariskan budaya (transmition of culture) dan mampu memprediksi masa depan.
Dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai luhur Islam, dalam praktek pendidikan diperlukan nilai-nilai akhlak dan melibatkan pada operasional nilai-nilai tersebut. Pendidikan Islam yang mengutamakan pendidikan akhlak tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mentransformasi ilmu pengetahuan secara akademik lewat jalur pendidikan formal, akan tetapi pada dasarnya merupakan sebuah institusi social, fungsi pendidikannya secara ideal menjadi fungsi budaya untuk melestarikan dan mengembangkan system nilai masyarakatnya sebagai suatu organized intelegence. Maka pendidikan akhlak menjadi sentrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menyelenggarakan sebuah lingkungan masyarakat yang beradab. (Zamroni, tt: 6)
2.2.3. Tugas Guru dalam Pendidikan Akhlak
Dalam literature yang ditulis oleh para ahli pendidikan Islam, tugas guru memiliki peran yang strategis dalam rangka meningkatkan kemempuan (kognisi, afeksi dan motorik) anak didik. Selain itu juga, guru berupaya mengarahkan anak didik untuk menuju manusia paripurna. Di antara tugas guru antara lain:
1.      Guru harus mengetahui karakter seorang murid.
2.      Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
3.      Guru harus mampu mengantarkan anak didik ke arah pembentukan moral/akhlak mulia. (Tafsir, 1991: 5
Ketiga tugas guru ini, merupakan sebagian dari beberapa tugas pokok seorang guru. Namun demikian, ketiganya dianggap mewakili dari sekian jumlah tugas guru. Untuk itu, seorang guru perlu dibantu dengan kekuatan dirinya sendiri dalam upaya “menolong” anak didiknya menjadi manusia yang mampu mengamalkan nilai-nilai normative dalam lingkungannya.

2.3.Pendidikan Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. (Poewardarminta, 1984). Nilai padanan kata dalam bahasa Inggrisnya adalah value. Sementara value sendiri artinya “quality of being useful or desireable” (AS. Hornby 1982). Nilai atau value berasal dari bahasa Latin valare atau bahasa Perancis Kuno valoir yang artinya nilai. Sebatas arti denotatifnya, valare, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras dengan definisi nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai harga (dalam arti taksisran harga).
Batasan tentang nilai dapat mengacu kepada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perasaan seseorang dan orientasinya (Pepper dalam Soelaeman, 2005).
Dalam makna luas nilai merupakan ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Nilai-nilai tersusun secara hierarkis dan mengatur rangsangan kepuasan hati dalam mencapai tujuan kepribadiannya. Kepribadian dari system sosio-kultural merupakan syarat dalam susunan kebutuhan rasa hormat terhadap keinginan yang lain atau kelompok sebagai suatu kehidupan social yang besar. Sehingga Soebino (1986) menjelaskan bahwa nilai adalah pegangan hidup yang dijadikan landasan untuk melakukan sesuatu. Suatu nilai baru dapat dipandang sebagai pegangan hidup  apabila penganutnya bersedia untuk melakukan segalanya demi nilai itu.
Kattsoff (Soemargono, 2004) mengungkapkan bahwa hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.    
Untuk mendapat rumusan yang jelas, Robin M. Williams dalam Soelaeman (2005) mengemukakan bahwa ada empat buah kualitas tentang nilai-nilai, yaitu:
  1. Nilai-nilai mempunyai sebuah elemen konsepsi yang lebih mendalam dibandingkan dengan hanya sekedar sensasi, emosi, atau kebutuhan
  2. Nilai-nilai penuh dengan semacam pengertian yang memiliki suatu aspek emosi.
  3. Nilai-nilai bukan merupakan tujuan kongkret dari tindakan, tetapi mempunnyai hubungan dengan tujuan.
  4. Nilai-nilai merupakan unsur penting dan tidak dapat disepelekan bagi orang yang bersangkutan.
Nilai berhubungan dengan aspek keyakinan manusia dalam menentukan pilihannya, ia bersifat abstrak namun riil adanya. Rescher (1969) mengemukakan bahwa nilai dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
  1. Pengakuan, yaitu pengakuan subjek tentang nilai yang harus dimiliki seseorang atau suatu kelompok, misalnya nilai profesi, nilai kesukuan atau nilai kebangsaan.
  2. Objek yang dipermasalahkan, yaitu cara mengevaluasi suatu objek dengan berpedoman pada sifat objek yang dinilai, seperti manusia dinilai dari kecerdasannya, bangsa dinilai dari keadilan hukumnya.
  3. Keuntungan yang akan diperoleh, yaitu menurut keinginan, kebutuhan, kepentingan atau minat seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan, contohnya kategori nilai ekonomi, maka keuntungan yang diperoleh berupa produksi.
  4.  Tujuan yang akan dicapai, yaitu berdasarkan tipe tujuan tertentu sebagai reaksi keadaan yang dinilai, contohnya nilai akreditasi pendidikan.
  5. Hubungan antara pengembang dengan nilai keuntungan : (1) Nilai dengan orientasi pada diri sendiri (nilai egosentris), yaitu dapat mempertahankan keberhasilan dan ketentraman. (2)  Nilai dengan orientasi pada oranglain, yaitu orientasi kelompok:
·         Nilai yang berorientasi pada keluarga hasilnya kebanggaan keluarga
·         Nilai yang berorientasi pada profesi hasilnya nama baik profesi
·         Nilai yang berorientasi pada bangsa hasilnya patriotisme
·         Nilai yang berorientasi pada masyarakat hasilnya keadilan social
·         Nilai yang berorientasi pada kemanusiaan yaitu nilai-nilai universal.
2.3.1.      Pendidikan Nilai Sebagai Kajian
Deskripsi pendidikan nilai mencakup keseluruhan dimensi pendidikan. Tujuan pendidikan nilai yang ideal adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya yang berimplikasi pada pendidikan nilai sebagai keseluruhan praktek pendidikan di sekolah. Karena itu, pendidikan nilai berarti keseluruhan dimensi pendidikan yang dilakukan melalui pengembangan baik kegiatan kurikulum, ekstrakurikuler, dan seluruh kegiatan belajar mengajar yang dikatakan sebagai upaya penanaman nilai dalam pendidikan.
Untuk membahas pendidikan nilai sebagai kajian ilmiah, maka terlebih dahulu mencari sebuah model sebagai konsep awal. Model adalah sebuah bentuk konstruksi yang dapat berwujud konsep atau market yang menggambarkan secara lengkap sebuah pemikiran atau gambaran bentuk fisik sebuah benda dalam skala yang lebih kecil. Terdapat empat model pendidikan budi pekerti yaitu teknik pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan tindakan social (Hers, 1980).
2.3.2.      Landasan- landasan Pendidikan Nilai
Terdapat empat landasan yang akan dikemukakan dalam pendidikan nilai, yaitu sebagai berikut:
2.3.2.1.Landasan Filosofis
         Landasan filosofis adalah landasan yang berkaitan dengan hakekat pendidikan. Landasan ini berusaha menelaah masalah pokok seperti apakah pendidikan nilai itu, mengapa pendidikan nilai dibutuhkan, apa tujuan pendidikan nilai. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh, dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan dunia. Konsepsi tersebut pada umumnya bersumber dari factor religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan, serta ilmu pengetahuan yang mengandalkan penalaran. (Tirtarahardja, 2005).
2.3.2.2. Landasan Psikologis
         Kekhasan psikologi dalam menelaah manusia terletak pada pandangannya bahwa manusia sebagai individu selalu tampil unik. Keunikan manusia dilihat dari sisi mental dan tingkah lakunya berimplikasi pada asumsi psikologis berikutnya bahwa pada hakikatnya tidak ada seorang pun anak manusia yang sama persis dengan anak manusia lainnya. Asumsi seperti itu memang dapat terkesan ekstrim karena dapat menafikan kebenaran generalisasi atau teori perkembangan mental manusia yang dihasilkan dari tafsiran kecenderungan umum perkembangan dunia psikologis manusia.
         Psikologi mencoba untuk menarik batas-batas kemiripan melalui kaidah-kaidah perkembangan mental manusia beserta ciri-ciri perilakunya. Keutuhan manusia sebagai organisasi dijelaskan melalui aspek-aspek psikis yang berkembang secara dinamis. Demikian pula perbedaan individu ditarik pada prinsip-prinsip dasar perkembangan yang mewakili setiap fase pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan berdasarkan kaidah-kaidah umum psikologi seperti itu landasan psikologis pendidikan nilai berkaitan dengan dimensi motivasi dan perbedaan individual.
         Setiap orang memiliki motivasu untuk bertindak sesuai dengan keinginan, minat, dan kebutuhannya. Motivasi merupakan penyebab yang diduga telah mendorong seseorang ke arah perilaku atau tindakan tertentu. Karena itu dalam kajian psikologi, motivasi sering dipertimbangkan sebagai jawaban pertanyaan ‘mengapa’ suatu tindakan itu lahir pada diri seseorang.
         Motivasi menjadi dasar utama bagi seseorang atau individu. Tanpa motivasi, mustahil terdapat kekuatan pendorong yang ada dalam diri individu, dan adanya motivasi memungkinkan berbagai aktivitas manusia mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai.
         Siagian (1995: 138-139) mengemukakan bahwa dalam motivasi itu terdapat tiga komponen utama, yaitu kebutuhan, dorongan, dan tujuan, yang selanjutnya menjelaskan bahwa:
Kebutuhan timbul dari diris seseorang apabilaia merasa adanya kekurangan dalam dirinya. Dengan kata lain, apabila dirasakan adanya ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang menurut persepsi yang bersangkutan seyogyanya dimiliki. Dorongan berarti usaha pemenuhan kekurangan secara terarah. Dengan demikian, dorongan berorientasi pada tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang. Sedangkan tujuan berarti mengembalikan keseimbangan dalam diri seseorang, baik yang bersifat fisiologis maupun yang bersifat psikologis.

2.3.2.3. Landasan Sosiologis-Antropologis
         Manusia hidup berkelompok dan tidak dapat hidup tanpa bantuan oranglain. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai makhluk social. Manusia hidup berkelompok dengan ciri-cirinya; ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada ketergantungan, ada kerjasama, ada komunikasi, dan ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam suatu kelompok dengan individu yang hidup di kelompok itu.
         Target utama pendidikan nilai secara social budaya adalah membangun kesadaran interpersonal yang mendalam. Peserta didik dibimbing untuk mampu menjalin hubungan social secara harmonis dengan oranglain melalui sikap dan perilaku yang baik sehingga mereka dapat hidup secara sehat dan harmonis dalam lingkungan sosialnya.
2.3.2.4. Landasan Estetik
         Cita rasa yang biasa dikatakan memiliki nilai estetika adalah bagian dari kehidupan manusia karena makhluk manusialah yang hanya memiliki cita rasa keindahan. Cita rasa keindahan melibatkan semua domain yang ada pada diri seseorang dan yang paling dominan adalah aspek perasaan.
         Maxine Grenee menyatakan bahwa nilai estetik perlu diajarkan kepada peserta didik agar mereka mengetahui bagaimana cara belajar yang bermakna. Menurutnya, pembelajaran estetika mesti memiliki vital center sebagai focus, yakni suatu titik ketika proses belajar diperlakukan sebagai ajang penyadaran nilai-nilai keindahan dan penyertaan timbangan rasa secara optimal. (Mulyana, 2004).
2.3.3.      Konsep Pendidikan Nilai
            Sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai. Ini penting, untuk member variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.
            Djahri (1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti yaitu:
1.      Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya.
2.      Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap.
3.      Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah.
4.      Value clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
5.      Value analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakkukan analisis nilai moral.
6.      Moral awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu.
7.      Commitment approach, yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai.
8.      Union approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.

2.4.   Pendidikan Bahasa
Pengajaran bahasa melibatkan sekurang‑kurangnya tiga disiplin, yakni linguistik, psikologi dan ilmu pendidikan. Linguistik memberi informasi kepada kita mengenai bahasa secara umum dan mengenai bahasa‑bahasa tertentu. Psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu, dan Ilmu Pendidikan atau Pedagogi memungkinkan kita untuk meramu semua keterangan dan menjadi satu pendekatan,  metode, dan teknik yang sesuai dipakai di kelas untuk memudahkan proses belajar‑mengajar bahasa.
Sejalan dengan perkembangan ilmu linguistik dan ilmu psikologi ini, metode‑metode itu mencerminkan disiplin-­disiplin tersebut di atas, juga ikut berubah. Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan “Apa bahasa itu?" dan "Ba­gaimana bahasa itu dipelajari orang?", dan “Metode apa yang paling baik untuk mengajar bahasa kedua/asing?” sehingga kita masih tetap mencari‑cari jawaban yang tepat atas pertanyaan yang di­ajukan tersebut.
Ada kemungkinan bahwa apa yang sekarang dianggap metode pengajaran bahasa kedua/asing yang paling baik ternyata tidak mernuaskan apabila diperoleh penemuan -penernuan yang datang dari bidang linguistik dan psiko­logi.
Kalau kita meninjau perubahan‑perubahan yang paling menonjol dalam linguistik dan psikologi hingga dewasa ini, yang berpengaruh besar pada pendidikan bahasa sejak era 1970-an, yaitu Grammar  Translation Method, Gouin and The Series Method, Audiolingual Method, Cognitive Code Learning, Community Language Learning, Suggestopedia, Silent Way, Total Physical Response (TPR), dan The Natural Approach.
2.4.1.      Pendekatan, Metode, dan Teknik
Pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique) merupakan tiga istilah yang sering digunakan dalam bidang pengajaran bahasa. Mengingat kentalnya hubungan ketiga istilah tersebut karena merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka semua istilah tersebut sering dianggap sama sehingga sering dipakai secara bergantian. Padahal masing-masing istilah tersebut memiliki makna tertentu yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Pendekatan biasa diartikan sebagai cara memulai sesuatu. Atau sering diartikan dengan pengertian yang lebih luas yaitu sebagai seperangkat asumsi tentang hakekat bahasa, pengajaran bahasa, dan proses belajar bahasa. Edward Anthony memaknai pendekatan sebagai satu latar belakang filosofis mengenai pokok bahasan yang hendak diajarkan (Brown, 2001:14).
Berbeda dengan pendekatan, dalam dunia pengajaran metode merupakan rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Jadi metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan pendekatan bersifat aksioma dan metode bersifat prosedural. Tidak aneh apabila dari satu pendekatan biasanya akan muncul pemakaian beberapa metode.
Berbeda dengan pendekatan dan metode, teknik mengandung pengertian cara-cara dan alat-alat yang digunakan guru dalam kelas. Teknik adalah daya upaya, usaha-usaha, atau cara-cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan pengajaran pada waktu itu. Jadi teknik tiada lain hanyalah kelanjutan dari metode, sedangkan arahnya harus sesuai dengan pendekatan.
Dengan melihat penjelasan-penjelasan di atas, dapatlah kita pahami bersama bahwa ketiga istilah (pendekatan, metode, dan teknik) tersebut jelas berbeda. Tetapi istilah-istilah tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan mengingat antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi.
Para pakar bahasa hingga saat ini masih meneliti alternatif pendekatan, metode, dan teknik yang tepat digunakan dalam pembelajaran bahasa (bahasa asing).
2.4.1.1. The Grammar  Translation Methode
Metode ini lahir dari dua metode, yaitu The Translation Methode dan The Grammar  Methode.  Metode “Translation” sering juga disebut "metode tradisional". Ini tidak berarti bahwa metode ini yang paling tua. Istilah "tradisional" mungkin dipakai dalam arti bahwa metode ini merupakan pencerminan yang paling tepat dari cara baha­sa‑bahasa Yunani kuno dan Latin diajarkan selama berabad-­abad.
Metode ini berdasarkan asumsi bahwa ada satu "logika semesta" (universal logic) yang merupakan dasar semua ba­hasa di dunia ini, dan bahwa tata bahasa adalah cabang dari logika. Kategori‑kategori tata bahasa  Indo‑European (yang diwakili oleh bahasa Latin) dianggap kategori‑kategori yang ideal. Banyak ilmuwan pada abad ke‑19 menganggap bahwa bahasa‑bahasa Eropa modern adalah pencampuran yang kurang baik dari tata bahasa klasik (tradisional) yakni bahasa Latin, dan bahwa bahasa-­bahasa lain di dunia ini (bahasa‑bahasa di luar Eropa) sebagai bahasa‑bahasa yang masih "primitif dan belum ber­kembang" (Brown,2001:18).
Langkah‑langkah penyajian ”Grammar  Translation Methode” adalah:
1.      Guru mulai dengan mernberikan definisi‑definisi jenis kata, imbuhan jenis kata itu, kaidah‑kaidah yang harus dihafalkan dalam BS (Bahasa Sumber), contoh‑contoh yang menggaris­bawahi kaidah‑kaidah BT (Bahasa Target), dan perkecualian‑perkecuali­an kaidah‑kaidah BT yang diajarkan itu.
2.      Guru melatih pelajar dalam terjemahan kalimat‑kalimat dan kemudian paragraf-paragraf. Materi yang digunakan dipilih dari buku‑buku sastra yang bahasanya me­miliki ragam yang "estetis". Para pelajar diharapkan untuk mengenal kaidah‑kaidah tata bahasa yang telah dihafalkan, dan menerapkannya pada terjemahannya. Ini melibatkan suatu pernikiran yang rumit mengenai pengimbuhan jenis‑jenis kata yang telah dihafalkan, agar sesuai dengan terjernahan yang diminta oleh guru.
3.      Guru memberi daftar kosakata untuk dihafalkan. Kata­kata itu lepas dari konteks kalimat, dan guru menyuruh para pelajar untuk memberi terjernahan kosakata BT itu.
4.      Guru memberi pekerjaan rumah berupa persiapan terjernahan  halaman-halaman dari buku sastra itu un­tuk dibicarakan pada perternuan berikutnya.
 Metode Translation (the Translation Method) berisi kegiatan-kegiatan penerjemahan teks yang dilakukan dari hal mudah ke hal yang sulit. Pertama dari bahasa sasaran ke bahasa ibu dan sebaliknya. Penerjemahan teks dilakukan dengan cara penerjemahan kata per kata maupun gagasan per gagasan termasuk ungkapan-ungkapan idiomatik.
Perpaduan dua metode tersebut di atas melahirkan metode “Grammar-Translation” (the Grammar Translation Method / GTM) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Pengajaran dimulai dengan pemberian kaidah-kaidah gramatika dan mengacu pada kerangka gramatika formal.
Ø  Kosakata yang diajarkan bergantung pada teks yang dipilih sehingga tidak ada kesinambungan antara kelompok atau daftar kosakata yang satu dengan yang lainnya.
Ø   Penghafalan dan penerjemahan merupakan ciri kegiatan yang menonjol, yaitu menghafal dan menerjemahkan kosakata dan kaidah gramatika.
Ø  Pelafalan tidak diajarkan atau sangat dibatasi hanya pada beberapa aspek saja.
Ø  Lebih menekankan pada ketrampilan membaca dan menulis daripada menyimak dan berbicara.
Dari uraian di atas, GTM dapat didefinisikan sebagai metode pengajaran bahasa melalui analisis kaidah-kaidah bahasa secara rinci dan diikuti dengan penerapan pengetahuan tentang kaidah-kaidah tersebut untuk tujuan penerjemahan kalimat-klimat dan teks-teks, baik dari bahasa sasaran (Bahasa Target) ke bahasa ibu atau sebaliknya. 
2.4.1.2.   Gouin and The Series Method
Metode ini telah dimulai pada akhir 1800 dengan Francois Gouin. Seorang guru dari Prancis yang luas wawasannya tentang bahasa Latin (Brown,2001:19).  Metode ini mirip dengan Metode Langsung (Direct Method). Metode ini memerlukan deskripsi bahasa yang tidak membolehkan komunikasi antara peserta didik. Metode “Gouin Seri” adalah metode belajar bahasa yang langsung tanpa terjemahan dan tanpa konsep aturan tata bahasa.
Belajar bahasa kedua dengan metode “Gouin Seri” dibuat mirip belajar bahasa pertama, banyak interaksi lisan, penggunaan bahasa secara spontan, tidak ada terjemahan antara bahasa pertama dan kedua, merespon kelas pertama melalui pantomim.
Metode ini didasarkan atas tahapan pemerolehan bahasa pada anak. Metode ini didasarkan pada prinsip pengajaran bahasa adalah mentransformasi persepsi ke dalam konsep. Metode ini adalah sebuah metode yang mengajarkan siswa secara langsung dan terkonsep serangkaian kalimat-kalimat yang berhubungan yang mudah diterima.
Contoh kalimat yang dipakai dalam mempelajari bahasa dengan “Metode Seri Gouin” adalah seperti berikut:
Ø  Saya berjalan menuju pintu.
Ø  Saya menggambar dekat dengan pintu.
Ø  Saya menggambar dekat pintu.
Ø  Saya sampai ke pintu.
Ø  Saya berdiri di depan pintu.
Ø  Saya membuka pintu.
Ø  Saya menarik pintu.
Kalimat-kalimat yang dicontohkan di atas mempunyai kaidah gramatika , kosa kata, dan hubungan antar kata yang lengkap, sehingga mudah dimengerti, mudah diingat, dan berhubungan dengan realitas keseharian.
2.4.1.3. The Direct Method
Pendekatan ini pada awalnya dikembangkan sebagai reaksi terhadap pendekatan “terjemahan tata bahasa” dalam upaya untuk lebih mengintegrasikan penggunaan bahasa target dalam pengajaran dan komunikasi di dalam kelas, dengan dengan menghindari teknik penerjemahan bahasa pertama. Metode ini mirip dengan metode “Seri Gouin” yaitu, bahwa belajar bahasa kedua harus mirip dengan pembelajaran bahasa pertama; banyak interaksi lisan, dan sedikit aturan analisis gramatikal.
Pembelajaran dengan “Direct Method” atau metode langsung dimulai dengan dialog lisan dan gambar, bahasa ibu tidak digunakan dan ada terjemahan. Pilihan jenis latihan adalah rangkaian pertanyaan dalam bahasa target berdasarkan dialog yang lucu atau “anecdotal naratif.” Pertanyaan akan dijawab dalam bahasa target.
Tata bahasa yang diajarkan biasanya secara induktif, yaitu dari praktek dan pengalaman dengan bahasa target. Kegiatan belajar dilanjutkan dengan membaca karya sastra yang disenangi. Teks tidak dianalisis secara gramatikal. Budaya yang terkait dengan bahasa target diajarkan secara induktif. Unsur budaya dianggap aspek penting dalam pembelajaran bahasa.
Pengajaran langsung merupakan revisi dari “Grammar Translation Method” karena metode ini dianggap tidak dapat membuat siswa dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing yang sedang dipelajari. Dalam proses pembelajaran, penerjemahan dilarang digunakan.
Proses pembelajaran dengan “Direct Method”, guru menyuruh siswa untuk membaca nyaring, lalu guru memberi pertanyaan dalam bahasa yang sedang dipelajari. Selama proses pembelajaran berlangsung, realita seperti peta atau benda yang sesungguhnya bisa dipergunakan. Guru bisa menggambar atau mendemonstrasikan. Teknik-teknik dalam Direct Method (Brown,2001:21) yaitu:
1.      Reading aloud
2.      Question and answer exercise
3.      Getting students to self-correct
4.      Conversation practice
5.      Fill-in-the-blanks
6.      Dictation
7.      Map drawing
8.      Paragraph writing
2.4.1.4.   The Audiolingual Method
Metode ini didasarkan pada prinsip-prinsip perilaku psikologi.  Metode ini banyak diadaptasi dari prosedur “Direct Method” sebagai reaksi terhadap kurangnya keterampilan berbahasa. Materi baru disajikan dalam bentuk dialog. Berdasarkan prinsip bahwa pembelajaran bahasa adalah suatu bentuk kebiasaan dan peniruan.
Alur pembelajaran dengan “Metode Audiolingual,” secara bertahap  menggunakan pola latihan berulang atau “repetitif drills,” sedikit penjelasan tentang tatabahasa (tata bahasa diajarkan secara induktif).
Urutan keterampilan berbahasa yang diajarkan adalah mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Kosakata sederhana dipelajari dalam suatu konteks. Poin pengajaran ditentukan oleh adanya analisis antara B1 dan B2. Terdapat banyak penggunaan laboratorium bahasa, kaset dan alat. Ada perpanjangan periode pra-membaca di awal pelatihan. Sangat mementingkan pronounsiasi. Penggunaan bahasa ibu oleh pengajar diperbolehkan agar memudahkan pembelajar. Ketepatan tanggapan pembelajar sangat diperhatikan untuk menghindari kesalahan. Ada kecenderungan untuk terlalu berfokus pada bahasa target dengan mengabaikan isi dan makna kebahasaan.
Istilah audio-lingualisme pertama-tama dikemukakan oleh Prof. Nelson Brooks pada tahun 1964. Metode ini mengklaim sebagai metode yang paling efektif dan efisien dalam pembelajaran bahasa asing dan menyatakan sebagai metode yang telah mengubah pengajaran bahasa dari hanya sebuah metode keilmuan bahasa. Audio-Lingual Method (ALM) merupakan hasil kombinasi pandangan dan prinsip-prinsip Linguistik Struktural, Analisis Kontrastif, pendekatan Aural-Oral, dan psikologi Behavioristik. Dasar pemikiran ALM mengenai bahasa, pengajaran, dan pembelajaran bahasa adalah sebagai berikut:
Ø  Bahasa adalah lisan, bukan tulisan
Ø  Bahasa adalah seperangkat kebiasaan
Ø  Ajarkan bahasa dan bukan tentang bahasa
Ø  Bahasa adalah seperti yang diucapkan oleh penutur asli
Ø  Bahasa satu dengan yang lainnya itu berbeda
Richards & Rodgers (dalam Prayogo, 1998:9) menambahkan beberapa prinsip pembelajaran yang telah menjadi dasar psikologi audio-lingualisme dan penerapannya sebagai berikut:
1.      Pembelajaran bahasa asing pada dasarnya adalah suatu proses pembentukan kebiasaan yang  mekanistik,
2.      Ketrampilan berbahasa dipelajari lebih efektif jika aspek-aspek yang harus dipelajari pada bahasa target disajikan dalam bentuk lisan sebelum dilihat dalam bentuk tulis.
3.      Bentuk-bentuk analogi memberikan dasar yang lebih baik bagi pembelajar bahasa daripada bentuk analisis, generalisasi, dan pembedaan-pembedaan penjelasan tentang kaidah-kaidah.
4.      Makna kata-kata yang dimiliki oleh penutur asli dapat dipelajari hanya dalam konteks bahasa dan kebudayaan dan tidak berdiri sendiri.
Richards & Rogers (Brown,2001:23)  juga mengatakan bahwa ketrampilan bahasa diajarkan dengan urutan: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Bentuk kegiatan pengajaran dan pembelajaran ALM pada dasarnya adalah percakapan dan latihan-latihan (drills) dan latihan pola (pattern practice), (Prator & Celce-Murcia, 1979).
Percakapan berfungsi sebagai alat untuk meletakkan struktur-struktur kunci pada konteksnya dan sekaligus memberikan ilustrasi situasi dimana struktur-struktur tersebut digunakan oleh penutur asli, jadi juga sebagai penerapan aspek kultural bahasa target. Pengulangan dan penghafalan menjadi kegiatan yang dominan pada metode ini. Pola-pola gramatika tertentu pada percakapan dipilih untuk dijadikan pola kegiatan latihan. Kegiatan-kegiatan pembelajaran berdasarkan ALM adalah: repetition, inflection, relplacement, restatement, completion, transposition, expansion, contraction, transformation, integration, rejoinders, dan restoration.
2.4.1.5.   Cognitive Code Learning
Belajar dengan kode kognitif atau “Cognitive Code Learning,” merupakan pendekatan yang menekankan pada kesadaran mempelajari bahasa kedua (bahasa target) sebagai aplikasi kehidupan, (Carrol,1966).
Metode ini adalah reaksi dari praktek penggunaan “Metode Audiolinguistik” yang behavioristik dan praktik metode “Grammar Translation. Pada masa itu, para praktisi bahasa merasa perlu mengkaji pengembangan potensi siswa dalam kemampuan berkomunikasi, sehingga diperlukan metode kode kognitif.
2.4.1.6.    Community Language Learning
Metode ini diperkenalkan oleh Charles A. Curran dan rekan‑rekannya (1976). Curran sendiri bukan seorang guru bahasa, melainkan seorang ahli psikologi yang mengambil spesialisasi dalam penyuluhan (counseling). Penerapan teknik‑teknik pe­nyuluhan pada pelajaran pada. umumnya dikenal dengan nama pelajaran penyuluhan (counseling learning). Curran me­ngarang suatu metode khusus untuk mengajar bahasa yang diberi nama "belajar bahasa secara berkelompok" atau BBSB untuk singkatnya (community language learning).
Metode ini sering disebut orang sebagai contoh dari pendekatan humanistis pada pengajaran bahasa (humanistic ap­proach to language teaching).
Menurut Moskowitz, yang di­kutip Richards dan Rodgers (Brown,2001:25), istilah "humanistis" di sini berarti "percampuran dari sernua emosi dan perasaan-­perasaan lain dari pelajar dalam proses belajar‑mengajar BT, yang meliputi, antara lain, harga diri dan perasaan bangga akan pencapaian cita‑cita dengan usaha sendiri (kemandirian).
Teori yang mendasari BBSB ini ialah pernikiran bahwa apa yang sebenarnya dipelajari oleh manusia pada umumnya itu bersifat kognitif dan afektif. Pelajaran disajikan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu suasana yang memungkinkan pelajar (bahasa) berkomunikasi atau berinteraksi dengan se­sama pelajar secara bebas.
Dengan demikian, pelajar (bahasa) mengalami semua masukan dari luar secara menyeluruh, yakni melalui pikiran (kemampuan kognitio) dan perasaannya (kemampuan afektio).
2.4.1.7.   Suggestopedia
Metode ini agak sukar untuk diterjemahkan dengan hanya menggunakan satu atau dua kata, tetapi harus diuraikan dengan menggunakan beberapa paragraf.
Suggestopedia adalah suatu metode yang dikembangkan oleh seorang ahli psikiatri dan pendidikan dari Bulgaria bemama Georgi Lozanov (1979). Seperti diuraikan oleh Lozanov sendiri, dalarn artikelnya yang berjudul Suggestology and Suggestopedy yang dimuat (Blair,1982: 146‑159), dan yang diambil intinya dalam buku ini, suggestopedia berdasarkan tiga asumsi, yakni bahwa:
1.      belajar itu melibatkan fungsi‑fungsi sadar dan di bawah sadar manusia,
2.       pelajar mampu belajar lebih cepat daripada dengan metode‑metode lainnya,
3.      proses belajar‑mengajar dapat terhambat oleh beberapa faktor, yakni; norma‑norma umum dan kendala‑kendala yang lazim berlaku dalam masyarakat, suasana yang kurang serasi dan santai tidak ada atau kurang dalam pengajaran bahasa, dan kekuatan‑kekuatan atau potensi‑potensi dalam diri pelajar yang tidak/kurang dimanfaatkan guru.
Georgi Losanov percaya bahwa dalam proses pembelajaran ada kendala psikologi. Suggestopedia merupakan aplikasi sugesti dalam pedagogi dimana perasaan pembelajar mengalami kegagalan dapat dihilangkan. Dalam model pembelajaran suggestopedia, kendala psikologi pembelajar dapat diatasi (Brown,2001:28).
Dalam mengaplikasikan model pembelajaran ini, ruang kelas ditata sedemikian rupa sehingga berbeda dengan kelas biasa. Siswa duduk di sofa dalam bentuk setengah lingkaran dengan penerangan yang remang-remang. Beberapa poster yang berhubungan dengan materi pembelajaran dipasang di tembok.
Guru menyapa dalam bahasa ibu kemudian meyakinkan siswa/pebelajar kalau nereka tidak perlu berusaha untuk belajar tapi pembelajaran akan berlangsung secara alami. Guru memutar musik klasik kemudian mengarahkan pebelajar untuk rileks dengan cara menarik nafas panjang. Selanjutnya guru mengajak pembelajar berimajinasi tentang materi yang sedang dipelajari. Ketika mereka membuka mata, mereka bermain peran. Setelah itu, guru membaca sambil memperdengarkan musik. Guru tidak memberi pekerjaan rumah.
2.4.1.8.   Metode “Silent Way”
Metode  diam (the silent way) dicetuskan oleh Calch Cattegno (1972), seorang ahli pengajaran bahasa yang me­nerapkan prinsip‑prinsip kognitivisme dan ilmu filsafat da­lam pengajarannya (Brown, dalam Chamot & McKeon 1984:2). Perlu ditekankan di sini bahwa Gat­tegno mengembangkan teori dan metode pelajarannya ter­pisah dari teori Chomsky, meskipun ada banyak persamaan dalam teorinya.
Prinsip‑prinsip filsafat yang merupakan ide‑ide dasar metode ini, adalah antara lain ; Diri seseorang (the self) sama dengan tenaga yang be­kerja dalam tubuhnya melalui pancaindera, dan ber­tujuan untuk mengatur masukan‑masukan dari luar itu. Diri itu membuang yang dianggap tidak berguna dan menyimpan yang dianggap menjadi bagian dari diri itu. Diri ini, sebagai suatu tenaga, bukanlah sama dengan "kerja", melainkan sama dengan "kemampuan untuk bekerja".
Ahli-ahli psikologi kognitif dan bahasa transformasi-generatif beranggapan bahwa belajar bahasa tidak perlu melalui pengulangan. Mereka percaya bahwa pebelajar dapat menciptakan ungkapan-ungkapan yang belum pernah didengar. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa pembelajaran bahasa tidak hanya menirukan tapi aturan-aturan berbahasa dapat membantu mereka menggunakan bahasa yang dipelajari.
Dalam proses pembelajarannya, guru hanya menunjuk ke suatu chart yang berisi dengan vocal konsonan. Guru menunjuk beberapa kali dengan diam. Setelah beberapa saat guru hanya memberi contoh cara pengucapannya. Kemudian menunjuk siswa untuk melafalkan sampai benar. Dalam proses pembelajaran guru banyak berdiam diri, dia hanya mengarahkan/menunjuk pada materi pembelajaran.
2.4.1.9.   Total Respon Fisik
Metode ini juga disebut ‘the comprehension approach’ yang mendekatkan pada pentingnya ‘listening comprehension’. Pada tahap awal pembelajaran bahasa asing terfokus pada pemahaman mendengarkan. Hal ini berdasarkan pada hasil observasi bagaimana anak-anak belajar bahasa ibu. Seorang bayi mendengarkan suara disekelilingnya selama berbulan-bulan sebelum ia dapat menyebut satu kata. Tidak ada seorangpun yang menyuruh bayi untuk berbicara. Seorang anak berbicara ketika ia sudah siap melakukannya.
Pada Natural Approach (dikembangkan oleh Krashen & Terrel), siswa mendengarkan guru yang berkomunikasi  dengan menggunakan bahasa asing mulai awal proses pembelajaran. Guru dapat membantu siswa untuk memahami materi dengan menggunakan gambar dan beberapa kata dalam bahasa ibu. Natural Approach hampir sama dengan Direct Method. Pada Total Physical Response (TPR), siswa mendengarkan dan merespon instruksi lisan guru. Bentuk instruksi yang diberikan seperti ‘Turn around’, ‘Sit down’, ‘Walk’, ‘Stop’, dan ‘Jump’.
2.4.1.10.  Pendekatan Alamiah (The Natural Approach)
Pendekatan alamiah yang disebut oleh Krashen (1981), dan Krashen dan Terrell (1983), mengingatkan kita pada pemi­kiran‑pemikiran yang mendasari metode langsung pada ta­hun 1960‑an. Tetapi, Krashen dan Terrell memberikan teori atau hipotesis yang lain dalam hal "pemerolehan bahasa".
Berbeda dengan pandangan audiolingualisme, yang menganggap bahasa pertama sebagai "penghambat proses belajar‑mengaiar BT" yang, disebut interferensi (interference), dalam teori monitor diambil sikap yang lebih positif terhadap pengaruh BS pada BT. Dalam teori monitor, BS tidak dianggap sebagai penghambat atau interferensi BT. Penggunaan unsur‑unsur dari BS dalam BT dianggap justru sebagai "pengisian lubang­-lubang atau kekurangan‑kekurangan" dalam kemampuan­ dalam BT. Jadi, pernbicara (pelajar BT) itu menggunakan unsur/ciri bahasa yang sudah dimilikinya (BS) bila dia belum memperoleh kemampuan itu dalarn BT.
Dengan demikian, pengaruh BS dapat dianggap sebagai indikator tingkat pernerolehan, dan makin banyak pengaruh BS, ma­kin rendah tingkat pernerolehan BT. Pemikiran ini mendo­rong beberapa ahli pengajaran bahasa untuk menyarankan suatu "kurun waktu sunyi" (silent period), baik bagi pelajar muda maupun pelajar yang sudah dewasa, walaupun "sunyi" ini berarti waktu mendengarkan saja.
Dalam pendekatan alamiah yang dibicarakan ini terma­suk lagi satu hipotesis yang penting diketahui, yakni hipo­tesis masukan (input hypothesis). Yang dimaksud dengan ini ialah bahwa sumber dari masukan untuk pelajar BT adalah ruang kelas di mana mereka memperoleh masukan yang dapat dipahami dan yang diperlukan untuk mencapai kemampuan dalam BT. Masukan merupakan suatu unsur yang terpenting dalam pendekatan alamiah ini. Demikianlah se­cara singkat teori‑teori pendekatan pernahaman dan pende­katan alamiah.

2.5.   Pendidikan Kewarganegaraan
            Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat.
            Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam statusnya yang ketiga yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan.
            Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan lebih kepada pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan. Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan MIPA, pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain sebagainya.

            Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu sosial dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995). Rumusan akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan keguruan mempunyai fungsi mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan harus dapat menerapkannya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina harus memperhatikan dan mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik, kurikulum, buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus merujuk kepada tiga unsur disiplin ilmu, yakni;
1.      A community of scholars who choose to call themselves by a particular name,
2.      A body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist of facta, concepts, generalizations and theories,
3.      A method of approach to knowledge, i.e process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge (Dufty, 1986:154).
Rujukan ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah ilmu pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual structur menghasilkan berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin bidang studi merupakan suatu synthentic discipline, baik dilihat dari perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun (Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan kumpulan dari berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari para pakar, khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan telah diuji kebenarannya. Menurut pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila suatu pengetahuan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis, eksperimental, memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
  
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.1.1.      Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
3.1.2.      Secara umum, tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
3.1.3.      Pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai perbuatan (hal,cara) mendidik atau (ilmu, ilmu didik, ilmu mendidik) pengetahuan tentang pendidikan, dan pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin, dan jasmani.
3.1.4.      Akhlak itu terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah atau dalam bahasa Indonesia itu adalah akhlak baik dan akhlak buruk.
3.1.5.      Nilai atau value berasal dari bahasa Latin valare atau bahasa Perancis Kuno valoir yang artinya nilai. Sebatas arti denotatifnya, valare, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras dengan definisi nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai harga (dalam arti taksisran harga).
3.1.6.      Pengajaran bahasa melibatkan sekurang‑kurangnya tiga disiplin, yakni linguistik, psikologi dan ilmu pendidikan.
3.1.7.      Pendekatan, metode, dan teknik pendidikan bahasa ialah Grammar  Translation Method, Gouin and The Series Method, Audiolingual Method, Cognitive Code Learning, Community Language Learning, Suggestopedia, Silent Way, Total Physical Response (TPR), dan The Natural Approach.
3.1.8.      Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan.

 Daftar Pustaka
Asmaran. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Brown, H.D. 2001. Teaching by Principles. Englewood Cliffs: Prentice Hall Regents.
Darajat. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Djahiri, Kosassih. (1992). Menulusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: LPPMP.
Hers. Richard H. et al. (1980). Model of Moral Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.
Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Mustofa. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Prator, C.H. and Celce-Murcia, M. 1979. An Outline of Language Teaching Approaches. In Celce Murcia, M. and McIntish, L (Ed.) eaching English as a Second or Foreign Language. New York: Newbury House.
Quraish Shihab. 2005. Mendidik Anak Ala Rasulullah. Tersedia: http://www.psq.or.id./artikel.
Richards, J.C., and Rogers, Theodore. 1986. Approaches and Method in Language Teaching. Cambridge University Press.
Tafsir. 1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Bandung: IMTIMA.


Nama Dosen : Dirgantara Wicaksono

Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKn di SD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar